Senin 21 Jan 2019 17:03 WIB

Morrison: RI Harus Hormati Australia Saat Bebaskan Baasyir

Australia khawatir Baasyir bisa merencanakan teror saat bebas.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (kiri) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).
Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (kiri) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Perdana Menteri Australia Scott Morrison mendesak pemerintah Indonesia untuk menunjukkan rasa hormat yang besar kepada Australia menyusul pembebasan narapidana terorisme Abu Bakar Baasyir.

Morrison mengatakan, warganya tewas secara mengerikan pada insiden Bom Bali Oktober 2002 yang diduga didalangi Baasyir. Dengan pembebasannya, dia menilai pria berusia 80 tahun itu berada pada posisi mudah untuk memengaruhi atau menghasut untuk terlibat jihad.

"Orang Australia meninggal secara mengerikan pada malam itu, dan saya pikir orang Australia mengharapkan masalah ini ditangani dengan sangat serius oleh pemerintah kami, dan bahwa pemerintah Indonesia akan sangat menghormati Australia dalam cara mereka menangani masalah ini," ujar Morrison kepada wartawan di Canberra seperti dilansir SBS News, Senin (21/1).

"Kami (Indonesia-Australia) konsisten menyoal Baasyir. Dia harus menjalankan sistem peradilan di Indonesia sebagai hukumannya," kata Morrison menambahkan.

"Jangan lupa, Bom Bali juga menewaskan orang Indonesia juga," kata Morrison.

Sebanyak 88 warga Australia tewas dalam ledakan Bom Bali pada 2002 dari jumlah total korban meninggal 202 orang. Namun, banyak para pakar menilai pemerintah Australia mengambil respons lunak.

Korban selamat insiden itu sangat kecewa dengan pemerintah Indonesia dan mendesak Australia mengambil langkah serius. "Kami dibantai malam itu. Dan dalang di balik ledakan bom itu keluar, Pemerintah Australia mengambil pendekatan lunak," ujar korban Bom Bali dengan 50 persen luka bakar, Peter Huges.

Meski demikian, pakar anti-terorisme dari Universitas Deakin, Melbourne Greg Barton mengatakan, pemerintah Australia harus hati-hati dalam memberikan tanggapan menyoal masalah ini. Laman The Australian Financial Review edisi Senin (21/1) mengatakan, salah satu titik terang dalam hubungan Australia-Indonesia adalah kerja sama yang luas soal anti-terorisme.

Setelah pemboman Bali, Jakarta membentuk pasukan anti-terorisme Pasukan Khusus yang dikenal sebagai Detasemen 88. Sementara Australia menyediakan dana dan pelatihan untuk pasukan itu, yang mencakup penyelidik dan ahli bahan peledak serta unit respons taktis.

Hal tersebut telah menjadi keberhasilan yang menonjol dalam hubungan antara dua negara berbeda yang rentan terhadap pertengkaran diplomatik dalam beberapa tahun lalu. Australia juga berupaya mengubah sikap Indonesia terhadap hukuman mati dan meminta warganya yang di penjara di Indonesia mencari pembebasan lebih awal.

"Pertanyaan untuk Australia adalah pengaruh apa yang kita miliki dan apa yang kita harapkan untuk dicapai," kata Barton.

"Penting bahwa kita tidak terlibat dalam diplomasi megafon atau mempolitisir masalah ini," Barton menambahkan.

Pembebasan Baasyir pun terjadi ketika hubungan kedua negara tegang sebab keputusan Morrison memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Barton menilai pembebasan Baasyir ada hubungannya dengan Pilpres April mendatang. "Jokowi sedang membereskan masalah sebelum pemilihan," kata dia.

"Ada kemungkinan yang jelas bahwa seseorang dapat menggunakan kasus Basyir sebagai alasan untuk menentang Presiden," ujarnya.

Abu Bakar Baasyir divonis bersalah pada 2011 dan dikenakan hukuman penjara selama 15 tahun terkait kasus tindak pidana terorisme. Ia dibebaskan enam tahun lebih awal. Baasyir sebelumnya mengalami perawatan di rumah sakit karena kondisinya yang melemah akibat usia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement