Oleh Yusuf Maulana *)
Ramadhan 1395 Hijriyah, September 1975, Dewan Masjid se-Dunia menggelar konferensi di Mekah, Arab Saudi. Mewakili pemerintah Indonesia dalam perhelatan yang di bawah naungan Rabithah ‘Alam Islami tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia, sebuah institusi yang ketika itu baru beberapa bulan dibentuk atas inisiatif Presiden Suharto.
Sebagai orang pertama yang diamanahi menjabat ketua MUI, Hamka akan terbang ke Tanah Suci bersama nama-nama lain dalam delegasi Indonesia. Selepas bertemu Presiden di Istana Negara pada pagi 17 September, pukul 17.00 Hamka terbang menuju lokasi acara bersama Sekjen MUI Drs. Kafrawi. Rusjdi, putra Hamka, turut dalam penerbangan untuk menemani sang ayah, sebagai antisipasi ada hal-hal yang tidak diinginkan terkait kesehatan Hamka.
Kehadiran Rusjdi kelak begitu berguna. Justru bukan dalam soal kesehatan sang ayah, melainkan merekam hal yang tak terduga sama sekali terkait perlakuan sebagian orang Arab terhadap delegasi Indonesia, khususnya pada sang ketua, Hamka.
* * *
Seorang lelaki berbadan gemuk berjubah kuning gading tampak lincah bergerak. Ke sana kemari dia berseliweran. Akrab menyapa pada semua tamu dari pelbagai negara yang bakal bertemu Gubernur Mekah dan Sekjen Rabithah yang kala itu dijabat Muhammad Saleh al-Qazzaz. Anehnya, sepasang mata biru lelaki itu itu tak enak terlihat dalam hati Rusjdi. Pasalnya, beberapa kali ia dapati mata biru itu memandang “berbeda” pada sang ayah.
“I am from Indonesia,” Rusjdi mengulurkan tangan pada lelaki itu. Ia tak berharap ada jawaban dari orang yang disapa. Beberapa saat kemudian ia menuju ke ayahnya yang tengah berbincang dengan beberapa kenalan.
“Kenalkah ayah dengan orang gemuk yang lincah itu?” tanya Rusjdi, yang menceritakan kisah ini dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr Hamka (1981: 174-180).
“Dia adalah Wakil Sekjen (Rabithah), namanya Safwad Sakka,” jawab Hamka. “Ayah kenal juga tapi belum begitu intim.”
Saat tetamu tiap negara, diperkenalkan kepada Gubernur Mekah, Sekjen Rabithah dan sang wakil menyebutkan nama-nama mereka. Hingga tiba giliran Indonesia yang dipimpin Hamka maju menjabat tangan Gubernur.
“Min Undunesia,” cetus Safwad Sakka, tanpa menyebut nama Hamka sama sekali. Padahal, menurut kesaksian Rusjdi, ia selalu mendengar Safwad selalu menyebut nama-nama delegasi negara lain.
“Ahlan wa sahlan,” pendek ucapan menyapa Gubernur Mekah pada Hamka. Itu saja.
Malam yang tak bersahabat kiranya tak keliru disematkan bagi delegasi Indonesia. Luputnya nama Hamka disebut rupanya disertai pemandangan di acara konferensi yang lebih menyerupai ajang lomba pidato. Para delegasi berebut mencari panggung dengan berbicara panjang-panjang. Sementara bagi delegasi Indonesia, mereka cukup menjadi penonton. Suasana sidang juga belum berubah esoknya.
Esok hari, atau hari kedua konferensi, mata biru yang menatap tak sedap itu masih berulah. Tepatnya memandang penuh sinis.
Saat delegasi Indonesia menanti mobil jemputan untuk kembali ke hotel, beberapa orang Arab mendekati. Rupanya mereka berminat dengan perkembangan saudara seiman di Indonesia di bawah pemerintahan Suharto. Hamka, kata Rusjdi, sebenarnya tidak begitu antusias menjawab, entah karena letih berpuasa ataukah karena hendak segera rehat. Tapi orang-orang Arab itu terus mendesak, bahkan dengan nada mencemooh.
