REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Beberapa kendaraan, baik kendaraan umum maupun pribadi tampak terpakir di kiri kanan jalan nasional Medan (Sumut)-Banda Aceh. Lokasi ini berjarak sekitar delapan kilometer dari pusat Kabupaten Bireuen, Aceh. Kepulan asap dari arang yang membakar potongan dadu daging kambing maupun sapi dalam tusukan bambu mambuat aromanya menyambar penciuman.
Kabupaten Bireuen merupakan salah satu daerah di Aceh, yang terkenal dengan destinasi wisata kuliner. Satai matang misalnya, kuliner yang satu ini merupakan yang paling melegenda, bahkan tidak hanya di Bireuen. Namanya tersohor di beberapa daerah yang ada di Ujung Barat Indonesia ini, bahkan hingga Medan, Sumatra Utara.
Meski kini sudah dapat ditemui di beberapa tempat namun tetap banyak wisatawan yang lebih memilih untuk menikmatinya langsung di tempat asal satai ini. Nama Sate Matang bukan berarti karena sate ini sudah dimasak kemudian menjadi matang, akan tetapi namanya diambil dari daerah tempat sate ini dikenalkan, sejak tahun 90-an, yaitu di Matangglumpang Dua.
Area itu kesohor sebagai pusat kuliner di Kabupaten Bireuen. Selama 24 jam, tempat ini nyaris tak pernah tidur. Ada saja pelintas antar-kota yang singgah.
Kebanyakan dari mereka bermaksud beristirahat sambil menikmati hidangan Satai Matang. Tak heran jika hampir di beberapa warung kopi di Matangglumpang Dua tidak hanya menyediakan kopi saja, akan tetapi juga sate ini.
Salah satu mahasiswa Universitas Syiah Kuala asal Kabupaten Aceh Tamiang, Sri Atina Putri mengatakan, dirinya kerap menikmati kelezatan Satai Matang langsung di tempat asal sate ini. Menurutnya, sate yang berada di tempat asalnya ini lebih enak dibandingkan ketika sudah berada di daerah lain.
"Nggak sering sih makan Sate Matang, hanya kalau pulang kampung aja. Rasanya lebih enak kalau makan di tempat aslinya sate ini," katanya.
Keunikan dalam penyajian sate ini juga menjadi daya tarik tersendiri, seperti para pembuatnya yang akan membanting botol kecap ke atas meja ketika akan menghidangkan satai.
Salah satu pedagang Satai Matang, Zulfikar, ketika ditanya alasannya membanting botol kecap, ia mengatakan, sebenarnya mereka tidak memiliki alasan khusus. Atraksi ini hanya untuk menjadikannya terlihat lebih menarik, seperti lebih banyak pelintas yang berkunjung karena penasaran, dan lain sebagainya.
"Kalau untuk banting kecap itu, sebenarnya nggak ada maksud apa-apa. Cuma biar keliatan lebih unik. Lebih buat orang penasaran," katanya.
Awalnya bahan utama Satai Matang adalah daging kambing, kemudian seiring berjalannya waktu, banyak pedagang yang beralih menggunakan daging sapi. Meskipun demikian tetap ada di beberapa tempat yang masih menyajikan Satai Matang berbahan daging kambing.
Proses pembuatan Satai Matang ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sate-sate pada umumnya. Hanya saja, dari segi rasa serta penyajiannya yang sedikit berbeda. Sate Matang tidak hanya disajikan dengan bumbu kacang saja, akan tetapi juga dilengkapi dengan kuah soto.
Sebelumnya, Sate Matang telah lebih dulu dilumuri bumbu yang kaya akan rempah-rempah. Kemudian dibakar di atas bara arang sekitar lima belas menit.
Untuk kuah sotonya, biasanya menggunakan kaldu daging sapi atau kambing yang dimasak dengan bumbu khusus. Di dalam kuah soto ini biasanya terdapat potongan lemak daging dan juga kentang.
Dari segi rasa, Sate Matang memiliki rasa manis dengan perpaduan kuah soto yang gurih. Perpaduan rasa yang khas ini kemudian menarik pecinta kuliner untuk mencobanya. Sate Matang dapat dinikmati hanya dengan mengeluarkan uang senilai Rp 25 ribu per porsinya atau Rp 3.000 per tusuknya.