REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Begitu pneumonia misterius merebak di Wuhan, China, permintaan akan masker pun melonjak. Orang beramai-ramai membeli masker dengan harapan bisa terlindungi dari infeksi virus corona jenis baru yang menyebabkan penderitanya demam tinggi, batuk kering, dan sesak.
Pertanyaannya, apakah masker bedah seperti yang dipakai banyak orang itu benar-benar berfungsi melindungi dari virus corona? Dilansir FOX News, Dr William Schaffner, seorang profesor obat pencegahan dan penyakit menular di Vanderbilt University mengatakan bahwa masker bedah tidak akan mencegah penyakit untuk menjangkiti seseorang.
Schaffner menjelaskan, masker bedah sejatinya digunakan oleh dokter untuk melindungi pasien mereka dari kuman yang ditularkan melalui mulut. Masker itu tidak bekerja untuk mencegah seseorang menghirup kuman penyakit, menurutnya.
Masker yang menutupi hidung dan mulut sering terbuat dari bahan yang tipis dan tidak sempurna menutupi kontur wajah. Ada ruang dan celah bisa terbentuk di sekitar pipi dan tepi mulut, sehingga udara mudah masuk dan keluar.
"Saat batuk, pengguna bisa merasakan embusan udara keluar dari masker," kata Schaffner yang juga direktur medis Yayasan Nasional untuk Penyakit Menular.
Akan tetapi, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS tetap merekomendasikan siapa saja yang terinfeksi oleh novel coronavirus (nCov) atau yang sedang dicurigai terjangkit untuk menggunakan masker bedah saat berada di ruang publik. Selain itu, dr Amesh Adalja, seorang dokter penyakit menular dari Johns Hopkins Center for Health Security mengatakan kepada The New York Times bahwa masker bisa menghalangi percikan liur orang yang terinfeksi memasuki tubuh orang lain lewat bersin atau batuk.
Menurut Adalja, percikan liur itulah dalang di belakang penyebaran coronavirus. Persoalannya, ketika mengenakan masker bedah, orang tetap saja menyelipkan tangannya untuk menggaruk wajah hingga membuat hidung dan mulutnya terpapar kontaminan.
Terlepas dari itu, berdasarkan penelitian saat wabah SARS, masker tipe apapun--entah masker bedah atau respirator--ternyata cukup membantu mengurangi risiko infeksi asalkan digunakan secara konsisten, menurut dr Mark Loeb, pakar penyakit infeksi dari McMaster University di Ontario, Kanada. Sementara itu, menurut Schaffner, masker yang lebih protektif atau dikenal sebagai respirator N-95, mungkin akan lebih efektif.
Hanya saja, Schaffner mengatakan, pengguna respirator N-95 yang tidak memiliki latar profesi medis kemungkinan tidak dapat mengenakannya dengan benar. Di samping itu, mereka pun tidak banyak melakukan kontak untuk pencegahan penyebaran penyakit atau menghirup penyakit.
"Kemungkinannya kecil bagi orang untuk pergi ke apotek lalu memakainya dengan benar dalam jangka waktu yang lama," katanya.
Menurut laporan 2014 tentang sejarah penggunaan masker bedah di Asia Timur, antara lain di China, Taiwan, dan Jepang, orang sebetulnya mengenakan masker bedah bukan demi mencegah orang lain tertular penyakitnya. Mereka juga berharap bisa mendapatkan kualitas udara yang lebih bersih.
Sebagai solusi yang lebih efektif terhadap risiko terjangkit virus corona jenis baru, Schaffner merekomendasikan langkah-langkah preventif lainnya, yaitu dengan sering mencuci tangan. CDC merekomendasikan untuk mencuci tangan dengan sabun dan air setidaknya 20 detik.
Selain itu, hindari menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan yang kotor. Lalu, hindari kontak dengan orang yang sedang sakit.