REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Septian Cahyo Putro *)
Dulu sewaktu saya kuliah di UIN Jakarta, tidak jarang saya membaca tulisan-tulisan di kaos-kaos tentang Tuhan dan religiusitas. Misalnya, Indonesia negara keberagaman bukan keagamaan, Indonesia bukan milik satu agama, dan yang agak “nyeleneh”—meski semuanya juga terasa demikian—adalah “Tuhan bukan milik satu agama”. Kalimat yang terakhir ini, dulu terlihat biasa saja untuk saya yang lulusan SMA dengan wajah polos dan manis. Tapi, lain makna bagi saya saat ini yang sudah tidak polos apalagi manis.
Tuhan bukan milik satu agama. Kalimat itu jika dibaca sekilas memang terdengar benar. Sebab, tentu setiap agama punya Tuhan. Adakah agama yang tak bertuhan? Tapi, jika dimaknai lebih jauh, setidaknya terdapat dua medan makna dalam kata Tuhan. Pertama, tuhan di kalimat itu mengacu pada tuhan yang sama meski agamanya berbeda. Kedua, tuhan di kalimat itu mengacu pada tuhan yang berbeda-beda dalam setiap agama.
Usut punya usut, ternyata kalimat tersebut cenderung memaknai tuhan dengan makna yang pertama. Sebab, kalimat itu muncul sebagai pledoi atas orang-orang yang mengaku menghargai pluralisme. Kalimat itu adalah jawaban atas kelompok mayoritas suatu agama yang merasa agamanya paling benar dan hanya tuhannya yang benar. Mengapa saya katakan mayoritas, sebab mayoritas cenderung dapat melakukan hegemoni terhadap cara pandang suatu masyarakat.
Jika diperhatikan konteks kalimatnya, yang muncul di UIN Jakarta, sebagai salah satu kampus Islam terbesar di Jakarta. Maka, kelompok mayoritas yang dimaksud sudah tentu Islam. Islam yang mana? Tentu Islam di Indonesia yang “dianggap” intoleran dan merasa paling benar.
Baik, kita kembali kepada kalimat tersebut. Kalimat “Tuhan bukan milik satu agama”, berusaha memberikan premis argumentasi yang silogismenya diserahkan kepada pembaca. Ini upaya yang cukup licik, saya pikir, sebab dengan cara seperti ini penulis bisa bebas dari dakwaan. Padahal, tulisannya menimbulkan silogisme yang ambigu. Salah satu silogisme seperti ini, jika Tuhan bukan milik satu agama, maka agama lain yang berbeda tentu sama benarnya. Lalu menghasilkan simpulan: “sebab mereka punya Tuhan yang sama dengan kita, tentu tak mungkin Tuhan yang sama akan bersama agama lain jika agama itu salah”.
Sedari kecil saya disuguhi oleh sebuah doktrin sesat bahwa semua agama itu sama, Tuhannya sama, hanya caranya saja berbeda-beda. Doktrin ini meluncur dari mulut orang-orang yang lebih dewasa bahkan guru. Sampai pernah suatu kali saya merasa iri, setiap kali saya disuruh salat, belajar mengaji, oleh orang tua saya sementara teman saya yang non-muslim tidak perlu melakukan itu. Lalu saya bertanya, “Mengapa kita tidak menganut agama yang sama dengan mereka? Lebih praktis. Kan katanya semua agama itu sama”.
Konsep Tuhan itu sama dalam semua agama memang menyesatkan dan perlu diluruskan. Sebab bagaimana mungkin umat Islam, Nasrani, Konghucu, Hindu, atau Budha ber-Tuhan yang sama, jika acuan dalam kitab suci masing-masing tentang Tuhan itu berbeda-beda. Saya sebagai umat Islam yang meyakini Allquran, standar tentang Tuhan jelas termaktub adalah surat Al-Ikhlas, yang terjemahannya sebagai berikut:
(1) Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa (Tunggal).
(2) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
(3) Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
(4) dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia".
Demikian landasan saya sebagai umat Islam tentang Tuhan, Dia itu tunggal, kita semua butuh akan dirinya dan dia tidak butuh makhluknya, Dia tidak beranak dan diperanakkan, terakhir tidak ada satu makhluk pun yang setara/sama denganNya. Standar ini bisa jadi menyelisihi konsep Tuhan yang pada umat Nasrani, Hindu, Budha, atau Konghucu. Apakah umat selain Islam menyetujui konsep Tuhan semacam ini? Saya pikir tidak.
Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap sebagai makhluk Bhineka Tunggal Ika? Sebelum menjawabnya, saya ingin mengemukakan alasan mengapa saya tergelitik untuk menulis konsep idealis ini. Hal itu disebabkan, saat ini isu tentang kebhinekaan sedang hangat-hangatnya dan banyak yang menurut saya “ngawur” menafsirkan arti bhineka. Sikap kita sebagai makhluk bineka adalah tidak boleh menilai dan menjustifikasi Tuhan umat lain dengan kitab yang kita miliki, di depan umat agama lain. Sebab, apapun yang kita katakan tentu akan ditolak oleh mereka, sebagaimana apapun yang mereka katakan tentang Tuhan tentu kita tolak.
Dan sebagai makhluk yang bineka, kita juga harus mafhum, bahwa Tuhan suatu agama tidak sama dengan Tuhan agama lain. Standar dan konsepnya saja berbeda kok, bagaimana mau disamakan? Umat Islam tentu tidak mau tuhannya disamakan dengan Nasrani, begitu halnya dengan Nasrani tidak mau tuhannya disamakan dengan Islam, sejalan pula dengan Hindu, Budha, atau Konghucu.
Inilah esensi Bhineka Tunggal Ika yang saya pikir harus ditanamkan pada manusia-manusia Indonesia masa kini. Kritis itu baik, tapi jika Anda mau mengkritisi Tuhan agama lain, Anda harus berangkat dari kitab suci agama mereka. Itulah yang dilakukan Ahmad Deedat dan muridnya, Zakir Naik. Mengkritisi Tuhan agama lain dengan kitab suci sendiri hanya boleh dilakukan di hadapan sesama umat.
Pluralisme bukan menyamaratakan, tapi menjaga batas-batas perbedaan agar tetap pada koridornya. Pluralisme, bukan berarti juga penghargaan perbedaan yang berlebih-lebihan, tapi menempatkan perbedaan pada porsinya. Sebab, sudah menjadi takdir Allah, negara ini dihuni manusia-manusia dengan beragam kepercayaan.
19 Desember 2016
*) Alumuns UIN Jakarta