Senin 10 Mar 2014 05:40 WIB

Tangis Pramugari yang Ingin Berhijab

Pramugari berjilbab egyptair
Pramugari berjilbab egyptair

Oleh Felix Siauw

REPUBLIKA.CO.ID, Bulir-bulir air mata pramugari itu mengalir seiring kata-katanya yang terpatah-patah, “aku ingin berhijab taz”, begitu katanya.

Hari itu, tanggal 28 februari aku ada di lambung burung besi. Melompat dari satu kota ke kota yang lain, sebagaimana biasanya. Entah mengapa aku tak pernah nyaman berada kecuali di kursi lorong, enggan aku menengok jendela apalagi terjepit di tengah.

Dari tempat dudukku, 33H, yang artinya tengah pesawat, aku bebas memandangi isinya namun lebih tertarik pada buku yang baru kubeli. Tak lebih dari 3 hari kubaca, aku sudah sampai halaman 75. Waktu terbaik membaca memang saat terbang pikirku.

Pramugari melayani penumpang seperti biasa, “nasi ayam atau ikan? mau minum apa?”, pertanyaan sama yang entah berapa kali kudengar. Aku tak bernafsu makan mengingat lingkar perut yang terus mengkhawatirkan, kuputusan memesan secangkir jus jambu merah kotakan saja.

Ritual penerbangan selesai, aku pun larut lagi di lembaran tulisan. Tiba-tiba, ada pramugari berlutut di sampingku seraya ucapkan salam. Wajahnya penuh kekhawatiran, sepertinya dari tadi dia kumpulkan segenap kekuatan untuk menyapaku, “assalamu’alaikum ustadz…”

Sebenarnya malu aku dipanggil ustadz, ilmu belum ada apa-apanya, namun menjelaskan ke satu-persatu orang juga menyulitkan. “Wa’alaikumussalam… ya mbak?”.

Lalu dia pun memperkenalkan diri, katanya dia sudah bertanya berkali-kali lewat email namun belum terbalas. Begitulah, kondisiku tak memungkinkan menjawab email satu persatu. Ada ratusan yang meminta respon via FB, twit, email, mustahil. Sebagai pengemban dakwah, penulis, pebisnis, ayah 4 anak dan suami juga manusia biasa, waktu justru hal yang paling sulit dicari.

Pramugari itu memperkenalkan diri, Putri nama samarannya, dia menanti jawaban. Sementara penumpang lain melihatku, membuatku tak nyaman. Pramugari berbicara serius dengan penumpang, bukan pemandangan yang kau lihat setiap hari. Karenanya, aku terdorong untuk segera jawab.

“Setelah turun saja ya mbak?” tawarku.

“Wah saya terbang balik lagi setelah ini,” jelas Putri.

“Mmm… enaknya gimana ya?” tanyaku. Seakan menanggapi pertanyaan ini, Putri balik bertanya, “boleh minta hp ummi aja tadz?”.

Aku kemudian menuliskan sederet nomor buat Putri, “ini mbak, silakan aja kalau mau ngobrol”. Putri pergi dan aku asyik lagi menikmati bukuku.

Tak lama lagi, Putri kembali menghampiriku. “Ustaz, boleh ngobrol di belakang? temen-temen mau menyediakan ruang kok”. Jadilah aku dan Putri serta pramugari lain berbicara di belakang kabin pesawat, dan ia pun memulai ceritanya dengan terisak.

“Dulu saya bangga jadi pramugari, tapi semenjak saya suka denger ceramah dan belajar agama, saya jadi menyesal dan tertekan”. “Saya nggak bisa menaati Allah dengan berhijab, dan saya sulit untuk shalat tadz… saya merasa menduakan shalat…” tuturnya.

Saya mendengarkan, tak memotong, walau pikiran saya berkelebat. Bukan saya tak tahu gaya hidup pramugari, namun tetap mendengarkan. Putri kembali bercerita keinginannya yang kuat untuk berhijab dan menaati Allah, bahkan selesai bertugas ia mempertahankan berhijab.

“Saya ingin untuk berhenti tadz dari pekerjaan ini, tapi saya dikenai penalti puluhan juta, dan saya bukan orang berada”, isaknya lagi. “Belum lagi orangtua yang malah mendukung dan bangga saat saya menjadi pramugari, saya takut mengecewakan mereka”, tangisnya semakin jadi.

Sekitar 10 menit saya mendengarkannya, dengan teman-teman pramugarinya jadi saksi bisu. MasyaAllah, ada hamba-Mu yang mau taat pada-Mu. Begitulah hati yang dekat bila sudah mendekat pada Allah, khawatir akan dosanya, takut akan taubat yang terlambat. Gengsi dan tingginya penghasilan tiada lagi dipedulikan, dia malu saat auratnya terbuka, dia tak mau shalatnya diduakan.

“Apa saya niatkan ke Allah bekerja sampai cukup membayar penalti itu taz?”, tekadnya mantap. MasyaAllah.

Menit-menit berikutnya kugunakan untuk menyemangatinya dan mendukungnya, juga berbagai alternatif solusi baginya. Tentang bahwa telah kukirim berbulan lalu surat pada maskapainya untuk memperbolehkan hijab pramugari, tak kunjung direalisasi. Bahwa kepolisian di negeri ini pun tak mencontohkan kebaikan, memang perjuangan menuju kebaikan akan banyak tantangan.

Aku malu pada diriku sendiri. Aku Muslim, namun tak mampu menolong dan berbuat sesuatu untuk menolong saudaraku taat pada Allah. Sementara isak tangisnya, jadi latar nasihatku. Tak juga kunjung selesai masalahnya, pramugari itu, Putri, dia ingin berhijab.

Allah, Allah, kami hamba-Mu memohon ampun. Kami hidup di bumi milik-Mu, tapi kami sempitkan jalan orang yang mau taat pada-Mu. Kami makan rezeki-Mu, kami minta ridha-Mu, kami menyembah pada-Mu, namun kami perhitungan dalam kebaikan yang Engkau perintahkan.

Sekarang kami dasarkan pembukaan undang-undang negeri ini dengan nama-Mu, tapi kami ingkari kewajiban yang engkau wahyukan di kitab-Mu. Hari ini kepolisian mempersulit kewajiban hijab, demikian pula maskapai penerbangan. Besok mudah-mudahan Engkau buka hati mereka.

Dan kami tahu ada ratusan pramugari lain yang rindu taat pada-Mu. Berikanlah mereka kekuatan dan keberanian menyuarakan kebenaran. Dan bagi kami yang mendengar isakan mereka untuk mau taat pada-Mu, mudah-mudahan kami istiqamah dalam mendukung agama-Mu. Akhukum, @felixsiauw

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement