REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Koalisi masyarakat sipil tentang kehutanan mendesak Kementerian Kehutanan memperhatikan skema moratorium dan KPHP (Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi) yang benar-benar bisa menyelamatkan hutan Indonesia. Lantaran selama ini,pembuatan moratorium belum menghasilkan hal yang layak bagi konservasi hutan dan kehidupan masyarakat sekitarnya.
Berkaitan dengan itu, salah satu anggota koalisi, Greenpeace menyoroti kebijakan pengelolaan yang dilakukan Kemenhut di wilayah Semenanjung Kampar, Riau. Berdasarkan hasil temuan Kawasan dengan Nilai Konservasi Tinggi (KNKT), kawasan tersebut di zona kawasan lindung gambut. Namun, hanya 46,5 persen saja dari kawasan itu yang direkomendasikan dapat dimanfaatkan secara terbatas.
Sedangkan 53,5 persennya termasuk kawasan lindung gambut dan kawasan lindung dalam wilayah pengelolaan terbatas. Dengan luasan itu, akan dibentuk pengelolaan kolaboratif. ''Aneh menurut kami. Ada kontradiksi penerapan wilayah gambut dan swadaya. Ada kontroversi di wilayah Kampar karena model yang diterapkan kanal, tak ada konsistensi pada publik agar menyelamatkan Kampar,'' jelas juru kampanye Asia Tenggara Greenpeace, Bustar Maitar, di Jakarta, Rabu (29/9).
Selama ini, Kampar merupakan kawasan gambut dalam, sehingga jika pemerintah mengizinkan pembuaan lahan kolaboratif untuk ruang kelola masyarakat, termasuk ilegal. Kebijakan Kemenhut, lanjut Bustar, tak cukup baik untuk kesepakatan carbon common platform penyelamatan iklim. ''Ada baiknya Kemenhut revisi aturan dan zona ulang, karena existing kondisinya saat ini beda,'' cetusnya.