Bukan tanpa alasan mereka mendesak. Di mata mereka, Hamka dan para ulama delegasi dari Indonesia tak lebih boneka-boneka penguasa. Untuk apa? Menyokong politik kristenisasi yang berlangsung hebat di Indonesia. Ganjil terdengar di telinga tapi itulah yang didapati Rusjdi. Dan ia dapati konfirmasi itu beberapa jam kemudian selepas shalat tarawih dan memasuki lagi gedung konferensi.
Seorang lelaki berpakaian Arab bersua Hamka. Keduanya berbicara serius, hanya empat mata disaksikan dari jarak beberapa meter oleh anggota delegasi.
“Ayah difitnah di sini,” ujar Hamka kepada Rusjdi, setelah berpisah dengan tamunya.
“Ada apa?” tanya Rusjdi, terheran melihat ayahnya berkata tanpa melihat ke arahnya.
“Yang bicara tadi kawan lama ayah, namanya Assad Shahab. Dia bekerja di Sekretariat Rabithah ini. Sehari sebelum kita sampai (di Mekah), ada surat dari Jakarta untuk Rabithah bahwa saya adalah ulama Indonesia yang pro-Kristenisasi.”
“Apa? Apakah Ayah tahu siapa yang mengirim surat itu?”
“Tidak. Assad Shahab sendiri tidak mau memberitahukan siapa yang mengirim surat itu,” jelas Hamka, seraya menggelengkan kepala.
“Jadi surat itukah yang menyebabkan orang-orang Arab ini menyambut kedatangan kita begitu dingin?” terka Rusjdi.
“Mungkin,” jawab Hamka. Ia pun berpesan pada putranya untuk menyimpan soal percakapan dengan Assad dari anggota delegasi. Satu amanat yang akhirnya tidak ditepati Rusjdi memandang adanya maslahat bila ia membincang dengan para delegasi, setidaknya beberapa orang karena toh mereka juga kalangan ulama berintegritas.
Malam kedua konferensi, para delegasi bergantian naik dan turun podium. Kafrawi berupaya mengingatkan pimpinan sidang agar Indonesia turut berbicara. Secarik kertas dibawakannya di hadapan Safwad di meja pimpinan. Tertera nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang akan tampil dari Indonesia. Safwad hanya membaca sejenak lalu meletakkan begitu saja. Di belakang Kafrawi, beberapa delegasi negara lain melakukan cara serupa, mengajukan nama di kertas. Tapi, sampai sidang malam itu berakhir, nama Hamka tidak disebutkan untuk maju. Sontak saja, Kafrawi pun maju lagi.
“Kapan delegasi Indonesia mendapatkan giliran?”
“Bukrah!” jawab Safwad. Esok, esok yang tanpa kepastian waktu tampaknya. Dan benar saja, itulah yang nanti terjadi.
Hari ketiga bahkan ketika Deklarasi Mekah dibacakan semua nama peserta dicantumkan. Rusjdi, yang hadir hanya sebagai penjaga sang ayah, termasuk di dalamnya. Anehnya, nama Hamka, justru tidak ada!
* * *
Mengapa ada surat yang menyebutkan Hamka sebagai ulama pendukung kristenisasi? Siapa pula yang membuatnya dan tega mengirimkan tuduhan yang ngawur dan memutarbalikkan fakta itu?
Awal desas-desus berembus bahwa Hamka bakal diberi posisi oleh pemerintah Orde Baru, beberapa kalangan Islam mengkritik penulis Tafsir Al Azhar yang 2,5 tahun lebih dibui rezim Sukarno. Terlebih lagi kalangan pemuda Islam. Mereka tak ingin, Hamka mengulang kisah ulama di masa Orde Lama yang merapat ke penguasa dan mempergunakan dalil sebagai alat legitimasi kekuasaan. Integritas ditambah pengalaman dibui amat sayang bila dikorbankan Hamka untuk mengulangi hal serupa.
