REPUBLIKA.CO.ID, Sebagai makhluk yang diberikan karunia dapat melahirkan, wanita mempunyai ciri biologis yang tidak dimiliki laki-laki, yakni rahim dan menstruasi. Siklus haid yang dialami wanita adalah proses alamiah. Namun, pada realitas sejarah bahkan mungkin hingga sekarang, karunia biologis bagi perempuan ini sering dipandang secara keliru. “Wanita haid sering dilekatkan dengan mitos-mitos yang menyu dutkannya,” kata Prof Dr Nasaruddin Umar MA dalam buku Fikih Wanita untuk Semua.
Sebelum zaman Nabi misalnya, perempuan haid dianggap sebagai sumber kutukan dari Tuhan akibat dosa yang telah dilakukan Hawa. Karena itu, ketika seorang perempuan sedang haid masyarakat mengasingkannya dan tidak diperbolehkan melakukan kontak sosial dengan orang lain.
Melihat hal ini, Rasulullah SAW melakukan terobosan dengan menegaskan di berbagai kesempatan mengenai kebolehan melakukan kontak sosial dengan perempuan haid. “Segala sesuatu dibolehkan untuknya, kecuali bersetubuh,” tegas Rasulullah.
Rasulullah juga mengamalkan kebolehan itu dalam bentuk praktik. Aisyah, istri Rasulullah, dalam sebuah riwayat mengatakan, dia pernah minum dari satu bejana yang sama dengan Rasulullah dalam keadaan haid. Pernah juga Aisyah menceritakan, Rasulullah melakukan segala sesuatu selain bersetubuh sementara dirinya dalam keadaan haid.
Mengenai pembersihan diri (taharah) dari haid, dalam Islam tidak pula dikenal adanya upacara ritual khusus seperti dalam agama Yahudi dan kepercayaan-kepercayaan sebelumnya. Jumhur ulama, lanjut Nasaruddin, berpendapat bahwa sesudah hari ketujuh wanita sudah dianggap bersih dari haid setelah mandi. “Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat tidak harus mandi, tapi cukup membersihkan tempat keluarnya darah haid dan juga tidak perlu menunggu tujuh hari. Artinya, sekalipun kurang dari tujuh hari kalau sudah merasa bersih sudah dapat melakukan ibadah secara rutin,” kata Rektor PTIQ Jakarta yang juga menjabat sebagai wakil Menteri Agama ini. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Al-Awza’i dan Ibnu Hazm.
Ada pandangan bahwa perempuan lantaran haid menjadi kurang agamanya. Sebab, saat haid ia terhalang melakukan ibadah-ibadah seperti shalat, puasa di bulan Ramadhan, dan thawaf. Sehingga, ketika perempuan haid menjadi berkuranglah pahalanya dan jauh dari Tuhan.
“Argumen itu jika kita renungkan sangatlah sempit karena hanya memandang bahwa nilai ibadah diukur dari nilai kuantitas saja.” Jika merujuk pada ayat-ayat Alquran, menurut dia, nilai ketakwaan, ibadah, dan kualitas iman seseorang untuk menjadi hamba yang ideal tidak menyebutkan haid sebagai halangannya.
Ditegaskan Nasaruddin, siklus haid merupakan karunia biologis atas kehendak Tuhan dan bukan bentuk kelalaian perempuan yang mengakibatkan perempuan tidak dapat melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, shalat, dan tha waf. Lagi pula, dalam hal puasa Ramadhan itu pun bisa tergantikan pada bulan lain. Selain itu, perempuan tidak mengalami haid di semua tingkatan usia.
Pada masa sekarang, menurut Nasaruddin, sudah sepatutnya haid tidak lagi menjadi halangan bagi perempuan untuk beraktivitas dan tetap produktif. Yang menjadi persoalan justru bagaimana hak yang melekat pada perempuan itu dihargai, seperti peraturan yang memberikan hak dan dapat melindungi perempuan ketika haid yang dialami mengganggu kesehatannya, misalnya dengan pemberi an cuti haid. “Hal ini menjadi lebih signifikan karena pada masa sekarang perempuan menjadi bagian penting pada ranah publik yang banyak melibatkan perempuan sebagai pekerja.”