REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Berwacana ingin memperbaiki TVRI dan mencoba menggabungkannya dengan RRI, delapan orang anggota Komisi I DPR RI mencoba mengambil ilmu dari media-media besar di Inggris. Selain itu, kunjungan mereka ke London ini ditujukan untuk menghimpun bahan revisi Undang Undang Penyiaran.
"Kami yang datang berdelapan ini dari panja revisi Undang Undang Penyiaran," ujar salah satu anggota panja, Muhammad Najib ketika bertemu dengan perwakilan mahasiswa di London, Selasa (19/06). Selama berada di London, para anggota Komisi I DPR RI ini dijadwalkan berdiskusi dengan pihak BBC, CNN, ITV, OFCOM, asosiasi periklanan, dan parlemen Inggris.
Sejak kedatangan mereka pada hari Minggu (17/06) serangkaian diskusi sudah dilakukan bersama dengan media-media tersebut. Dari sekian banyak pengetahuan yang mereka dapatkan, Najib menyimpulkan bahwa beberapa hal yang penting untuk coba diterapkan di Indonesia adalah penerapan perlindungan terhadap pemirsa televisi.
Sehingga, porsi-porsi acara yang ditayangkan menjadi berimbang. Tayangan yang cenderung merusak moral dan etika, menimbulkan provokasi karena penayangan gambar yang tidak layak, semua itu dikontrol dengan baik, sehingga tayangan menjadi beragam dan porsi untuk anak-anak pun ada.
Selain itu, dari sisi wacana membangkitkan kembali TVRI dan mencoba menggabungkannya dengan RRI, Najib menegaskan bahwa hasil diskusi mereka dengan BBC bisa dijadikan masukan. BBC merupakan stasiun televisi negara yang berintegrasi dengan radio sejak lama. Media itu cenderung mampu menjadi penyeimbang dan berada di tengah-tengah diantara beragam berita yang cenderung tendensius.
"Kita belajar banyak dari BBC, jangan sampai nanti kita salah mengawinkan (penggabungan TVRI dan RRI)," ujarnya. Pelajaran lain yang diambil adalah tingkat kompetensi awak media di Inggris, terutama BBC, yang berkualitas. Tidak hanya itu saja, mereka juga mempekerjakan tenaga ahli untuk bisa memberikan yang terbaik untuk penontonnya.
Menambahkan penjelasan Najib, anggota panja yang lain, Lily Wahid mengatakan bahwa dari sisi kepemilikan media, Inggris cenderung bebas dari permainan politik. "Jadi mereka benar-benar untuk publik. Owner media bukan dari orang politik," katanya.
Hal ini berbeda sekali dengan Indonesia yang medianya justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Sehingga berita-berita yang ditayangkan cenderung sepihak. Masalah lain yang masih meliputi Indonesia adalah adanya monopoli media. Hal ini tentunya mempengaruhi diversifikasi isi tayangan dan juga arah pemberitaan.
Oleh karena itu, berbekal masukan dan pembelajaran dari media-media di Inggris ini, baik Najib maupun Lily berharap bahwa pada masa sidang sekarang ini, revisi Undang Undang Penyiaran sudah bisa dibahas dan diselesaikan.
Dalam kesempatannya berkunjung ke London ini, tidak seperti biasanya, hanya dua dari delapan anggota Komisi I yang bersedia bertemu dengan perwakilan mahasiswa. Pertemuan juga tidak terbuka seperti pada kunjungan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI atau Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Kehutanan. Perihal kondisi tersebut, Najib menjelaskan bahwa jadwal yang diatur untuk kunjungan ke media-media Inggris tersebut sangat padat, sehingga sulit untuk menemukan waktu kosong, selain itu beberapa anggota dewan yang lain sudah kecapekan. "Kalau saya dan bu Lily ini kan karena dulu aktivis jadi ya senang kalau bertemu dengan mahasiswa," katanya.
Pertemuan yang difasilitasi oleh pihak KBRI tersebut dihadiri oleh tiga orang perwakilan mahasiswa dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) United Kingdom (UK) dan dua orang dari PPI cabang. Ketua PPI UK, Miftachudin Arjuna, mengatakan undangan berdiskusi ini menjadi kesempatan yang baik untuk bertukar pikiran dan menyampaikan kritik yang selama ini ditujukan pada anggota DPR yang melakukan kunjungan ke luar negeri. "Diskusi seperti ini justru membuat pembicaraan lebih mendalam dan hubungan baik masih tetap terjaga," katanya. Selain itu, agenda-agenda dari PPI UK yang ditujukan untuk pembangunan Indonesia pun bisa mendapatkan respon secara langsung.
Penulis: Rosyid Hakiim
Ketua PPI London, Inggris