Senin 22 Jul 2013 10:49 WIB

Zakat Dalam Dinar dan Dirham

Uang Dirham Dinar
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Uang Dirham Dinar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zaim Saidi

Saat Ramadhan datang, kaum Muslim menggunakannya sebagai momen untuk menghitung dan membayarkan zakat. Ini, antara lain, dimotivasi agar mendapat pahala berlipat.

Tentu saja ini tidak tepat meskipun benar Allah SWT melipatkan pahala setiap perbuatan baik pada Ramadhan. Tapi, sudah pasti itu tidak berlaku bagi zakat. Sebab, zakat, seperti puasa, adalah ibadah wajib tersendiri.

Jadi, membayarkan zakat yang merupakan kewajiban tersendiri itu pada Ramadhan atau bukan sama saja. Penyandingannya dengan shalat justru menunjukkan bahwa penunaian zakat itu harusnya setiap saat. Pemahaman yang keliru tentang waktu pembayaran zakat yang dikonsentrasikan pada Ramadhan sesungguhnya malah menimbulkan persoalan.

Zakat mal jadi menumpuk dalam masa yang sangat singkat hingga kurang terjadi pemerataan kekayaan dari segi waktu. Karena itu, sangatlah penting bagi setiap muzaki untuk menetapkan haul zakatnya secara lebih tepat dan tidak semata-mata mematok bulan Ramadhan supaya zakat bisa ditarik dan dibagikan setiap hari sepanjang tahun. Hingga ada pemerataan persebaran zakat tersebut.

Selain soal haul, rukun pokok lain dari zakat mal yang harus dipenuhi adalah batas minimal kewajiban atau nisab yang ditetapkan dalam dinar emas dan dirham perak. Dalam hal ini, Imam Malik (dalam Muwatta) berkata, “Sunah yang tidak ada perbedaan pendapat tentangnya adalah bahwa zakat diwajibkan pada emas senilai 20 dinar sebagaimana pada perak senilai 200 dirham.” Saat ini hampir semua pihak, termasuk para ulama, menyatakan bahwa nisab zakat mal adalah 85 gr emas. Ini kurang tepat dan menimbulkan persoalan serius.

Pertama, nisab itu ditetapkan memang dalam berat, tetapi satuannya adalah mithqal atau dinar emas bukan gram yang kalau dikonversi ke dalam berat umumnya memang menemukan angka 85 gr emas. Sebab, satu mithqal atau satu dinar emas adalah 4,25 gr, 20 dinar atau 20 mithqal menjadi 85 gr emas.

Penggunaan nisab dalam gr (emas) menghilangkan pengetahuan dasar umat Islam tentang satuan berat dalam syariat Islam (mithqal dan qirat) tentang dinar emas dan dirham perak dengan segala implikasinya. Antara lain, pengetahuan tentang ketetapan yang berkaitan dengan nilai, seperti pada hudud, diyat, mahar, dan sejenisnya, juga hilang.

Kedua, nisab 20 dinar dan 200 dirham ini mengacu secara umum untuk harta moneter (uang) dan harta perniagaan dan bukan an sich kepada (logam) emas dan perak.  Dengan demikian, sebagaimana bisa dirujuk kepada pendapat para ulama salaf, zakat harta uang dan perniagaan hanya bisa dibayarkan dengan dinar emas atau dirham perak, masing-masing sebasar 2,5 persennya, yaitu 0,5 dinar emas dan lima dirham perak.

Dinar emas dan dirham perak adalah ‘ayn (aset nyata) sebagaimana produk pertanian dan peternakan yang bila jatuh nisab zakatnya hanya bisa dibayarkan dengan ‘ayn  yang bersesuaian dengannya. Zakat tidak bisa dibayarkan dengan dayn (bukti utang) yang dalam konteks harta moneter dan barang perniagaan saat ini adalah berupa uang kertas atau turunannya.

Ketiga, penggunaan nisab zakat mal dan perniagaan yang hanya merujuk pada (dinar) emas dan mengabaikan (dirham) perak menciutkan jumlah muzaki. Nilai dinar emas pada awal Ramadhan 1434 H ini, misalnya, bila dirupiahkan adalah Rp 2 juta sedangkan dirham perak adalah Rp 70 ribu. Artinya, nisab zakat dalam dinar emas setara dengan Rp 40 juta sedangkan nisab zakat dalam dirham perak adalah Rp 14 juta.

Jadi, selama ini, karena nisab yang dipakai hanyalah (85 gr) emas maka mereka yang memiliki tabungan mulai Rp 14 juta hingga Rp 40 juta tidak dinyatakan berkewajiban zakat. Padahal, jumlahnya secara logika akan jauh lebih banyak ketimbang yang memiliki tabungan bernisab dinar emas.

Keempat, ini yang sangat penting sebagaimana kita lihat dalam lebih dari satu dekade ini, penerapan sistem uang kertas dalam kehidupan sehari-hari terbukti semakin genting. Sistem ini yang tidak lain berbasiskan pada riba telah mendekati keruntuhannya yang ditandai dengan ‘krisis moneter’ yang tiada berhenti dan semakin hari semakin berat.

Uang kertas adalah liabilitas, bukan aset. Nilainya terus-menerus merosot. Secara riil, uang kertaslah sumber pemiskinan berupa inflasi yang merampas harta setiap orang. Membayarkan zakat mal dalam dinar emas dan dirham perak akan dengan sangat efektif menghentikan pemiskinan akibat inflasi ini. Dalam 10 tahun terakhir ini, sejak kedua koin nabawi ini beredar di Indonesia, telah banyak yang mendapatkan manfaat ini.

Kelima, pembayaran zakat dalam dinar dan dirham yang diserahkan kepada mustahik memberikan dua manfaat lainnya. Satu, menjadi ajang edukasi umat Islam tentang rukun zakat, dinar, dan dirham, serta praktik muamalat sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad SAW. Dua, adanya bazar-bazar dengan dirham dan dinar membuat  perdagangan kembali bergerak, perekonomian masyarakat, khususnya usaha kecil ikut berkembang. n

Pimpinan Wakala Induk Nusantara (WIN), Pengguna Dinar dan Dirham

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement