REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khairil Miswar (Mahasiswa PPs UIN Ar-Raniry Banda Aceh)
Jumat lalu, tepatnya 13 November 2015, pemerintah Prancis dirundung duka. Dikabarkan lebih dari seratus orang tewas dan tiga ratusan lainnya terluka dalam serangkaian serangan di sejumlah tempat di Kota Paris.
Salah satu korban terbesar, sebagaimana dilansir Republika.co.id, berada di gedung pergelaran konser di Baraclan. Di tempat tersebut sekitar 112 orang tewas saat seorang bersenjata senapan otomatis memberondong penonton yang sedang menyaksikan aksi panggung band Amerika. Kabarnya, pelaku juga menyandera sekitar 100 orang.
Sejumlah pihak menduga bahwa penyerangan tersebut ada kaitannya dengan aksi kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kelompok Said and Cherif Kouachi yang diduga terkait dengan ISIS pernah juga menyerang Charlie Hebdo dan supermarket di Paris pada 8 Januari lalu yang mengakibatkan 18 orang tewas. Waktu itu mereka menyerang tabloid mingguan tersebut karena mengejek Nabi Muhammad melalui kartun yang dibuatnya (Tempo.co).
Sejumlah media juga mengabarkan bahwa serangan di Paris tersebut telah memunculkan kecemasan tersendiri bagi umat Islam yang bermukim di Perancis. Mereka khawatir jika Islamophobia di Perancis akan meningkat akibat serangan tersebut. Umat Islam di Prancis, sebagaimana dikutip Antaranews merasa khawatir mereka akan disalahkan atas tragedi tersebut.
Kondisi ini tentunya tidak terlepas dari tudingan sebagian pihak yang tidak segan-segan dan tanpa rasa malu menghubungkan tragedi Paris dan juga aksi terorisme lainnya dengan Islam, meskipun mereka sendiri paham bahwa Islam tidak pernah mengajarkan terorisme.
Adalah naïf, ketika aksi teorisme dilakukan oleh pelaku yang kebetulan muslim, tudingan langsung di arahkan kepada Islam, tetapi ketika aksi serupa dilakukan oleh non muslim semisal Kristen dan Budha, semua pihak seakan menutup mata dan bersikap ambigu tanpa mengaitkan aksi mereka dengan agama si pelaku – sebuah sikap hipokrit yang tidak adil.
Saya dan kita semua tentu sepakat bahwa aksi terorisme, siapa pun pelakunya adalah tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut pandang keagaamaan maupun dari sisi kemanusiaan, apalagi jika korbannya adalah masyarakat sipil yang tidak “berdosa”. Terorisme adalah kejahatan!
Sikap Latah
Pascatragedi Paris beberapa hari lalu, dunia internasional nampak “berkabung” dan berduka. Sikap prihatin terhadap tragedi Paris juga “semarak” di media sosial. Pascakejadian itu ramai pengguna media sosial, khususnya pengguna Facebook yang mengubah foto profilnya dengan latar belakang bendera Prancis sebagai tanda berkabung ala dunia maya.
Bagi sebagian pengguna media sosial, aksi mengubah foto profil tersebut dilakukan dengan kesadaran sebagai bentuk simpati pada tragedi kemanusiaan yang menimpa Paris. Tetapi ada sebagian pengguna media sosial yang hanya ikut-ikutan.
Bukan tidak mungkin, dari sejumlah nitizen yang mengubah foto profilnya dengan bendera Perancis, tidak tahu-menahu “asbabun nuzulnya”, dan bahkan ada di antara mereka yang mungkin sebelumnya tidak pernah mengenal bendera Perancis, tetapi karena foto profil tersebut sudah menjadi “trend” maka mereka pun ikut-ikutan saja supaya “tidak ketinggalan” dan tampak “gaul”. Ini adalah sikap latah!
Lantas apakah sikap tersebut salah? Jawabannya adalah tidak. Kita memang pantas bersimpati pada tragedi kemanusiaan yang menimpa Paris, tetapi kita juga harus sadar bahwa pada waktu bersamaan di belahan bumi lainnya, khususnya Palestina dan Suriah, tragedi yang sama justru terjadi hampir setiap hari – tidak selangka tragedi Paris.
Aksi terorisme dalam arti luas tidak hanya menimpa Paris, tetapi aksi serupa juga terjadi di dunia muslim, di mana jumlah korbannya lebih banyak. Jika air mata di Paris hanya “tumpah” setahun sekali, di bumi Suriah dan Palestina air mata itu mengalir setiap detik. Wallahul Musta’an.