REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan media sosial kini dianggap menjadi alat utama untuk meraih dukungan publik. Para pengamat politik mengamati, pelaku politik bahkan rela membeli akun Twitter dengan jumlah follower besar karena dinilai bakal menjadi jembatan kampanyenya ke masyarakat. Direktur Politicawave Yose Rizal mengatakan, dari sejumlah media sosial yang ada, Twitter memang lebih diminati. Media tersebut dinilai mampu menjadi alat kampanye yang ampuh untuk menyosialisasikan diri hingga visi-misi mereka.
"Namun sayang, mereka itu punya akun Twitter yang folower-nya banyak, tapi tidak riil. Itu akun palsu, sebagian besar hanya bot," kata Yose dalam diskusi “Berperang Citra di Media Sosial”, di Warung Daun, Cikini, Sabtu (22/2).
Tidak siap
Pemanfaatan media sosial sebagai alat kampanye, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, merupakan bukti bahwa mereka tidak punya persiapan matang, termasuk dalam hal anggaran. Kampanye dengan Twitter merupakan cara murah memperoleh dukungan.
Penggunaan media sosial, kata Ridwan, memang bisa menguntungkan para calon tersebut. Namun, jika pemanfaatannya dapat dikemas menarik dan menciptakan sambung rasa hingga solidaritas publik. Itu pun, bergantung, cara serta strategi mereka menggalang kekuatan di sana.
Pemanfaatan media sosial yang dipakai sebagai alat kampanye juga dinilai kurang efektif. Sebab,
para calon tersebut tidak bisa memanfaatkan panggung tersebut sebagai tempat dialog dan sosialisasi sebuah gagasan ke masyarakat.
Menyerang lawan
Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengatakan, penggunaan akun jejaring sosial lebih kerap dimanfaatkan untuk menyerang lawan politik. Padahal, ada fungsi lain, yakni unuk membangun citra positifnya di mata publik.
"Media sosial itu menjadi tantangan bagi mereka untuk membungkus ide dengan retorika menarik, lalu menciptakan komunikasi dengan orang-orang yang tergabung di dalamnya (follower)," kata Yunarto dalam diskusi yang sama
Direktur Politicawave Yose Rizal menambahkan, fenomena media sosial sebenarnya dapat meningkatkan partisipasi seseorang. Keberadaan jejaring tersebut secara tidak langsung melibatkan anak muda dan mereka yang dianggap apatis terhadap politik.
Namun sayangnya, tidak semua tokoh politik melakukan promosi dirinya secara jujur. Mereka menempuh jalan pintas dengan membeli akun palsu yang memiliki pengikut atau follower dalam jumlah besar. Hanya saja, tidak semuanya riil dan itu tidak efektif. "Bagaimana mau efektif? Tidak ada yang baca. Mereka semua palsu," kata dia.
Melarang ponsel
Sementara di Yogyakarta, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan mengusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melarang pemilih membawa telepon seluler (ponsel) ke bilik pencoblosan. Ini dimaksudkan untuk menekan terjadinya money politic dalam Pemilu 2014.
Ketua Bawaslu, Muhammad, mengemukakan hal tersebut pada seminar nasional “Instrumen Hukum Pencegahan dan Penindakan Praktek Ilegal dalam Pemilu 2014” di Yogyakarta, Sabtu (22/2). Ponsel, khususnya yang dilengkapi kamera, dikhawatirkan akan digunakan untuk memotret coblosannya. Foto yang ada di ponsel bisa digunakan sebagai bukti untuk mendapatkan uang dari calon legislatif tertentu.
Muhammad menjelaskan, dalam praktik money politic, uang yang diberikan kepada pemilih agar memilih calon tertentu diberikan dalam dua termin. Awalnya diberi sebelum pencoblosan, sedang sisanya diberikan setelah pencoblosan dengan menunjukkan foto hasil coblosannya menggunakan ponsel."Para pemilih akan mendapatkan sisanya di luar TPS dengan menunjukkan bukti foto," kata Mahammad. N andi mohammad ikhbal/heri purwata ed: nina chairani
Informasi dan berita lainnya silakan dibaca di Republika, terimakasih.