REPUBLIKA.CO.ID, Seiring bertambahnya usia, Russell ingin menjalani kehidupan yang unik di dunia ini. Memperoleh pendidikan yang layak, menikah, dan memiliki anak-anak.
Walau memiliki pekerjaan yang baik, namun di dalam hatinya ternyata masih saja membuncah keraguan dan kebingungan mengenai makna hidup yang hakiki.
Meskipun ia tidak memahami arti kebimbangannya pada saat itu, namun Russell tetap merindukan Tuhan.
“Alih-alih menemukan sang Tuhan, aku malah mengejar kebahagiaan dalam berbagai kenikmatan yang disajikan dunia. Ujung-ujungnya, pencarian semacam itu hanya membawa diriku kepada kesedihan dan penderitaan batin,” kisahnya.
Di samping itu, selalu saja ada konflik antara keyakinannya yang sederhana (tentang Tuhan) dan keyakinan orang-orang yang ada di sekitarnya. Di satu sisi, aku Russell, ia menemukan banyak sekali agama dengan segala ajaran yang rumit dan membingungkannya.
Di sisi lain, ada pula orang yang sama sekali tidak meyakini adanya Tuhan. Yang ada pada mereka hanya kebingungan dan ateisme. Chaos dan kekosongan.
Akhirnya, ia menyadari tidak ada satu pun di dunia ini yang mampu membawanya kepada kebahagiaan selain mengenali Tuhan itu sendiri. “Aku pun mulai mencari kebenaran dalam berbagai agama. Aku meneliti Taoisme, Buddha, Universalisme, dan Katolik.”
Untuk sementara, pecarian Russell berhenti di agama Katolik. Ia sempat merasakan kenyamanan dalam berbagai ritual dan upacara agama ini. “Kala itu, aku merasa seolah-olah semakin mendekati kebenaran,” ujarnya.
“Namun, akhirnya aku menyadari bahwa keyakinanku ternyata tidak sama seperti orang-orang Katolik dan Nasrani lainnya. Aku tidak bisa menerima jika Isa Almasih (Yesus) adalah anak Allah.”
Perjalanan rohani selanjutnya benar-benar menyita waktu Russell. Ia telah menghabiskan hidupnya dalam lingkaran besar pertanyaan yang pada akhirnya hanya berujung pada kebuntuan. Ia mengaku memang bukan seorang Nasrani yang baik, karena ia benar-benar tidak bisa menerima konsep Trinitas.
“Akan tetapi, saat itu aku merasa sepertinya sudah tidak ada tempat lain lagi untuk mengisi kekosongan spiritualku. Jadi, aku hanya bisa berpura-pura menjadi orang Kristen, sambil tetap memfokuskan pikiran dan doa-doa hanya kepada Tuhan,” katanya.
Kala itu, berpikiran bahwa Tuhan mungkin akan mengampuni dirinya karena tidak percaya dengan keilahian Isa Almasih. Belakangan, ia pun bertanya-tanya, berapa banyak orang Kristen lainnya yang mengalami nasib spiritual seperti yang ia alami?