Oleh: Yusuf Maulana, Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku"
Sebagai pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Timur, menjadi tugas Hamka untuk berbicara ke mana-mana menjelaskan dan menjawab soalan tentang Islam. Tahun 1938, sebagai pemukim di Medan, Hamka berceramah di hadapan masyarakat setempat, dari pelbagai kelompok sosial. Yang bangsawan dan hartawan hadir, demikian pula jelata yang tak beralas kaki ketika bepergian.
Di hadapan para pendengar yang beragam itu, Hamka berceramah. Dengan menggunakan sudut pandang “bukan sebagai sosok dimaksud”, Hamka menceritakan peristiwa tersebut.
“Seorang muballigh berpidato di atas podium dengan bahasa yang lancar, memakai dalil-dalil dari al-Quran dan al-Hadis, sehingga para hadirin sangat terpesona mendengarkan keterangannya,” tulisnya, dengan menyengaja tidak menyebutkan sang muballigh itu tak lain dirinya seorang.
Di kursi tempat duduk tetamu-tetamu terhormat, berbisiklah seorang groote ambtenaar pemerintah kolonial Belanda kepada orang di sampingnya.
“Siapa orang yang berpidato itu?” begitu tanya sang ambtenaar. “Di mana dia bekerja? Adakah dia anak seorang yang berpangkat tinggi, misalnya anak tuanku demang atau anak hoofd jaksa?”
Orang yang di sampingnya seketika menjawab lekas, “Muballigh itu hanyalah keluaran surau saja.” Mungkin sambil menggelengkan kepala.
Sejurus mendengar jawaban itu, sang ambtenaar mencibirkan bibirnya. Apa pasal? “Sebab bagi dia yang patut dinilai ialah pangkat dan kedudukan orang itu, bukan isi pembicaraan,” cetus Hamka menjawab sendiri kisahnya yang dituliskan dalam Tafsir Al-Azhar Juz 23 ketika memaparkan kandungan surat Shaad ayat 4.
Bagi sang pegawai Belanda yang merasa diri berposisi mulia dan terhormat, tak penting perkataan emas dalam agamanya yang sering dinisbatkan sebagai mutiara sang menantu Nabi, yakni Ali ibn Abi Thalib. "Unzhur ilaa maa qaala walaa tanzhur ilaa man qiila" yang artinya "perrhatikanlah atas apa yang dikatakan, jangan perhatikan siapa yang mengatakan".
Ini selaras dengan keheranan masyarakat zaman Nabi yang terusik dengan sosok beliau; sosok yang sekalipun tepercaya tapi berasal dari kalangan “bawah”. Difirmankan-Nya, “Dan mereka merasa heran, bahwa datang kepada mereka seorang pemberi ingat dari kalangan mereka sendiri…” (Shaad: 4).
“Mereka tidak mempertimbangkan apa risalah yang dia bawa. Yang mereka pertimbangkan ialah ‘mengapa si anu, mengapa tidak saya’,” tulis Hamka.
“Teringatlah kita kelakuan orang-orang feodal dan merasa mempunyai darah keturunan bangsawan atau berkedudukan tinggi memandang rendah terhadap orang lain, karena derajatnya (dianggap) tidak sama dengan dia,” lanjut Hamka. Kisah yang dialaminya dari respons sang ambtenaar, menjadi buktinya yang dikemukakan Hamka.
Rupanya Hamka masih mengalami kejadian “diistimewakan” dalam amatan para bangsawan sehingga menerbitkan rasa iri dan dengki. Kejadian ini, misalnya, dialaminya tatkala pada masa penjajahan Jepang. Masih di Medan, ketika itu ia mendapatkan undangan dari Gubernur Jepang untuk Sumatera Timur (Tyokan Kakka), Letnan Jenderal Tetsuzo Nakasima. Dalam undangan perdana, Hamka hadir bersama sekira 50 tamu, yang berasal dari para tokoh terkemuka. Mereka berasal dari kalangan pegawai pemerintah Belanda, pemimpin pergerakan, wartawan, dan ulama.
Beberapa pekan kemudian, penguasa Dai Nippon mengundangnya lagi. Kali ini hanya ada 15 tamu. Dan pada perjamuan ketiga, Hamka masih tercatat sebagai undangan bersama 6 orang lainnya. Dari 7 nama tokoh yang dipandang Tyokan Kakka, Hamka seperti mendapat kedudukan spesial.
Dalam buku Kenang-kenangan Hidup Jilid III (1951), Hamka tidak memungkiri amatan orang lain yang memandangnya “anak mas” Tyokan Nakasima; sapaan “Hamka-san” oleh penguasa Jepang sudah dikenal di mana-mana oleh warga Medan. Jabatan resminya: penasihat Tyokan Nakasima dalam urusan agama Islam.
