Oleh: Abdul Hadi WM
"Aku harap kau mau meraba bulu kudukku yang gemetaran di tangan. Dan mencium keningku yang berdarah sebelum pergi dengan kain dan rambut terseret," katanya. Tamu asing itu menghilang di pagi subuh dan meninggalkan hotel ketika musik membuai kota yang mati.
Kami tahu ia akan datang di malam hari Dengan sepatu yang tua dan kemeja yang kusut dan melemparkan surat kabar ke atas meja. Pelancong yang sedih, pemabuk yang sunyi Telah menyewa kamar hotel dalam perjalanannya dengan tujuan tak pasti ke kota ini di mana peluit kapal itu sepanjang malam bermimpi dan penghuninya harus mengungsi ke seberang pulau yang penduduknya binasa
Antara Chittagong dan Hanoi, kami telah berjalan sekian ribu mil, lewat kesepian dan masa kanak-kanak dan hidup penuh impian gemilang, menyanyikan Li Po dan baris-baris sajak Iqbal: "Tiongkok dan Arab adalah tanahku juga India, adalah juga halaman Tuhan..." Antara Chittagong dan Hanoi, kami telah berjalan sekian ribu mil, mengawasi Gangga dan Yangtze Lewat pintu kereta masa silam, di mana Tembok Raksasa dan Borobudur didirikan, kemudian kapal-kapal Inggris dan Portugis mendirikan Hongkong, Singapura, Macao dan Goa buat persediaan gandum dan perang di masa datang
"Mari kita tinggalkan kota yang buruk ini dan cium keningku yang berdarah sebelum kau pergi dengan gelisah dan kepala yang penyap karena impian," katanya. Tamu asing itu membuka peta yang besar dan membiarkannya di mejja makan, lalu menghilang di pagi subuh dan meninggalkan hotel yang tiba-tiba sepi karena musik tidak berbunyi Kami tahu ia akan datang di malam hari, dengan samurai dan jubah seorang darwish yang di tangan kirinya memegang kitab Pararaton, memandang kita dengan masai Di luar kami dengar dengus kuda Timur Lenk dan orang-orang berteriak mengatakan bahwa perang sedang berkobar di sebuahh kota di snsana. Dan seorang perempuan bermata sipit membelalak. Muncul di pintu dan berkata bahwa ia keturunan dewa
Kami tahu ia akan datang di malam hari, dengan kata-kata Iqbal dan mengucapkan mantra kepada istana-istana tua Yang para penjaganya telah membeku menjadi arca batu dengan kanak-kanak yang sepanjang malam menyanyikan: "Nenek moyangku orang pelaut..." dan harus mencari negeri baru.
(Dibacakan pertama kali di People Church, Iowa City, Iowa, USA)
*Abdul Hadi WM, Penyaur dan pelopor sastra sufi. Kini Guru Besar Universitas Paramadina, Jakarta.