TAKZIAH NENEK REMBULAN, 1
Di reranting trembesi tua. Nenek rembulan
Tutup usia. Dalam pangkuan dan pelukan
Si Pungguk bungkuk yang berabad-abad
Memikul cinta pertama yang tak kenal tutup mata
Jenazahnya dimandikan bebulir embun. Dikafani
Guguran daun. Dishalatkan semilir angin. Ditahlilkan
Sendiri si Pungguk bungkuk yang berabad-abad
Memanjatkan doa setia yang tak pernah purba
Matahari dan bumi takziah. Matahari menunduk,
Sinarnya redup. Bumi berjilbab semuhitam,
Matanya sembab. Keduanya menerawang angkasa
Terkenang masa-masa kecil yang indah nian
Dolanan bersama nenek rembulan
Langit menjerit. Suaranya merobek jantungnya
Kakinya bergetar. Tiangnya bergoyang. Para planet
Berlarian ke balik peraduan. Satelit-satelit manusia,
Terutama buatan USA, Rusia, Jerman, Prancis, dan China
Belingsatan dari peredaran. Bima sakti pun sepi
Setelah dukanya agak reda, langit mengusap airmata
Diambilnya jubah, kerudung, dan kacamata hitamnya
Diiringi pelangi yang bajunya memasi, langit tiba
Di rumah duka, reranting trembesi tua
Tetangga trembesi tua; waru, jati, mangga, dan palem
Menggelar daun-daunnya untuk tikar selamatan. Langit
Halus menolak, sungkan duduk. Langit tak enak hati
Kepada pohonan yang rukun, santun, dan rendah hati
Disuruhnya atmosfer menelungkupkan tubuhnya
Untuk dijadikan permadani bagi para pelayat,
Pentahlil, dan penderes ayat-ayat. Ditatapnya haru
Kaum burung dan serangga tadarusan
Sepanjang siang dan malam
Diam-diam relung relung kalbunya
Pun wiridan
Magetan, 2012
TAKZIAH NENEK REMBULAN, 2
“Mengapa Mbah Buyut Langit menjerit tadi malam?”
Tanya komet yang tak ketahuan menguntit ikut
takziah ke rumah duka, di reranting trembesi tua.
Mata Langit mendelik, kaget, tapi sedetik saja
Lalu matanya kembali sendu. Mulutnya membisu
Jiwanya dirundung duka dahsyat dan hebat. Semesta
Seperti hendak kiamat
“Apa yang terjadi dengan nenek rembulan,
Mbah Buyut Langit?” Tanya meteor yang ujug-ujug
Mengekor.
Langit lekat-lekat menatap komet dan meteor
“Kemarin malam, Buyut usir
Nenek Rembulan dari peredaran…”
Kata-kata langit tersekat
Di tenggorokannya.
“Emangnya kenapa, Mbah Buyut?”
Tanya komet dan meteor berbarengan.
“Buyut menyesal…” kembali kata-kata langit
Tersekat di tenggorokannya.
“Menyesal gimana, Mbah Buyut?”
Komet dan meteor mendesak sopan.
“Kemarin lusa Nenek Rembulan minta izin,
Mohon satu malam saja membalas rindu si Pungguk.
Tentu Buyut muntab. Meski hanya semalam,
Buyut takkan setuju, hati Nenek Rembulan
Tergoda si Pungguk yang berabad-abad
Menantikannya tak tahu malu.
“Terus gimana, Buyut?” Komet dan Meteor karuan
Penasaran, telinga keduanya melebar ke bawah
Dan menjulang ke atas.
“Nenek Rembulan terus memaksa. Kali ini dia tak mau
Mendengar titah Buyut. Buyut tambah muntab.
‘Cukup sekali saja kamu boleh balas rindu si Pungguk.
Setelah itu, jangan sekali-kali
Kamu kembali kepadaku!’”
Kata-kata Langit bukan hanya tersekat
Di tenggorokannya, tapi mengait dan
Menusuk tenggorokannya, seperti duri
Ikan gembung mengait dan menusuk
Tenggorokan Mbah Supingah, tetanggaku
Yang hidup sebatangkara, tiga hari lalu…
Magetan, 2012
Tentang Syukur A. Mirhan
Lahir di Bogor, 8 Mei 1971. Alumnus Program Pendidikan Bahasa Jerman Fakultas Bahasa dan Seni IKIP/UPI Bandung. Kini melanjutkan Studi S-2 di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana IKIP PGRI Madiun. Pengasuh Komunitas LanggarALITliterA dan Aktivis Majelis Sastra Madiun (MSM). Karya-karya puisinya pernah dimuat di Tabloid Hikmah Bandung, Pikiran Rakyat, Mitra Budaya, Pikiran Rakyat Cirebon, Isola Pos, Bandung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Swadesi, Annida, Ummi, MPA Surabaya, SuaraSantri Al-Madinah, Jurnal Bogor, Sabili, Fajar Banten, Oase Kompas Online, Horison Online, Sastra Indonesia.com, Pikiran Rakyat Online, Situseni, dan TerasBanten.com, dan antologi puisi Forum Kebun Raya (1996), Airmata yang Jatuh di Negeri Rembulan Timur (2004), dan Rembulan pun Melapuk di Reranting Perak (2012). Bisa silaturrahim ke email [email protected] dan HP 085233738177.