Hamka bukan tak sadar kemungkinan terjadinya penyelewengan pribadinya seperti itu. Tapi ia bergeming bukan karena soal materi atau keduniaan. Ia ingin “mengawal” jalannya pemerintahan agar kekuasaan tidak lagi seperti masa kepemimpinan sebelumnya.
“Kami ini bagaikan kue bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas (oleh) pemerintah dan di bawah (oleh) umat,” Hamka mengumpamakan dirinya ketika berpidato kali pertama sebagai ketua MUI pada 27 Juli 1975.
Dan pagi hari sebelum terbang ke Mekah, ia “menguji” idealisme diri di hadapan Presiden. Hamka mempersoalkan kerukunan agama yang dikoyak dengan adanya kristenisasi yang berjalan setiap hari. Di hadapan Presiden, Hamka menyebutkan beberapa bukti bagaimana bujukan berpindah agama dari Islam begitu masif memakai imingan materi. Presiden sendiri pun tak sependapat dengan cara-cara penyebaran agama yang membujuk dengan materi.
“Ayah cuma mengaji di hadapan Presiden, kepada beliau Ayah terangkan tafsir surat Mumtahanah ayat 7,8, dan 9. Ayah kemudian membaca ayat-ayat itu,” terang Hamka merendah kepada Rusjdi.
Pada kesempatan yang sama dengan Presiden, Hamka mendiskusikan pemecahan yang elegan dalam kasus pendirian Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi. Hamka tidak setuju penutupan rumah sakit yang awalnya memang diniati untuk membujuk Muslimin setempat berpindah iman. Ide Hamka brilian: rumah sakit itu dibeli saja oleh pemerintah dan dijadikan rumah sakit umum. Ide ini disetujui oleh Presiden.
Hamka, bersama para ulama di MUI, paham konsekuensi berpindahnya agama umat. Amatlah mustahil merelakan dirinya menjadi penyokong program yang menukarkan akidah umat, sekalipun itu diperintahkan penguasa. Senyatanya, Hamka amat berkebalikan dengan isi surat yang dilayangkan entah oleh siapa itu kepada pihak Rabithah ‘Alam Islami. Sungguh sayang, pihak Rabithah tidak tabayyun, alih-alih malah justru mempercayai kabar dari seberang.
Boleh jadi, pengirim surat begitu cinta pada agama ini, termasuk pada Hamka dan jajaran di MUI. Adakah kecintaan lain melebihi menjaga akidah saudaranya dari rongrongan pemurtadan? Hanya saja, cara atau proses mengingatkan “kekeliruan” amatlah salah; yang ada malah sebentuk fitnah. Demikian pula masa kita kemudian. Ketika mendapati ada ulama anutan umat, bahkan memangku amanah di MUI, bertindak yang menurut kita tak patut. Ada adab untuk tidak beranjak lebih jauh agar fitnah tak berhamburan; agar celaan tak menghujani tanpa henti. Siapa tahu ada sesuatu yang berbeda di baliknya.
Katakanlah kita dapati “bukti” nyata kekeliruan alim tersebut, tetap saja tak elok berpecah dengan mudahnya kita mengulas seakan paling benar dan memiliki hujjah. Kita lupa, alangkah baiknya menitipkan pesan dan saran lewat para alim lain di sekitar alim yang kita sorot itu.
Kita boleh terbuka tidak setuju dengan sikap ulama, namun bercerminlah diri ini: adakah argumen memadai, dan seberapa kokoh adab dihadirkan dalam menyikapi perbedaan itu. Kritik tak salah, bergegas menilai dan mengata-ngatai pada ulama, itu yang mesti dicegah, hingga fitnah keji yang justru tersebar di mana-mana. Kiranya kejadian surat fitnah pada Buya Hamka di atas bisa jadi pelajaran buat kita hari ini. n
*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku"