Kamis 21 Jun 2012 17:07 WIB

Puisi-Puisi Syukur A. Mirhan (2)

Ilustrasi
Ilustrasi

 

TAKZIAH NENEK REMBULAN, 1

Di reranting trembesi tua. Nenek rembulan 

Tutup usia. Dalam pangkuan dan pelukan 

Si Pungguk bungkuk yang berabad-abad

Memikul cinta pertama yang tak kenal tutup mata

Jenazahnya dimandikan bebulir embun. Dikafani 

Guguran daun. Dishalatkan semilir angin. Ditahlilkan

Sendiri si Pungguk bungkuk yang berabad-abad

Memanjatkan doa setia yang tak pernah purba

Matahari dan bumi takziah. Matahari menunduk,

Sinarnya redup. Bumi berjilbab semuhitam,

Matanya sembab. Keduanya menerawang angkasa

Terkenang masa-masa kecil yang indah nian

Dolanan bersama nenek rembulan

Langit menjerit. Suaranya merobek jantungnya

Kakinya bergetar. Tiangnya bergoyang. Para planet

Berlarian ke balik peraduan. Satelit-satelit manusia, 

Terutama buatan USA, Rusia, Jerman, Prancis, dan China 

Belingsatan dari peredaran. Bima sakti pun sepi

Setelah dukanya agak reda, langit mengusap airmata

Diambilnya jubah, kerudung, dan kacamata hitamnya

Diiringi pelangi yang bajunya memasi, langit tiba 

Di rumah duka, reranting trembesi tua

Tetangga trembesi tua; waru, jati, mangga, dan palem 

Menggelar daun-daunnya untuk tikar selamatan. Langit 

Halus menolak, sungkan duduk. Langit tak enak hati 

Kepada pohonan yang rukun, santun, dan rendah hati 

Disuruhnya atmosfer menelungkupkan tubuhnya 

Untuk dijadikan permadani bagi para pelayat,

Pentahlil, dan penderes ayat-ayat. Ditatapnya haru 

Kaum burung dan serangga tadarusan 

Sepanjang siang dan malam

Diam-diam relung relung kalbunya 

Pun wiridan

Magetan, 2012

TAKZIAH NENEK REMBULAN, 2

“Mengapa Mbah Buyut Langit menjerit tadi malam?”

Tanya komet yang tak ketahuan menguntit ikut 

takziah ke rumah duka, di reranting trembesi tua.

Mata Langit mendelik, kaget, tapi sedetik saja

Lalu matanya kembali sendu. Mulutnya membisu

Jiwanya dirundung duka dahsyat dan hebat. Semesta

Seperti hendak kiamat

“Apa yang terjadi dengan nenek rembulan, 

Mbah Buyut Langit?” Tanya meteor yang ujug-ujug

Mengekor.

Langit lekat-lekat menatap komet dan meteor

“Kemarin malam, Buyut  usir

Nenek Rembulan dari peredaran…” 

Kata-kata langit tersekat

Di tenggorokannya. 

“Emangnya kenapa, Mbah Buyut?”

Tanya komet dan meteor berbarengan.

“Buyut menyesal…” kembali kata-kata langit 

Tersekat di tenggorokannya.

“Menyesal gimana, Mbah Buyut?”

Komet dan meteor mendesak sopan.

“Kemarin lusa Nenek Rembulan minta izin,

Mohon satu malam saja membalas rindu si Pungguk.

Tentu Buyut muntab. Meski hanya semalam,

Buyut takkan setuju, hati Nenek Rembulan 

Tergoda si Pungguk yang berabad-abad 

Menantikannya tak tahu malu.

“Terus gimana, Buyut?” Komet dan Meteor karuan 

Penasaran, telinga keduanya melebar ke bawah 

Dan menjulang ke atas.

“Nenek Rembulan terus memaksa. Kali ini dia tak mau 

Mendengar titah Buyut. Buyut tambah muntab. 

‘Cukup sekali saja kamu boleh balas rindu si Pungguk. 

Setelah itu, jangan sekali-kali 

Kamu kembali kepadaku!’”

Kata-kata Langit bukan hanya tersekat 

Di tenggorokannya, tapi mengait dan

Menusuk tenggorokannya, seperti duri 

Ikan gembung mengait dan menusuk

Tenggorokan Mbah Supingah, tetanggaku

Yang hidup sebatangkara, tiga hari lalu…

Magetan, 2012

Tentang Syukur A. Mirhan

Lahir di Bogor, 8 Mei 1971. Alumnus Program Pendidikan Bahasa Jerman Fakultas Bahasa dan Seni IKIP/UPI Bandung. Kini melanjutkan Studi S-2 di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana IKIP PGRI Madiun. Pengasuh Komunitas LanggarALITliterA dan Aktivis Majelis Sastra Madiun (MSM). Karya-karya puisinya pernah  dimuat di Tabloid Hikmah Bandung, Pikiran Rakyat, Mitra Budaya, Pikiran Rakyat Cirebon, Isola Pos, Bandung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Swadesi, Annida, Ummi, MPA Surabaya, SuaraSantri Al-Madinah, Jurnal Bogor, Sabili, Fajar Banten, Oase Kompas Online, Horison Online, Sastra Indonesia.com, Pikiran Rakyat Online, Situseni, dan TerasBanten.com, dan antologi puisi Forum Kebun Raya (1996), Airmata yang Jatuh di Negeri Rembulan Timur (2004), dan Rembulan pun Melapuk di Reranting Perak (2012). Bisa silaturrahim ke  email [email protected] dan HP 085233738177.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement