REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak dengan kebutuhan khusus (ABK) mesti melakukan persiapan lebih ketika akan masuk ke jenjang pendidikan tinggi. Perlu ada latihan dan adaptasi yang dilakukan jauh-jauh hari agar bisa berbaur dengan lingkungan yang lebih luas.
"Anak dengan kebutuhan khusus membutuhkan latihan, seperti menghadapi kondisi banyak orang, jika di sekolah biasa paling banyak 30 orang sekelas, masuk kampus akan lebih banyak," kata pengamat pendidikan Najelaa Shihab.
Perlu ada transisi untuk membiasakan diri anak berkebutuhan khusus menghadapi lingkungan yang berbeda dari biasanya. Bahkan, menurut pendiri Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), anak biasa pun ketika memasuki lingkungan baru dengan banyak orang akan sedikit kesulitan.
Untuk itu, Najelaa mengungkapkan, latihan berhadapan dengan orang banyak perlu dilakukan terlebih dahulu. Anak dibuat untuk bisa nyaman menghadapi tatapan banyak orang dalam satu waktu.
Di samping itu, anak dengan kebutuhan khusus pun mesti diberi pemahaman tentang keberagaman manusia. Jika telah menginjakkan kaki di perguruan tinggi, maka kelompok manusia pun akan semakin beragam ketimbang sekolah menengah.
"Anak berkebutuhan khusus itu sebenarnya mampu, namun kesiapannya itu yang perlu dibantu," ujar Najelaa.
Untuk mempersiapkannya sebaiknya dilakukan sejak berada di sekolah menengah atas. Orangtua serta warga sekolah mesti memberikan lingkungan yang mendukung.
Konteks mendukung bukan hanya dari segi pengetahuan, namun pada bagian sosial dan emosi. Sebab jika anak belum siap, Najelaa menyarankan, agar sebaiknya menunda terlebih dahulu memasukan anak ke kampus.
Psikolog anak, Ine Indriani, menyebut perguruan tinggi yang bersedia menerima ABK perlu diapresiasi. Namun, sebelum menerima mereka, sebaiknya perlu melihat kesiapan dari segala pihak, terutama dari perguruan tinggi, anak dan orang tuanya. “Tidak semua ABK itu bisa, derajat ABK ada dari ringan sampai berat. Jangan mentang-mentang ABK itu bisa diterima, tidak melihat seberapa derajat keparahan anak kita,” jelasnya.
ABK yang akan masuk perguruan tinggi umum harus dilihat kesiapannya, mulai dari fungsi kognitif, kemandirian, dan lainnya. Lihat apakah ABK ini berfungsi secara mandiri sudah bisa atau belum. Lihat pula kognisi atau kemampuan berpikir ABK tersebut.
“Kalau rentangnya pendek, tidak mungkin dia mengikuti pelajaran yang panjang di perguruan tinggi umum. Selain itu, lihat apakah mata kuliah atau perguruan tinggi tersebut memberikan fasilitas atau tidak untuk anak ABK."
Hal lain yang harus dilihat adalah kemandirian. Ketika ada anak ABK, orang tua harus pastikan di masa perguruan tinggi itu, mereka harus sudah mandiri, tidak lagi dibimbing terus menerus oleh guru. Karena itu kemandirian anak harus dipersiapkan.
Misalnya ABK bisa melakukan kegiatan kemandirian, misalnya tahu cara jalan ke mana saja, jalan ke kost, jalan ke rumahnya, atau naik kendaraan umum dia sudah tahu, menghitung uang dia sudah tahu, merapihkan barang-barangnya sudah tahu, mengorganisir diri sudah bisa. Termasuk kalau ada apa-apa dia bisa menghubungi orangtuanya untuk perlindungan diri. Itu ciri ABK yang sudah mandiri. Kemudian dia sudah lebih bisa untuk mandiri untuk belajar. Tentu saja dilihat juga apakah anak itu punya minat dan bakat di tempat tersebut, mata kuliah itu.
Kemandirian ABK di perguruan tinggi termasuk kapan mengatakan ya, kapan mengatak tidak. “Ketika bullying terjadi atau pelecehan dia berani mengatakan tidak, itu tidak benar, itu salah,” ujarnya.