“Secara ukuran kecil-kecilan, saya rasakanlah… terhadap kaum feodal di masa itu terhadap diri saya. mereka umumnya merasa heran—bahkan bercampur benci, cemuh dan memandang hina—mengapa seorang yang bukan tengku, bukan bangsa ‘ghaja’ duduk di samping gubernur,” cetus Hamka meruahkan perasaannya ketika menerangkan ayat tadi.
Terlepas kemungkinan penguasa kolonial Jepang ingin menyudutkan kalangan feodal—yang biasanya dianak-emaskan pada masa penjajahan Belanda—dan merangkul kalangan ulama seperti Hamka karena dipandang tidak memiliki kekuatan pengikut sebanyak para tengku, kapasitas intelektual dan keulamaan Hamka sendiri mendapat tempat tersendiri di pikiran Tyokan Kakka.
“Jika terjadi jamuan-jamuan kenegaraan, kedudukan saya berdekat dengan ‘ke bawah ke bawah duli’ itu, dan saya rasakan bagaimana mereka memandang saya di waktu itu, sama saja memandang ‘kucing basah’! apatah lagi jika ada undangan, mereka datang dengan mobil-mobil sedan mahal, dan (Hamka) ini datang dengan sepeda ‘roda mati’,” tutur Hamka tentang penerimaan para bangsawan pada dirinya yang teranggap “istimewa” di mata Jepang tapi mengancam para pembesar pribumi itu.
Memang, para sultan yang ada di Sumatera Timur merasa Hamka ingin “melonjak”; pendatang dari beda suku, kalangan wahabi, dan dekat dengan Jepang pula. Semua latar belakang ini mengukuhkan di benak para bangsawan bahwa Hamka bersiap menggusur mereka sebagai penguasa kerajaan.
Dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid III, Hamka menceritakan upaya kerasnya bertemu Sultan Serdang. Sang Sultan, melalui utusannya, selalu menjawab tengah sibuk. Lain kesempatan, Sultan sedang didera sakit. Sampai akhirnya karena ada satu hajat penting, Hamka selaku ketua Persatuan Ulama Sumatera Timur (PUST) bersama H.A. Rahman Syihab dan Syeikh Abdullah Afifuddin berniat ‘iadah, membesuk Sultan. Kali ini mereka tak dapat dicegah para pengawal Sultan.
Dalam persuaan itu, Sultan seperti berniat menghinakan Hamka walau dengan sindiran tajam.
“Mana dia yang Hamka?” tanya Sultan Serdang.
“Patik, Tuanku!”
“Duduklah Hamka! Duduklah! Tapi jangan kecil hati jika saya duduk lebih tinggi dan tidur di tempat saya yang sekarang! Ini adalah hak saya sekarang! Ini adalah hak saya!”
Hamka menyadari makna di balik ucapan Sultan.
“Hamka orang mana?” tanya Raja beberapa menit kemudian.
“Patik orang Minangkabau, Tuanku!”
“Oh ya! Orang Minangkabau memang terkenal dari dulu-dulu. Mereka berani mengadu untung mencapai maksud yang besar-besar, yang kadang-kadang tidak lantas (sanggup) di angan orang lain.”
Hamka hanya terdiam. Kata-kata itu jelas maknanya. Sangkaan bahwa ia mencari pangkat ambil muka dengan Jepang, tak terbantahkan. Para pembisik Sultan sudah menampakkan sorot-sorot mata tak suka atas kehadiran Hamka di tempat itu.
Ketidaksukaan pada saudara seiman sering kali dilatari karena cemburu yang membakar. Dan cemburu itu melampaui batas normal nalar yang mestinya bisa berlaku objektif. Belakangan, Hamka sendiri merenungkan setidaknya ada tiga alasan yang membuat beberapa kalangan tak suka padanya. Setelah Jepang jatuh, nama Hamka jadi sasaran caci maki, penghinaan, hingga fitnah.
Pertama, tidak patut orang yang tidak bangsawan, yang tidak berdarah raja tampil ke muka hendak memimpin rakyat di Sumatera Timur. Kedua, Tidak patut seorang pemuka dari golongan Islam Kaum Muda, Sumatera Thawalib, apatah lagi Muhammadiyah, yang berfaham Wahabi berjalan ke mana-mana di seluruh kesultanan dan kerajaan di Sumatera Timur.
