REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erwin Wilianto (Pemerhati Macan Tutul Jawa)
Pada peringatan Hari Konservasi Nasional, 10 Agustus 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pernah menegaskan tentang pentingnya mengupayakan kelestarian lingkungan dan penyadaran mengenai konservasi kepada masyarakat. Seruan ini ditujukan langsung kepada seluruh gubernur di Indonesia.
Namun dua hari kemudian, sebuah peristiwa menantang keseriusan seruan itu. Pada 12 Agustus 2015, di media tersiar berita bahwa warga di kaki Gunung Sawal, Kecamatan Lumbung, Ciamis, Jawa Barat, menangkap seekor Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas). Penangkapan ini ditengarai karena konflik macan tutul dengan masyarakat.
Lebih mencengangkan, warga menuntut tebusan Rp 100 juta kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) – Unit Pelaksana Teknis KLHK. Tebusan itu diklaim sebagai biaya ganti rugi keresahan masyarakat akibat ‘gangguan’ macan tutul. Bahkan, sebagian warga bersikukuh macan liar ini tetap menjadi tontonan.
Petugas BKSDA merespon balik dengan peringatan: tindakan itu melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam. Macan Tutul Jawa merupakan satwa endemik Pulau Jawa yang dilindungi undang-undang, dan salah satu dari 25 spesies prioritas. Satwa ini adalah predator terakhir di Pulau Jawa, setelah harimau jawa dipandang punah pada 1980-an.
Populasi Macan Tutul Jawa di alam sudah sangat sedikit. Bahkan International Union for Conservation of Nature (IUCN)—lembaga dunia konservasi alam—memasukkan satwa ini dalam status Critically Endangered. Artinya, jika tidak ada upaya konservasi yang utuh, Macan Tutul makin mendekati ambang kepunahan.
Singkat cerita, petugas BKSDA berhasil bernegosiasi dengan warga. Macan Tutul tangkapan akhirnya dievakuasi ke sebuah taman satwa (baca: lembaga konservasi) di wilayah Garut.
Tetapi menjadi pertanyaan saya,“Mengapa satwa yang masih liar ini harus berakhir di kandang? Kenapa tidak segera direlokasi dan dilepasliarkan lagi? Toh ini macan liar.”
Sejak 2008, para pemerhati mencatat 35 kejadian konflik Macan Tutul-manusia di pulau padat penduduk ini. Ironisnya, 23 kejadian di antaranya atau 65 persen terjadi di Jawa Barat. Di wilayah ini pernah didaulat Macan Tutul sebagai fauna identitas provinsi. Sementara di Gunung Sawal saja tercatat 9 kasus konflik (24 persen) sejak 2008.
Data menarik lainnya, dari 35 macan tutul yang berkonflik itu hanya seekor macan tutul yang kembali ke alam bebas. Itu pun mesti melalui proses yang melelahkan karena ada pihak tertentu yang memaksa macan tutul itu tetap di kandang.
Dalam wawasan saya, pemerintah belum serius menangani konflik macan tutul dengan manusia. Hal itu terlihat dari prosedur penanganan dan hasil akhir dari kasus-kasus konflik selama ini. Selama ini, penyelesaian konflik bersifat solusi jangka pendek, tanpa mitigasi konflik yang jelas, dan tanpa penyadartahuan kepada masyarakat. Dari kasus-kasus yang terjadi, penyelesaian konflik selalu sama: macan tutul ditangkap!
Padahal, sudah ada ketetapan prosedur penanganan konflik satwa-manusia dalam PERMENHUT Nomor 48 Tahun 2008. Pada kondisi tertentu cukup dilakukan pengusiran, dan petugas memantau kemungkinan potensi konflik susulan. Untuk mitigasi konflik jangka panjang, pada saat yang sama masyarakat perlu diberikan pengetahuan mengenai ekologi dan perilaku macan.
Kalaupun terpaksa ditangkap, pilihan pertama adalah merelokasi macan ke hutan sekitar yang dinilai aman. Tentu dengan catatan, macan tidak menunjukkan kelainan fisik, medis ataupun perilaku. Jika memang sakit, macan mesti dipulihkan beberapa waktu, lalu dilepasliarkan kembali. Intinya, macan tutul harus kembali ke alam liar.
Mari kita simak rincian muram 35 kejadian konflik itu: 9 macan tutul mati di tempat, 2 ekor mati pada saat perawatan, seekor dilepasliarkan kembali, dan 23 lainnya dipelihara di lembaga konservasi, entah kebun binatang atau pusat penyelamatan satwa. Ringkasnya, penyelesaian konfliknya seragam: nasib macan tutul pasti berakhir di kurungan.
Jadi, wajar saja masyarakat Gunung Sawal berinisiatif mengurung macan tutul nahas itu untuk dijadikan tontonan. Itu pilihan dalam nalar warga, daripada menyerahkan macan tutul kepada BKSDA, yang ujung-ujungnya juga dibawa ke kebun binatang.
Melalui surat ini, saya memohon, meminta, dan mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur beserta jajarannya agar:
• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan provinsi lainnya, untuk lebih memperhatikan dan melakukan langkah konkrit upaya pelestarian ekosistem dan konservasi macan tutul.
• Bersama-sama mencari solusi jangka panjang dalam mengelola dan menangani lokasi yang menjadi kantung-kantung populasi macan tutul jawa, terutama di Gunung Sawal, Ciamis.
• Mendesak KLHK dan Pemprov untuk menjalankan amanat Permenhut Nomor 48 Tahun 2008 dalam penanganan konflik satwa liar dengan manusia.
• Mendorong pergerakan Forum Konservasi Macan Tutul yang dibentuk pada 2014, untuk segera menyelesaikan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul agar dapat dilegitimasi dan diimplementasikan hingga di tingkat tapak.
Beberapa hal berikut mungkin perlu menjadi perhatian bersama:
• Macan terkadang menggunakan areal yang bersebelahan dengan manusia.
• Biasanya, macan cenderung tidak menyerang manusia, sebaliknya memilih menghindar. Manusia bukanlah mangsa macan tutul.
• Kalaupun menyerang, itu bentuk pertahanan diri. Jadi jangan melakukan provokasi terhadap pemangsa ini.
• Munculnya macan dekat perkampungan tidak selalu berarti ia keluar dari hutan, dan TIDAK HARUS ditangkap, apalagi dibunuh.
• Keputusan menangkap macan justru dapat meningkatkan potensi konflik, karena areal yang ditinggalkan akan segera diisi oleh individu macan yang lain.
• Penanganan harus berfokus pada solusi jangka panjang. Misalnya pengelolaan perkebunan dan ternak yang tidak mengundang satwa mangsa, seperti babi hutan, dan mencegah macan untuk mendekat ke permukiman.
Satu, dua, atau berapa pun macan tutul yang terpaksa menjadi ‘kucing kurungan’ mungkin tidak cukup berarti bagi kebanyakan orang. Namun proses yang terjadi di balik pengurungan itu bagi saya sudah cukup mencerminkan potret buram upaya konservasi di Indonesia.