Rabu 14 Mar 2012 11:56 WIB

Pemuda; Kulminasi dan Instalasi

Pemuda (ilustrasi)
Foto: rakyatpekerja
Pemuda (ilustrasi)

“Beri aku 1000 orang tua, akan aku cabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 orang pemuda, akan aku goncangkan dunia.” (Ir. Soekarno)

Nilai sebuah warisan

Pemuda; Menurut Ust. Yusuf Qardhawi adalah titik pertengahan, seperti sebuah titik kulminasi matahari, titik dengan energi panas tertinggi. Mungkin seperti itulah gambaran terbaik dari seorang pemuda. Saat dia memiliki energi yang paling tinggi, ghirah juang yang membara, perasaan cinta yang menggelora, itulah pemuda, yang seharusnya menjadi menjadi tonggak bangsa dan tonggak agama. 

Kita dapat melihat epik spirit masa lalu tentang pemuda. Sifat-sifat ketangguhan, pengorbanan dan dedikasi mereka yang membuat mereka dikenal. Bukan berarti mereka berjuang untuk dikenal, tapi mereka berjuang sehingga tidak sadar mereka dikenal.

Sebuah warisan epik spirit, yang hingga saat ini kita dapat menikmati dan mengambil ibroh-nya. Perjuangan dan pengabdian mereka pada agama, terukir jelas pada benak dan pikiran kita. Seperti sebuah relief yang tidak mudah dipecahkan oleh lapuknya zaman. 

Dalam Islam, kita mengenal (sebut saja) Abdullah, putra Umar bin Al Khattab dan Al-Barra bin Malik. Sejak 13 tahun, mereka sudah mengikuti perang. Usia tersebut bukanlah umur yang matang untuk masa-masa sekarang ini. Masa yang digunakan untuk bersekolah, pertumbuhan dan bahkan galau. Tetapi, mereka telah mengenyam apa yang disebut Perang Uhud (Abdullah bin Umar yang diterima, Al-Barra bin Malik baru diterima saat Perang Khandaq), kala mereka tidak pernah kenal dengan update status dan social media.

Dedikasi mereka hanya untuk agama, bukan untuk disebut dan pula untuk dilihat. Dedikasi yang pantas untuk ditiru. Peranan yang tidak kecil untuk sebuah tataran peradaban yang mulia, komunitas muslimin yang saat itu tertindas dan mulai bergeliat melawan. Inilah yang saya sebut sebagai pemuda sejati.

Realitas pemuda

Pemuda bukan hanya sebuah hierarki lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka memiliki peran dan mereka diperhitungkan. Jika kala dulu pemuda berjuang melawan musuh, demikian pula saat ini.

Tantangan seorang pemuda, bukan saja tantangan yang mudah. Dahulu tidak ada kotak besar berwarna yang sering kita sebut sebagai TV, tidak pernah ada internet maupun situs portal video. Sedang sekarang, memang tidak pernah ditemukan (segi individual langsung) peperangan seperti zaman Nabi, penaklukkan daerah seperti zamannya Muhammad Al Fatih, atau mempertahankan daerah seperti pada zamannya Salahuddin Al Ayyubi. Bukan pula melawan tirani, seperti yang dialami Hasan Al Banna dan Sayyid Quthb. Tetapi, tantangan yang beredar saat ini malah jauh lebih berkembang.

Muhammad Hatta mengatakan, “pemuda bagai mendayung di antara dua karang.” Mereka memiliki cita-cita dan mereka menerima sebuah tantangan. Pemuda kini menerima tantangan yang lebih kompleks. Kompleksitas yang besar dibanding tantangan pemuda masa lalu, akibat perkembangan zaman yang semakin membiak, dari segi teknologi dan peradaban. Tantangan yang membutuhkan respon yang cepat dan tanggap. Tidak itu saja, jika mereka tidak bisa seperti karang, maka mereka terhembas ombak. Jika mereka tak bisa seperti layang-layang, mereka akan terhembas didera sang angin.

Masalah yang masih sering muncul ternyata "mereka", para pemuda, memiliki referensi-referensi yang bisa dikatakan salah kaprah. Referensi yang sebaiknya (dan seharusnya) melihat epik spirit pemuda zaman dahulu, entah itu dari golongan Islam (perjuangan Islam), kenegaraan, ilmuwan dan tokoh yang lain. Namun, ternyata mereka melihat penokohan sosok lain penggerogot mental. Sekuler dan filsafat yang salah kaprah menjadi atsar perilaku mereka. Lingkungan yang mendukung kebobrokan semua itu, membutuhkan kesadaran yang benar-benar ada. Lalai, maka hilanglah mereka. Sebuah ironi yang memang harus diterima.

Tak jauh dari itu, pemuda sekarang telah banyak menerima sebuah pergeseran nilai. Perilaku-perilaku yang tabu dan tak pantas dilakukan pada zaman dahulu, sekarang menjadi lazim dilakukan. Pergeseran pemikiran yang semakin tak berujung, dan mereka dihadapkan pada fakta yang harus mereka sikapi dengan bijak. Bahkan, mereka yang telah dibina sejak kecil, mengerti sesuatu yang benar, saat mereka "lepas" belum tentu mereka bertahan. Maka, ada seorang penyair mengatakan:

“Aku mengajarinya menembak setiap waktu.