Padahal, para sultan dan raja memiliki mufti-qadi dan ketua majelis syar’i yang bertahun-tahun menimba ilmu di Mekah dan belajar di Al Azhar Mesir pula dalam waktu tak sebentar. Ketiga,Tidak patut bagi orang yang bukan kalangan terpelajar, tidak masuk sekolah Belanda, tidak pandai bahasa Belanda, tampil ke muka umum (Kenang-kenangan Hidup Jilid III, hlm. 260-262).
Ketika Jepang takluk, seorang intelek pernah menasihati Hamka agar kembali mengaji ilmu agama saja, mengajar-ajar orang kampus. “Soal-soal kenegaraan setelah Indonesia merdeka tidak layaknya dicampuri oleh haji-haji seperti Tuan,” begitu kiranya nasihat sang intelektual pada Hamka.
Mungkin saja nasihat sang intelektual itu dilatari kepahaman terbatas atas sosok Hamka; atau bisa juga sebatas pertolongannya agar Hamka tidak kian hancur reputasinya dengan masuk ke arena politik akibat kadung dianggap kolaborator semasa Jepang berkuasa.
Batas antara nasihat jujur dan ditaburi sebutir hasad kadang memang pelik disingkap. Bagaimanapun juga, Hamka pada masa umur di kepala tiga itu melesat tinggi di tengah alam berpikir yang belum siap dengan pemajuan. Malahan yang terjadi ia dianggap pengkhianat, pencari muka, dan hanya mencari dunia.
Dengki yang mendera para ahli ilmu, atau orang-orang yang dikitari para alimin, memang sering menyakitkan ujungnya. Hati-hati mereka tersakiti karena singgasana pengaruhnya direbut orang lain dari kalangan biasa-biasa saja tapi mendapat tempat dari pemangku kekuasaan yang berlaku. Dalam panasnya kekuasaan politik, saling sikut antara ahli ilmu, bahkan sesama ulama pun, amat terbuka terjadi.
Yang tak boleh terjadi adalah ketika kedengkian itu berujung sikap semberono yang mengabaikan adab. Akibat merapat pada kekuasaan, nalar berpikir yang dimiliki dicampakkan. Semua dipakai demi mengukuhkan kekuasaan, sekaligus menyingkirkan mereka yang dianggap beda dan mengancam.
Diskursus Pancasila, dalam kasus aktual misalnya, dipakai untuk memukul sesiapa yang mengusik kemapanan kekuasaan. Demikian pula ketika kalangan berpendidikan itu bergerombolan lalu mengadu pada kekuasaan tentang ancaman radikalisme di masjid; ini pun wacana yang tak adil diseruakkan ke publik tanpa melihat kebenaran dan akurasi kejadian di lapangan. Simpulan yang masih asumsi sepertinya lebih penting dilaporkan.
Tak peduli diskusi pelbagai kalangan yang berbeda dienyahkan, semua harus menurut pada tafsiran sesiapa yang “sehati” di pihak penguasa. Objektivitas ilmu serasa hambar karena lebih sebagai legitimasi curahan hati yang nir-penyigian sepenuh adil. Kecemasan yang lebih dilatari referensi sepihak tapi seakan postulat yang mesti dicegah.
Atau atas nama penelitian tapi bingkai dan batasan masalah diselerakan dengan sesuka hati. Semua ini seolah ilmu yang ada pada pemiliknya berjarak dengan kejujuran. Dan kejujuran dekat dengan keikhlasan menegakkan kebenaran.
Barangkali di sinilah perlunya keikhlasan dalam memegang erat ilmu, entah dalam posisi di dalam ataupun di luar kekuasaan. Menarik di sini apa yang dikatakan Syeikh Yusuf al-Qaradhawi dalam Menata Niat Mewujudkan Ikhlas (terjemah dari Fî Ath-Tharîq ilalLâh: An-Niyat wa Al-Ikhlâsh) tentang pentingnya keikhlasan dalam mencegah kekuasaan tirani:
“Apabila keikhlasan telah hilang, kemunafikan merajalela, suara orang-orang munafik meninggi, dan ‘dagangan-dagangan’ mereka dipromosikan sedemikian rupa, maka kehidupan ini akan rusak, timbangan-timbangan kehidupan akan berantakan. Dalam upayanya memenuhi kesenangan nafsu dan memuaskan kepentingan materi mereka yang bersifat sesaat, mereka tidak peduli yang mereka lakukan akan membuat para jembel diperlakukan seperti penguasa, setan-setan diperlakukan seperti malaikat-malaikat, dan para pencuri diperlakukan seperti manusia terhormat. Mereka tidak akan segan-segan mencurigai orang-orang terhormat, mengkhianati orang-orang yang amanah, dan mendustai orang bijak. Mereka juga tidak segan-segan menjadikan fatamorgana jadi seperti air, dan kawan-kawannya sendiri dijadikan seperti robot.”