REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb
Saya menulis surat ini dalam keadaan gundah. Kami sudah enam tahun menikah, tetapi belum dikaruniai momongan. Tak ada yang salah pada fisik kami berdua. Tahun keempat pernikahan, kami mengikuti program bayi tabung. Tapi, program itu gagal. Kami tak mencoba lagi karena biayanya lumayan mahal.
Suami saya kemudian mengusulkan untuk mengangkat anak keluarganya saja. Saya setuju saja memelihara anak orang. Tapi, anak yang dimaksud suami itu saya tak tertarik. Kami terlibat pembicaraan panjang, berulang kali, penuh emosi. Pendek kata, suami saya memaksa. Sejak lima bulan lalu, anak itu tinggal bersama kami.
Seorang anak laki-laki berusia dua tahun. Anak itu nakal, menjengkelkan, manja betul pada suami saya. Bu, rasanya tak mungkin suami saya mengembalikan anak itu karena dia sayang sekali padanya. Sementara, saya sulit menyayangi anak itu. Bagaimana agar saya bisa menyayanginya? Hati ini rasanya sulit sekali berbohong. Mohon bantuannya, terima kasih.
Bunda Nil, Bandung
Jawaban:
Waalaikumussalam wr wb
Bunda Nil di Bandung, bagaimana kabar Ibu saat ini? Mudah-mudahan dalam curahan rahmat Allah SWT. Ibu, anak adalah permata hati hiasan keluarga. Hampir semua pasangan yang menikah ingin memiliki anak sebagai pengikat cinta kasih mereka. Alhamdulillah, Ibu dan suami sudah berusaha dengan kuat untuk mendapatkannya walaupun belum berhasil.
Tentunya, ini memiliki hikmah dari sisi Allah SWT. Bunda Nil, perubahan dari satu peristiwa ke peristiwa membutuhkan transisi. Saat ini, Ibu sedang mengalami masa transisi dari tidak ada anak ke kondisi ada anak. Semula rumah biasa rapi dan bersih, sepi dan tenang, sekarang kadang tidak rapi karena ada mainan anak, ada rengekan atau tangis sesekali.
Ibu terbiasa mendapat perhatian penuh dari suami, sekarang perhatian suami sedang teralih kepada anak. Perubahan ini membutuhkan proses transisi yang efeknya berbeda pada setiap orang. Waktunya berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Hal ini perlu mendapatkan perhatian. Ibu sebaiknya berbicara kepada suami dan minta suami membantu Ibu menghadapi situasi ini.
Suami mungkin tidak merasakan hal yang sama karena beliau fokus pada satu hal, seperti bekerja, dan ketika pulang mendapatkan hiburan dengan kehadiran anak. Sementara Ibu memiliki berbagai kegiatan yang harus diselesaikan di rumah, ditambah tugas pengasuhan anak, sesuatu yang baru dan menguras tenaga.
Ibu harus mendekatkan diri kepada anak. Anak sedang berada pada masa transisi dari pengasuhan orang tuanya atau panti asuhan dan pengasuhan Ibu. Kompleks jadinya. Oleh karena itu, dibutuhkan bantuan teman, menambah pengetahuan dengan membaca banyak buku, dan berbagi dengan ibu-ibu yang memiliki kasus yang sama, anak adopsi.
Anak sendiri sudah mengalami proses pembentukan tingkah laku dari orang tua sebelumnya dengan gaya pengasuhan yang Ibu tidak ketahui. Dari orang tua yang permisifkah, otoriter, atau orang tua yang abai? Inilah yang membuat Ibu kesulitan untuk dekat dengan anak dan membuat kesimpulan bahwa anak nakal. Dalam kondisi stres, anak tentu menampilkan tingkah laku mencari perhatian, sementara Ibu sedang mengalami kekecewaan dan penyesuaian diri.
Keduanya menampilkan emosi negatif sehingga respons yang didapat pun kurang berkenan di hati. Untuk mengatasinya, ubahlah pikiran Ibu tentang anak. Tanamkan dalam pikiran anak adalah sumber kehangatan keluarga dan pembuka pintu rezeki dari Allah. Dengan kondisi seperti ini, Ibu akan bereaksi lebih tenang dan lebih manis pada anak.
Anak dapat merasakan tawaran kasih dan cinta yang Ibu miliki, ia pun akan berlaku manis dan mau mendekat pada Ibu, insya Allah. Waktu-waktu selanjutnya hanya kebahagiaan dan keceriaan yang akan hadir di rumah. Hal ini akan lebih menenangkan ketika Ibu senantiasa mengajarkan anak akhlak mulia dan adab-adab yang baik sebagai seorang Muslim. Hanya Allah tempat bergantung karena Dialah yang menguasai hati manusia. Doa dan harapan semoga mempercepat proses pengikatan hati Ibu dengan buah hati. Amin.