Rabu 08 Mar 2017 06:07 WIB

Raja Salman, Bali, dan Kemitraan Pariwisata

Red: M.Iqbal
Petugas melakukan pengamanan wilayah pantai yang ditutup dengan pagar bambu di kompleks Hotel St Regis, Nusa Dua, Bali, Senin (6/3).
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Petugas melakukan pengamanan wilayah pantai yang ditutup dengan pagar bambu di kompleks Hotel St Regis, Nusa Dua, Bali, Senin (6/3).

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Joko Budi Santoso

Kunjungan Raja Salman beserta rombongan ke Bali tidak dapat dimungkiri semakin meningkatkan pamor Pulau Dewata sebagai salah satu destinasi wisata termasyhur di dunia. Bauran wisata alam dan buatan serta budaya menjadi pesona utama wisatawan domestik dan mancanegara. 

Memang pariwisata Bali sempat terpuruk karena efek peristiwa Bom Bali 1 (2002) dan Bom Bali 2 (2005). Namun, dengan usaha yang keras dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah di dalam menjaga stabilitas keamanan serta gencarnya promosi wisata yang dilakukan, telah berhasil mengembalikan Bali sebaga destinasi wisata utama di Indonesia dan dunia.

Dampaknya, Bali menjadi penyumbang devisa utama dari sektor pariwisata di Indonesia. Tercatat lebih dari Rp 70 triliun yang disumbangkan untuk penerimaan negara. Dahsyatnya pariwisata Bali tidak bisa lepas dari peranan pemerintah daerah di dalam mengelola potensi pariwisata yang dimiliki. Pada awalnya, pariwisata Bali terpusat di dua daerah, yaitu di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. 

Di Kabupaten Badung terdapat objek-objek wisata yang terkenal seperti Pantai Kuta, Legian, Pantai Pandawa, Seminyak, Jimbaran, dan kawasan Nusa Dua yang menjadi tempat menginap Raja Salman selama liburan. Selain itu, pariwisata di Kabupaten Badung didukung oleh penunjang pariwisata seperti hotel berbintang sampai melati, pusat oleh-oleh dan pusat perbelanjaan kelas atas, hiburan malam, dan fasilitas hiburan lainnya yang membuat aktivitas wisata di Bandung berdenyut hampir 24 jam.   

Kemajuan pariwisata di kedua daerah tersebut mendorong jurang ketimpangan pembangunan yang lebar di wilayah Provinsi Bali. Dengan konsentrasi wisata di Badung dan Denpasar membuat PAD kedua daerah tersebut sangat timpang dibandingkan tujuh kabupaten lainnya. Dalam perjalanannya, dalam upaya lebih mengembangkan potensi wisata sebagai solusi menguragi ketimpangan di Bali, pemerintah provinsi mencoba untuk menginisiasi kerjasama pembangunan pariwisata antar kabupaten/kota di Bali. 

Dengan pemerintah Provinsi Bali sebagai fasilitator, maka dihasilkan kesepakatan bahwa Kabupaten Badung dan Kota Denpasar menyisihkan sebagian PAD-nya untuk membantu kabupaten di sekitarnya (semacam special grant) yang peruntukkannya untuk pembangunan infrastruktur penunjang pariwisata, seperti jalan, dan infrastruktur pariwisata lainnya. Kerelaan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar untuk memberikan bantuan keuangan kepada daerah di sekitarnya didasarkan pada kepentingan peningkatan PAD pada kedua daerah tersebut. 

Mereka menyadari, dengan berkembangnya objek pariwisata di luar kedua wilayah tersebut, akan mendongkrak kunjungan wisata di Bali. Selain meningkatkan PAD kabupaten di luar Badung dan Denpasar, akan tetapi juga akan berdampak pada peningkatan PAD kedua daerah tersebut. 

Hal ini terjadi karena sebagian besar wisatawan menginap, makan, dan berbelanja tetap di Badung dan Denpasar, artinya pajaknya (khususnya pajak hotel dan restoran) tetap yang menikmati Badung dan Denpasar, meskipun objek wisatanya tersebar di luar kedua wilayah tersebut. Semakin banyak destinasi wisata yang ditumbuhkan maka, semakin lama menahan wisatawan tinggal di Bali dan dampaknya semakin besar pengeluaran wisatawan. 

Jadi benchmark

Pengalaman dari pengelolaan dan pengembangan wisata di Bali ini dapat menjadi benchmark dan contoh bagi daerah-daerah lain di Indonesia di dalam membangun daerahnya. Tentunya tidak hanya kerja sama pariwisata saja, akan tetapi dapat dilakukan kerja sama di sektor lainnya, misalnya kerja sama pengelolaan sampah, pengelolaan air bersih, maupun kerja sama pembangunanan lainnya atas dasar saling menguntungkan dan demi kemajuan bersama. 

Kerja sama atau kemitraan antar daerah menjadi salah satu solusi di dalam pembangunan daerah yang dihadapkan pada keterbatasan anggaran pembangunan. Ketergantungan fiskal yang tinggi terhadap pemerintah pusat melalui dana perimbangan berdampak pada lemahnya akselerasi pembangunan di daerah. 

Rata-rata PAD yang hanya menyumbang sekitar 10 persen dari total pendapatan APBD menunjukkan bahwa cita-cita kemadirian fiskal masih jauh dari harapan. Inovasi-inovasi kepala daerah di dalam membangun kemitraan terus dituntut di dalam menyiasati keterbatasan anggaran pembangunan. 

Capaian pajak dan pendapatan nasional yang tidak sesuai target akan berdampak pada berkurangnya jumlah dana transfer ke daerah. Kondisi ini akan selalu menjadi tantangan bagi setiap kepala daerah. Oleh karena itu, kemitraan pembangunan antar daerah menjadi salah satu kunci di dalam mendorong akselerasi pembangunan ekonomi daerah.

*) Peneliti Senior di Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya 

Dari daftar di bawah ini, mana nih Hape favorit Kamu?

  • Samsung
  • Apple
  • Oppo
  • Vivo
  • Xiaomi
  • Huawei
  • Asus
  • Sony
  • Nokia
  • Lenovo
  • Oneplus
  • LG
  • ZTE
  • HTC
  • Meizu
  • Alcatel
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement