REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Gilang Guntur Pamungkas
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Penerima Beastudi Pemuda Indonesia
Tujuh belas bulan akhir-akhir ini, sang Gubernur DKI membuat beberapa kebijakan yang membuat hati teriris penuh duka. Kampung Pulo, Kalijodo, dan Kampung Luar Batang menjadi saksi bisu. Betapa pilunya para pribumi terzalimi oleh arogansinya aparat yang bertindak semena-mena.
Sikap yang ditampilkan oleh sang gubernur, memicu sebuah polemik di ibu kota. Para serdadu gubernur bertindak secara represif tanpa ada dialog yang baik terlebih dahulu. Seakan mengadu domba antara serdadu dan para saudara senegara yang kurang mampu dengan menjajah tempat tersebut.
Agustus 2015, Kampung Pulo. Escavator itu pun dengan gagahnya mulai meruntuhkan bangunan-bangunan. Warga pun marah karena merasa tidak diberi kepastian kelanjutan tempat tinggal. Kericuhan pun tak terhindarkan. Korban terluka dan kehilangan rumahnya. Seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Terluka dan kehilangan tempat tinggal.
Februari 2016, Kalijodo. Menjadi sasaran berikutnya. Pertentangan dimana-mana. Karena masih tidak melakukan dialog yang baik.
April 2016, Luar Batang. Malam hari yang seharusnya menjadi waktu senda gurau dengan keluarga sambil beristirahat. Namun, apadaya serdadu sang gubernur itu menyapa dengan ganas. Menggusur daerah itu. Tidak ada dialog yang baik. Langsung melululantahkan bangunan di sana.
Saya mengutip dalam tulisan Andre Vitchek Kota Fasis Yang Sempurna semua bentuk penggusuran ini dilandasi atas nama lahan negara dan dalih kawasan hijau. Mereka yang tinggal yang kena dampaknya harus angkat kaki. Dan kita sebagai orang awam diminta harus dipercaya. Untuk menutupi bahwa hal ini merupakan festival kesewenang-wenangan di Ibukota ini.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam pernyataannya menyebut terdapat 3433 KK dan 433 unit usaha di 30 titik di Jakarta menjadi korban penggusuran paksa sepanjang bulan Januari hingga Agustus 2015. Jumlah yang fantastis, karena menjadi angka penggusuran paksa yang tertinggi dalam sejarah Ibukota. Ditambah lagi dalam 2016 ini terdapat beberapa kasus lagi.
Memang, Pemprov DKI pasti memiliki alasan. Dan, Pemprov DKI memiliki rencana dalam pembangunan di daerah yang menjadi proyek gusuran. Dari Ruang Terbuka Hijau sampai sanitasi air untuk mengatasi banjir yang sering melanda jantung ibukota.
Namun, kalau kita cermati. Penggusuran yang dilakukan oleh pemprov DKI ini bukan menjadi solusi utama dalam menangani banjir. Pemprov DKI lupa bahwa penyebab banjir di ibukota karena buruknya sistem drainase dan amblasnya tanah yang terjadi tiap tahunnya.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) (14/02/2016), masih ada 17 titik genangan di Jakarta. Para ahli pun berkata penggusuran warga di Kampung Pulo justru tidak memiliki relevansinya terhadap banjir. Hemat saya, andaikan Pemprov DKI juga menyelesaikan masalah abrasi tanah dan drainase di ibukota. Bukan cuma menggusur pemukiman warga tanpa adanya dialog dan cenderung dengan kekerasan.
Tapi ada hal yang saya sayangkan. Pemprov DKI seperti bermain curang. Banyak sekali kawasan elit dengan gedung parlentenya berdiri megah di daerah yang merupakan untuk kawasan resapan air. Seakan menutup mata Pemprov DKI tidak menyadari hal itu.
Sikap tidak adil Pemprov DKI ini yang menjadi masalah. Ketidak-adilan yang sering dilakukan kepada warga kurang mampu. Sikap membohongi masyarakat yang tinggal di kawasan yang digusur itupun sering dilakukan. Dari wacana gubernur sebelumnya yang akan melegalkan kawasan-kawasan yang ilegal sampai sikap bohong gubernur sekarang yang tidak akan menggusur sebelum para penghuni diberikan tempat tinggal pengganti.
Mengatasi banjir memanglah tugas berat namun harus menjadi perhatian yang serius. Solusi yang diberikan jugalah harus memiliki nilai keadilan dan ketentraman. Dengan penekanan dialog terbuka yang persuasif agar tidak memicunya kericuhan. Bentrok sesama warga negara yang sepenanggngan dan senasib. Dan jangan sampai kisah kejamnya ibukota itu menjadi kenyataan.