REPUBLIKA.CO.ID, KH Said Aqil Siroj (Ketua Umum PBNU)
“Sarang penyamun,” begitu kata-kata yang sontak terucap dari kenalan saya seorang pedagang kecil saat mulai berbincang-bincang dengan saya soal ribut-ribut korupsi oknum Ditjen Bea dan Cukai. Biasalah, kata-kata sumpah serapah akan gampang terlontar bila bicara soal korupsi apalagi yang terjadi di sebuah institusi negara yang melibatkan pejabat. Ungkapan marah kenalan saya itu setidaknya representasi sikap amuk masyarakat dalam menyikapi terbongkarnya berbagai kasus korupsi.
Marah lagi marah lagi, begitu terus menyulut emosi masyarakat. Ada cerita kasus suap yang menimpa mantan pejabat teras di SKK Migas. Lalu terbongkar lagi //rasuah// yang menjerat petinggi Mahkamah Konstitusi. Disusul lagi terungkapnya model 'dinasti' yang melibatkan petinggi daerah.
Belum reda berita panas korupsi, Polri mencokok oknum pejabat Ditjen Bea dan Cukai yang //berkongkalikong// dengan pengusaha mengeruk duit lewat jalan korupsi. Rakyat jadi sebal, mengapa mereka yang sudah termanjakan gaji dan fasilitas ini masih saja mau korupsi. “Dasar moral bejat!” begitu ungkapan santri saya yang selalu baca koran.
Harap maklum betapa marahnya masyarakat gara-gara meruahnya kasus korupsi. Rakyat kecil susah cari uang, sementara yang duduk bersinggasana di atas justru menimang uang dan itu dilakukan dengan cara yang culas. Jangankan fasilitas atau tunjangan, untuk cari pekerjaan dengan gaji yang tak seberapa pun susah.
Begitupun, yang sudah kerja jadi karyawan, sering tekor untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Maka sungguh ironis, manakala koruptor ditangkap, yang terpampang adalah berjejer mobil mewah, rumah gedongan, dan selanjutnya terkuak wanita-wanita yang menjadi 'saweran' si koruptor.
Menjadi adiktif
Bolehlah mengacu pada pemilahan secara sosiologis menurut Syed Husein Alatas (1997), perilaku koruptif di negeri kita terwujud baik dalam bentuk korupsi transaktif, ekstroaktif dan nepotistik. Ini baru beberapa modus, walaupun masih banyak modus dilakukan demi memuluskan perbuatan korupsi. Dan fakta lazimnya, korupsi dilakukan secara berjamaah.
Namanya juga jamaah, pasti ada imam dan makmum. Seorang pegawai bisa ikut-ikutan korupsi boleh jadi karena terbukanya peluang dan ada 'restu' dari atasan. Awalnya mungkin takut, tapi karena yang melakukan itu dari sejawatnya, baik yang selevel maupun level di atasnya, maka jadilah keberanian itu menggumpal.
Sekali dua kali terasa enak, tanpa ada pengawasan. Lama kelamaan hilang ingatan dan menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Begitulah banyak cerita yang menyangkut sisik-melik korupsi yang melanda di lingkungan instansi negara. Ini sudah bukan rahasia umum lagi dan sering jadi bahan obrolan hingga di warung kopi. Tentu ini tidak bermaksud menggeneralisasi terlampau menyederhanakan.
Nahasnya, kasus-kasus korupsi bagaikan hilang satu tumbuh seribu. Tak ada jera dalam melakukan korupsi, karena dorongan 'kalap' untuk hidup kaya raya. Jadilah korupsi bersifat adiktif. Ibarat pecandu narkoba, kalau sudah tingkat parah, akan sakaw bila tidak menikmati barang haram tersebut.
Bagaimana memberantas korupsi? Jangan seperti larangan merokok. Biarpun sudah diperingatkan bahayanya rokok, tapi toh para perokok terus meningkat. Sebabnya, larangan merokok tidak dibarengi dengan menanggulangi industri rokok. Ada dilema antara masukan pajak dan kecemasan menurunnya kesehatan masyarakat. Ada ungkapan pula, menangkap koruptor mudah, tapi menghukumnya yang sulit karena sering vonis hukumnya ringan atau bahkan vonis bebas.
Kasus sogok di bea cukai kian menampilkan wajah negeri yang babak belur oleh korupsi. Dulu ada istilah 'dirjen bayangan' di bea cukai. Zaman Orde Baru saat menteri kehakiman dijabat Ali Said, pernah memenjarakan belasan mafia bea cukai di Nusakambangan. Di orde reformasi sekarang, tinggal menunggu sampai mana keberanian menghajar koruptor.
Cerita seorang rekan pengusaha, istilah dia, menjadi 'sapi perah' dan 'malaikat pencabut nyawa' ketika menyebut Ditjen Bea dan Cukai. Karena korupsi di bea cukai, negara rugi besar, karena berdampak melimpahnya barang selundupan. Makanya, kita patut curiga, mengapa selama ini banyak produk luar negeri yang membanjiri negeri kita, sampai-sampai produk lokal tiarap.
Potong generasi
Hukum Islam memandang bahwa korupsi tidak hanya terkait dengan persoalan maliyah (harta benda), tetapi berkarakter khusus. Korupsi tidak hanya melibatkan seseorang yang berkuasa, namun meliputi kejahatan yang langsung dilakukan oleh seseorang melalui kekuasaan yang diembannya. Kalau suap, pemegang kekuasaan menerima harta benda dari orang yang tidak berkuasa untuk tujuan tertentu. Korupsi lebih serius, karena meliputi kasus di mana pemegang kekuasaan langsung mencuri harta publik melalui otoritas yang dimilikinya.
Perbuatan korupsi sama dengan fasad, yakni perbuatan yang merusak tatanan kehidupan dan pelakunya dikatakan melakukan dosa besar (jinayah kubro). Dalam bahasa fikih, korupsi disemati pula sebagai jarimah kubro dan dapat dimasukkan sebagai perbuatan syirik, sebuah dosa yang tak terampuni.
Fikih juga melabeli perbuatan korupsi sebagai sariqoh kubro (pencurian besar-besaran) dan pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Dalam hukum Islam dikiaskan (qiyas awlawi), jika pencuri biasa saja dipotong tangannya, maka hukuman bagi koruptor harus lebih besar dari potong tangan.
Mengubah persepsi nalar manusia menjadi penting dalam ikhtiar memberantas korupsi. Korupsi tidak hanya soal perilaku, tetapi juga soal pemahaman berpikir. Manusia dalam perilakunya dipengaruhi oleh situasi-situasi yang melingkupinya yang bisa menjadi 'pengikat' kepercayaannya untuk menaatinya. Dan cara ini mesti dibidikkan melalui 'potong generasi', untuk membangun generasi baru yang bersih.
Nah, cerita korupsi di bea dan cukai makin mencelikkan mata kita betapa korupsi berjalan makin liar. Seganas-ganasnya binatang masih bisa dijinakkan, tetapi seganas nafsu manusia ternyata tak mudah didekati walau dengan ancaman. Tinggallah kini, keberanian!