JAKARTA--Pemilik rumah yang hancur terhantam meteor di Duren Sawit belum mendapatkan bantuan pemerintah. Tiga pemilik rumah tersebut saat ini berteduh di rumah anak-anaknya di sekitar Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Subari Marzuki, salah satunya. Dia tinggal di rumah anaknya di Blok VI Perumnas Klender, Malakasari. Dia tidak dapat kembali ke rumah karena kondisinya hancur berantakan.
Atap rumahnya seluas 78 meter persegi hancur tertimpa meteor sejak Kamis sore (29/4). Meteor datang dari arah barat daya menghantam atap rumah Sudarmojo. ''Meteor pecah dan menghantam dua rumah di samping kiri dan kanannya,'' ujar peneliti Astronomi dan Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin di Malakasari, Duren Sawit, Senin (3/5).
Meja makan Subari hancur tak berbentuk. Televisi habis tertimpa reruntuhan atap. Lemari penyimpan hiasan rumah pecah. Dapur dan ruang makannya penuh dengan reruntuhan. Dua kamar tidur tidak lagi beratap. Sebagian lantai keramiknya seluas 15 meter retak bahkan hancur.
Lebih parah dari itu, lantai dua rumah Sudarmojo, tepat di sebelah barat rumah Subari, tidak lagi beratap. Delapan puluh persen atap rumah itu pecah dan berjatuhan di sekitar rumahnya. Reruntuhan rumah Sudarmojo menggunung menimpa perabotan seisi rumah. Lantai dua rumah tersebut ambrol menimpa perabotan rumah di lantai satu.
Nasib yang sama juga dialami Kusnadi. Tiga kamar rumahnya kehilangan atapnya. Sejak Senin mereka membersihkan reruntuhan bangunan di rumahnya. Meskipun sudah jelas hancur, pemerintah belum memberikan bantuan apapun. Subari mengatakan, sejak hari pertama kejadian, baik Pemda DKI Jakarta atau pejabat Pemkodya Jakarta Timur belum ada yang mengunjunginya.
''Mungkin mereke sibuk,'' tutur Subari. Dia mengatakan, kerusakan ketiga rumah itu mencapai 80 persen. Kerugian mencapai ratusan juta rupiah. Hingga kini mereka belum mendapatkan kepastian pemerintah untuk mendapatkan bantuan. Pihaknya berharap pemerintah membantu dirinya dan dua korban yang rumahnya terhantam meteor. Setidaknya, jelas Subari, rumah mereka kembali seperti semula. ''Tidak kehujanan saja sudah cukup bagi kita,'' ujarnya sambil menatap reruntuhan rumahnya.
Rumah kenangan
Subari mengetahui rumahnya hancur saat melakukan perjalanan dari kampungnya, Purworejo, Jawa Tengah, menuju Jakarta. Di kereta api dia diberitahu tetangga rumahnya hancur.
''Rumah itu penuh kenangan,'' jelasnya. Dia menempati rumah itu sejak 1979. Setiap bulan dia membayar cicilan rumah Rp 7.900. terakhir dia membayar cicilan rumah pada tahun 1987. Di rumah itu dia menyaksikan istrinya, Ratnawati, meninggal dunia karena serangan kanker payudara. Anak pertamanya juga meninggal di rumah itu karena tetanus.
Subari membangun rumah itu perlahan. Dari mulai kamar satu hingga sekarang ini menjadi dua kamar. Dari tidak ada pekarangan hingga sekarang ini tumbuh tanaman-tanaman hias di halaman rumahnya. ''Suka duka dan kenangan hidup saya tersimpan di rumah itu. Saya ingin itu tetap hidup,'' jelasnya.
Sementara itu, Lurah Malakasari, Wawa Kartiwa, mengusahakan ketiga orang itu mendapat bantuan. Pihaknya akan mengajukan proposal kepada suku dinas sosial.
Saat ini dirinya mendata para korban. Salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) dipintanya untuk mengajukan proposal. Dirinya akan mengusahakan para korban mendapatkan bantuan dari suku dinas sosial dan Bazis DKI Jakarta.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia, mengaku belum mengetahui apakah Pemda DKI Jakarta akan memberikan bantuan kepada mereka atau tidak. ''Nanti akan saya cari tahu,'' kilahnya saat dihubungi Republika.