Tapi setelah mahir dia justru menyerangku.

Aku mengajarinya berpantun dan bersajak.

Ketika menjadi pintar dia justru memberontak.

Aku mengajarinya dengan budi pekerti yang mulia.

Ketika menjadi besar dia justru acuh terhadap orang tua.”

Kulminasi dan Instalasi

Pemuda memiliki energi yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan untuk apa saja. Mulai dari perjuangan, pendidikan, dakwah, hingga misi kesesatan. Mereka bagai super komputer yang maha canggih yang dicipta oleh Allah. Mampu berpikir dan mencerna, tapi hanya sebagian saja. Saat mereka menerima sebuah doktrin, dengan sangat cepat mereka mencerna. Ada yang ter-filter dengan baik, ada pula yang jebol sehingga proses instalasi akan berjalan dengan sangat cepat merasuk ke tulang-tulang dan darah-darah mereka, sehingga tanpa sadar mereka “kesetanan”. Gemar berkutat pada budaya pop dan instan tanpa proses yang panjang dengan pemikiran yang bijak dan tentunya meninggalkan nilai-nilai agama. Inilah proses instalasi yang hebat pada diri seorang pemuda. 

Masih berlanjut pada proses instalasi, bahkan pendidikan yang melingkupi mereka akan mental. Masuk telinga kanan, mental entah kemana. Proses ini, pada setiap pemuda akan selalu bersaing. Pendidikan moral atau instalasi kebobrokan.

Tidak berhenti di situ saja, instalasi ini tidak berhenti pada tingkat kebobrokan dan kesetanan. Bisa pula falsafah yang salah, yang secara implisit (tersembunyi), merasuk pada dada-dada mereka. Sehingga, tidak mengherankan banyak demo mengatasnamakan Islam, mengatasnamakan HAM dan sebagainya, yang mungkin mereka sendiri tidak paham apa yang mereka suarakan. Sungguh miris.

Tidak terputus dari wacana di atas. Secara kejiwaan, masalah yang mendera pada pemuda oleh Ust. Sofyan Siroj dipersempit menjadi empat ragam, yakni emosional, orientasi kultus, sok pintar, dan meremehkan orang lain.

Pertama, emosional; Pemuda dengan perasaan yang meluap-luap, menerima apapun dengan sangat cepat. Namun, kepahaman terhadap agama sangat minim. Inilah mengapa kita sangat khawatir terhadap perkembangan pemuda. Perkembangan yang membiak tak tentu arah tanpa benteng-benteng yang kuat berupa iman, akan hancur. Iman haruslah benar-benar menghujam dalam hati mereka.

Selanjutnya adalah orientasi kultus. Sebenarnya, sikap ini adalah untuk muslim secara global yang meniru dan taklid pada seseorang yang dikultuskan. Namun, tanpa menggeser nilainya, pemuda pun melakukan hal demikian. Mereka tidak mengkultuskan penyanyi pop, boy band maupun girl band. Mereka “HANYA” meniru, menikmati dan bangga. Mereka mungkin sedikit lupa siapa Abu Raihan Al Biruni, lupa dengan Muhammad bin Musa Al Khawarizm, yang sebenarnya lebih sangat pantas untuk mereka tiru.

Kasus selanjutnya adalah sok pintar. Pada bidang ilmu duniawi, pemuda mungkin tidak berkutik saat ditanya tentang operasi bedah tulang, adsorpsi trace metals, atau tentang ekonomi makro dan mikro. Namun di bidang agama, mereka bisa saja sangat "keblinger" hanya karena salah input. Seperti ini kalau tidak diberi pencerahan dan wacana yang benar, pemberian kajian yang tidak menyentuh hati mereka dan dibiarkan saja, dan termasuk pada pemuda yang “kesetanan” di atas, bisa-bisa mengatakan:

"yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: "Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu." (83:13)

Na’udzubillahi min dzaalik.

Efek yang tidak jauh dari sok pintar, juga melanda yakni meremehkan orang lain. Suatu sikap yang mudah terlihat. Ketika mereka acuh, apatis, skeptis dan meremehkan, inilah yang menjadi sorotan. Ketika Anda melihat pemuda-pemuda kita, sebut saja penganut ajaran kebebasan tak bertepi, Anda akan melihat kebersamaan mereka sangat baik. Namun, coba Anda turun dan menasihati mereka, entah dengan teori psikologi apapun, atau bahkan dengan dalil Alquran dan Hadits, mereka akan percaya dengan di samping mereka dibanding Anda. Sikap seperti ini adalah sikap yang meremehkan. Pada tataran yang lanjut, mereka bahkan akan menentang. Simalakama bukan? Ketika kita ingin mencoba mengubah dan menyadarkan yang belum tentu bisa, tapi malah ada perlawanan. 

Solusinya, ternyata memang pendidikan moral dan agama menjadi kunci utama. Orang yang digemblengkan dari kecil dengan pendidikan moral yang baik, agama yang menjadi pijakan, maka kita akan banyak melihat orang-orang terbaik pula dalam peri kehidupannya sehari-hari.

Wisnu Arfian, M.Sc

Alumnus Pascasarjana Kimia UGM

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement