Senin 09 Jan 2012 15:57 WIB

Apa Perbedaan CSR dengan PKBL?

Program CSR BNI untuk bantuan sarana pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Program CSR BNI untuk bantuan sarana pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

PERTANYAAN

Bapak Rizky Wisnoentoro yang terhormat,

Seperti pemaparan bapak sebelumnya tentang "Di tataran legal, Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 74) mewajibkan perusahaan di Indonesia untuk melakukan CSR. Lebih khusus lagi, dalam ayat 1 Undang Undang tersebut, disebutkan bahwa perseroan yang menjalankan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumberdaya alam, dikenai kewajiban untuk melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan".

yang ingin saya tanyakan adalah :

1. Berapa besarnya dana CSR dari perusahaan tersebut di atas?

2. Apa perbedaan CSR dengan PKBL? mengingat banyak juga perusahaan yang punya program CSR dan juga PKBL padahal setahu saya pelaksanaan di lapangannya hampir sama. 

Andriyanto

([email protected])

 

JAWABAN

Jawaban

Bapak Andriyanto yang budiman,

Terima kasih pertanyaannya.

Untuk pertanyaan pertama, pada hakikatnya tidak ada batasan dalam menentukan anggaran untuk berbuat baik. Nah, berbicara mengenai ketentuan hukum, sebelumnya mohon dimaafkan jika ada keterbatasan saya sebagai pembelajar CSR dalam melakukan interpretasi terhadap hukum ataupun ketentuan yang berlaku.

Dalam pemahaman saya, baik Undang-Undang No. 40 tahun 2007  tentang Perseroan Terbatas (pasal 74), ataupun Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal (pasal 17, 25, dan 34), mewajibkan perusahaan ataupun penanam modal untuk melakukan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan. Terlebih lagi penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan, wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan. Namun, tidak menyebutkan secara khusus tentang berapa anggaran yang diwajibkan untuk melakukan CSR.

Batasan jelas tentang jumlah anggaran terlihat pada Peraturan Menteri Negara BUMN No. 4 tahun 2007, yakni 2% laba perusahaan harus disisihkan untuk PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan). Tampaknya, ketentuan 2% laba ini juga menjadi batasan umum di tataran praktis bagi perusahaan yang mengimplementasikan program CSR.

Tetapi, secara praktis, tidak ada larangan jika perusahaan ingin menganggarkan lebih banyak lagi. Inilah yang menyebabkan perusahaan memiliki jumlah anggaran yang beragam. Perusahaan berskala besar dan dengan laba besar, tentu akan memiliki cadangan dana CSR yang lebih besar pula. Namun demikian, tidak berarti perusahaan yang berskala kecil akan kehilangan kesempatan ataupun kreativitas dalam mengelola program CSR. Karena di atas segalanya, perusahaan perlu CSR sebagai investasi reputasi jangka panjang, meskipun dengan anggaran yang relatif terbatas.

Kemudian untuk pertanyaan ke dua, ketentuan untuk melaksanakan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) tidak muncul pada Undang-Undang, melainkan pada Peraturan Menteri Negara BUMN. Secara awam, dapat diartikan bahwa hanya BUMN lah yang memiliki kewajiban untuk melakukan program berbentuk kemitraan dengan masyarakat, serta bina lingkungan.

Sementara, dalam Peraturan Menteri Negara BUMN tersebut juga ditentukan bahwa pihak-pihak yang berhak mendapat pinjaman adalah pengusaha dengan aset bersih maksimal Rp 200 juta atau beromset paling banyak Rp 1 miliar per tahun.

Pada hakikatnya, PKBL adalah salah satu bentuk dari implementasi CSR. Namun, pada prakteknya, PKBL lebih banyak berfokus pada pemberian pinjaman ataupun mikro-kredit pada pengusaha kecil yang potensial. Misalnya, pemberian dana pinjaman pada komunitas pengrajin kulit, dsb. Seyogianya, hal ini menjadi kail bagi para pengusaha kecil untuk berkembang, sehingga mampu mengembalikan pinjaman yang diberikan, beserta keuntungan bagi usahanya.

Sementara CSR mencakup bidang yang lebih luas dari mikro-kredit dan semacamnya. Baik secara ilmiah maupun praktis. Mulai dari aktivitas charity (seperti bantuan terhadap korban bencana alam), voluntary activities, social marketing, ataupun philanthropy dengan mendonasikan sejumlah dana pada aktivitas sosial tertentu. Cause-related marketing, dalam konteks tertentu, juga dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk CSR. Biasanya hal ini dilakukan melalui program promosi, dengan sebagian hasil penjualan didonasikan untuk bantuan terhadap permasalahan sosial tertetu. Misalnya, bentuk promosi seperti:

"Dengan membeli produk ini, Anda telah mendonasikan sebesar Rp. ..... untuk anak-anak jalanan di ..... "

Demikian untuk saat ini, Pak Andriyanto. Semoga sedikit banyak dapat menjawab pertanyaan bapak. Ditunggu diskusi selanjutnya.

 

Tanya Jawab CSR diasuh oleh rizky wisnoentoro "Director of Applied Research for Indonesia" CSR and Philanthropy Transdisciplinary Action Group (CPTAG)

Universiti Sains Malaysia

Pertanyaan seputar CSR dapat dikirimkan ke email [email protected]

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement