Kamis 21 Nov 2013 11:21 WIB

Dilema Amerika di Suriah

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Barack Obama membahas Suriah hari Senin (17/6) di sela-sela pertemuan puncak G8 di Irlandia Utara
Foto: Reuters
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Barack Obama membahas Suriah hari Senin (17/6) di sela-sela pertemuan puncak G8 di Irlandia Utara

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Farid Wadjdi

Kesediaan kelompok oposisi terbesar bernegoisasi dengan rezim Bashar al-Assad pada Senin (11/11) menjadi harapan baru Amerika tentang masa depan Suriah. Dalam tanggapannya, Menlu John Kerry menyatakan keputusan yang diambil pihak oposisi--Koalisi Nasional--merupakan langkah besar.

Rezim Assad sendiri memberikan tanda-tanda untuk menghadiri Konferensi Jenewa yang akan membahas perdamaian di Suriah. Namun, menegaskan pengunduran diri Assad dari kekuasaan bukan merupakan bagian dari pembicaraan. Sementara itu, Koalisi Nasional dalam pertemuan dua hari di Istanbul, Turki, menyaratkan pembicaraan damai di Jenewa didasarkan kepada transisi kekuasaan secara penuh yang menolak partisipasi Assad.

Dalam penyelesaian krisis di Suriah, Amerika sendiri mengalami banyak dilema. Di satu sisi Amerika menyadari, dengan berbagai catatan kriminalnya terhadap rakyat Suriah, Assad sulit dipertahankan. Namun, Amerika sendiri belum mendapatkan pengganti yang tepat. Hal inilah yang membuat krisis Suriah menjadi berlarut-larut.

Paling tidak ada tiga kepentingan abadi utama Amerika di Timur Tengah termasuk di Suriah. Pertama, mempertahankan suplai minyak murah dari kawasan Timur Tengah. Kedua, menjamin eksistensi Israel di Palestina. Dan yang ketiga, mencegah munculnya kekuatan Islam ideologis di kawasan tersebut.

Untuk Suriah sendiri, yang paling dicemaskan Amerika adalah berdirinya Islamic state (negara Islam).  Munculnya negara Islam baru dalam bentuk khilafah di Suriah bukan hanya akan mengancam keberadaan entitas Zionis Israel yang berbatasan dengan Suriah, namun juga mengancam negara-negara sekutunya di kawasan Timur Tengah.

Jatuhnya rezim-rezim monarki Arab yang selama ini menjadi penjamin bagi akses Amerika untuk sumber minyak raksasa di regional itu tentu akan mengancam kepentingan pasokan minyak murah untuk Amerika. Pada gilirannya akan berpengaruh besar terhadap kekuatan ekonomi Amerika dan mengubah konstelasi internasional yang selama ini masih di bawah dominasi Amerika.

Persoalannya bagi Amerika , pihak perlawanan yang menentang rezim Assad dari kalangan Islam (mujahidin) yang ada di grassroot justru memiliki tendensi yang kuat untuk menegakkan negara Islam. Sebagian besar mereka juga menolak tawaran negara demokrasi sebagai jalan solusi yang ditawarkan Barat.

Di sisi lain, eksistensi oposisi yang tidak bisa dilepaskan dari peran Amerika dalam pembentukannya, seperti Koalisi Nasional, belum efektif untuk bisa menggantikan posisi Assad. Koalisi Nasional masih dianggap tidak memiliki dukungan kuat dari masyarakat Suriah.

Para mujahidin sendiri sebagian besar menolak oposisi ini dengan tudingan bentukan Barat. Sementara, rakyat Suriah lebih dekat dengan para mujahidin yang hidup berdampingan dengan rakyat melakukan perlawanan nyata terhadap rezim Assad. Mereka juga turun langsung di lapangan membantu rakyat Suriah dengan memberikan bantuan pangan dan pelayanan kesehatan. Berbeda halnya dengan elite Koalisi Nasional yang banyak hidup di luar Suriah.

Tidak heran, akibat belum adanya pengganti Assad, membuat Amerika sepertinya mengulur-ulur waktu untuk menyelesaikan krisis Suriah. Meskipun perang ini telah menyebabkan korban yang sangat besar, lebih kurang 100 ribu telah terbunuh, namun Amerika tidak begitu sungguh-sungguh untuk melengserkan Assad.

Tindakan hati-hati pun menjadi pilihan Amerika, untuk menghindari jatuhnya Suriah kepada kelompok oposisi Islam yang berseberangan dengan kepentingannya. Terkait dengan opsi serangan militer pascadugaan penggunaan senjata Kimia oleh rezim Bashar, Gedung Putih, seperti dilansir Wall Sreet Journal (2/09), menyatakan ingin memperkuat oposisi namun tidak ingin mereka menang.

Gedung Putih juga tidak menginginkan opsi serangan udara akan mengubah keseimbangan konflik karena khawatir kekosongan seusai Assad jatuh akan diisi kelompok Islam. Sejalan dengan itu, Menlu AS mengonfirmasikan intervensi militer terbatas yang dilakukan bukanlah untuk pergantian rezim.

Dari sini bisa dipahami mengapa Amerika tampak membiarkan Rusia memperkuat rezim Assad. Termasuk membiarkan masuknya tentara Hizbullah Lebanon yang didukung Iran memperkuat Assad. Padahal, kalau sungguh-sungguh, pastilah Amerika bisa melakukan tindakan militer nyata untuk menghentikan intervensi Rusia, Iran, dan Hizbullah.

Paling tidak hingga mendapatkan pengganti, Assad yang kuat masih dibutuhkan Amerika. Meskipun hal ini harus dibayar rakyat Suriah dengan kematian, kelaparan, dan penderitaan yang luar biasa. Lagi-lagi, terbukti kepentingan pragmatis negara-negara adidaya dalam konstelasi internasional menjadi panglima dibanding dengan terjaganya nilai-nilai kemanusiaan.

Hal ini sekaligus menjadi bukti bagaimana sistem internasional dengan segala perangkatnya saat ini gagal menjadi solusi. Pertanyaannya, sampai kapan komunitas internasional membiarkan penderitaan rakyat Suriah berkepanjangan?

*Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement