REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pembangunan mass rapid transit (MRT) tidak khawatirkan penurunan muka tanah atau land subsiden. Sebab, struktur MRT di Jakarta akan dipikul oleh fondasi tiang. Selain itu, pada setiap stasiun bawah tanah akan diperkuat dengan cut off wall.
Direktur Tribudi Raharjo mengatakan telah melakukan kajian bersama Ketua Umum Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia Bigman Marihat Hutapea dan Pakar Konstruksi sekaligus Direktur Utama PT Wiratman & Associates Wiratman Wangsadinata. Hasilnya, ia mengatakan moda transportasi ini memenuhi unsur keselamatan.
Ia mengklaim MRT akan tahan terhadap penurunan tanah di Jakarta karena ditopang oleh pondasi tiang dan cut off wall sepanjang stasiun bawah tanahnya. Meski demikian, kebijakan pengendalian pengambilan air tanah tetap harus dilakukan oleh DKI. "Kami juga akan terus mengkaji akibat jangka panjang dari penurunan tanah, perubahan iklim, dan potensi banjir terhadap MRT," ujar Tribudi pada Rabu, (22/12).
Ketua Umum Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (Hatti) Bigman Marihat Hutapea mengatakan dalam ilmu geoteknik, subsidence atau penurunan tanah ada batas ultimate-nya sehingga tidak terjadi penurunan tanah terus menerus. "Penurunan tanah Jakarta memang terjadi tetapi selama sudah diperhitungkan dalam analisa struktur tidak akan menjadi masalah," katanya.
Artinya, jika perencanaan pembangunan MRT sudah memperhitungkan kemungkinan penurunan tanah dan cara mengantisipasinya, maka tak akan ada masalah di masa depan. Hanya saja, studi mendalam terhadap trase MRT tetap perlu dilakukan.
Pakar konstruksi, Wiratman Wangsadinata menyarankan sebaiknya harus ditetapkan kebijakan terhadap pengambilan air tanah terkait dengan penurunan tanah di Jakarta. Perlu diadakan studi yang mendalam terhadap trase MRT sehingga dapat diketahui persis berapa penurunan tersebut. "Perencanaan terhadap struktur bawah tanah juga harus dilakukan dengan seksama," katanya.
Apalagi hampir diseluruh wilayah Jakarta mengalami penurunan muka tanah. "Penurunan tanah merupakan fenomena normal. Terlebih untuk wilayah yang berbentuk delta, seperti Jakarta," katanya. Data dari Dinas Industri dan Energi DKI Jakarta, ada 60 titik tanah di DKI Jakarta yang sudah diteliti penurunan tanahnya sejak 2002-2010.
Hasilnya, land subsidence atau penurunan muka tanah paling mengkhawatirkan berada di Jakarta Utara. Seperti di Mutiara Baru, Pantai Mutiara, Pantai Indah Kapuk, dan Acol. Penurunannya variatif. Di Mutiara Baru penurunan mencapai 116 cm.
Sementara penurunan tanah juga terjadi di daerah Jakarta Barat, diantaranya Cengkareng Barat, dengan penurunan sekitar 65 cm. Di Jakarta Timur penurunan sekitar 47 cm. Di Jakarta Pusat mengalami hal yang sama dengan penurunan sekitar 15 cm. Sedangkan di Jakarta Selatan termasuk daerah yang tidak mengalami penurunan muka tanah.
Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo yakin pembangunan MRT bisa terealisasi. Apalagi kewenangan untuk membangun MRT sudah jelas. “Semua masih on time,” katanya. Pada 2011 akan difinalisasi dan tahap berikutnya menyiapkan standar dokumen desain dasar kegiatan pembangunan fisik (civil work document). Kemudian, akan dimulai proses tendernya.
Ia meminta pengerjaan MRT mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi. Sebab, hal tersebut akan berpengaruh pada penetapan tarif. Selain itu, MRT ini pun harus mempertimbangkan integrasi dengan moda transportasi yang lain seperti kereta api, busway, taksi, parkir, jalan tol, dan ERP. "Semuanya harus terintegrasi dalam satu kartu yang bisa digunakan," katanya.
Pengerjaan MRT ini menggunakan standar Jepang. Sehingga standar ketahanan seperti banjir, gempa, dan kebakaran sudah diperhitungkan. Bang Foke mengatakan kalau banjir 200 tahun pun, keberadaan MRT masih bisa diamankan.
Gubernur juga telah bertemu dengan konsultan asal Jepang, Noriaki Hirose, President Nippon Koei Co.Ltd. to pay courtesy cal yang ditunjuk oleh Departemen Perhubungan, Senin (20/12). "Dia (Noriaki Hirose) adalah konsultan yang dipilih oleh Departemen Perhubungan untuk detail engineering desainnya," katanya.
Ia menambahkan dokumen yang digarap telah selesai dan sudah diserahkan ke pemerintah pusat dan DKI. Pada prinsipnya, Pemprov DKI setuju dengan desain engineering yang ditawarkan. Sehingga pihaknya berharap pertengahan tahun atau semester II pada 2011, tender tersebut bisa dibuka dan dilaksanakan.
MRT merupakan moda transportasi yang berbasis rel. Direncanakan MRT ini akan membentang sekitar 110,3 km. Rinciannya, koridor selatan-utara (koridor Lebak Bulus-Kampung Bandan) sepanjang sekitar 23,3 km. Koridor timur-barat akan membentang sepanjang sekitar 87 km.
Untuk pembangunan koridor selatan-utara akan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, akan dibangun terlebih dahulu jalur yang menghubungkan Lebak Bulus samapi Bundaran HI sepanjang 15,2 km. Jalur ini akan ada 13 stasiun.
Rinciannya, ada tujuh stasiun layang yaitu di Lebakbulus, Fatmawati, Cipete Raya, H Nawi, Blok A, Blok M, dan Sisingamangaraja. Sedangkan sisanya, yaitu enam stasiun bawah tanah terletak di Masjid Al Azhar, Istora Senayan (Ratu Plaza), Bendunganhilir, Setiabudi, dan Dukuhatas dan Bundaran Hotel Indonesia.
Pengerjaan tahap awal ini menelan biaya sekitar 144,322 miliar yen atau sekitar Rp15 triliun. Dana tersebut terbagi menjadi dana porsi pinjaman sebesar 120,017 miliar yen dan dana pendampingan yang berasal dari APBN dan APBD sebesar 24,305 miliar yen. Ditargetkan, tahap awal ini bisa dioperasikan pada akhir 2016.
Untuk tahap kedua koridor selatan-utara, pengerjaan akan dilanjutkan dari Bundaran HI ke Kampung Bandan sepanjang 8,1 km. Tahap lanjutan ini ini dibangun sebelum proses tahap pertama selesai dan beroperasi. Targetnya, pada 2018 bisa selesai. Sedangkan untuk koridor timur-barat masih dalam tahap pra-studi kelayakan. Ditargetkan koridor ini bisa beroperasi pada 2024-2027.