REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Adnin Armas, Peneliti INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations)
Fenomena politik di Jakarta setahun jelang Pilkada 2017 menunjukkan dinamika yang tinggi. Perubahan begitu cepat terjadi. Ini bisa dimaknai dari dua sisi.
Pertama, politik memang memiliki dinamika tersendiri. Namun pada sisi lain, hal tersebut juga bisa dimaknai ketidakmatangan konsep para politikus.
Tidak bisa dimungkiri, deklarasi Jaklovers (Jakarta Love Risma) yang mendukung Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini telah membawa kemeriahan tersendiri jelang Pilkada DKI 2017.. Berbagai wacana, kegiatan, maupun dukungan dari segenap lapisan masyarakat kepada Risma di Jakarta begitu fantastis. Dalam survei Katapedia di media sosial, Risma bahkan telah mengungguli calon pejawat, yaitu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Survei dilakukan pada 23 Juli–6 Agustus 2016. Pada 4 Agustus 2016, suara Risma sebesar 54,8 persen (4.529 tweets dukungan). Sedangkan Ahok yang hanya memperoleh 45,2 persen (3.737 tweets dukungan).
Ini menarik mengingat Risma belum menyatakan siap mengikuti kontestasi Pilkada DKI 2017. Pun partai-partai politik belum sama sekali bergerak untuk memobilisasi masyarakat. Ini menunjukkan sosok Risma adalah fenomenal.
Ahok yang digembar-gemborkan kuat, sesungguhnya lemah dibanding Risma. Melihat elektabilitas Risma yang tinggi, berbagai partai politik seperti Gerindra, PKS, PAN, PPP, PKB, dan Demokrat menyampaikan persetujuan dan dukungan kepada PDIP jika mengusung Risma. Koalisi Kekeluargaan pun dengan melibatkan PDIP dibentuk 8 Agustus 2016.
Jika PDIP mencalonkan Risma, maka Koalisi Kekeluargaan akan menyatu. Persatuan yang sangat penting untuk mengedukasi umat. Masyarakat akan terkesan karena partai politik masih bisa gotong-royong dalam kondisi umat yang terpuruk.
Sesuatu yang indah akan terjadi di Masyarakat. Kebesaran jiwa PDIP bisa menjadi contoh bukan hanya kemenangan yang ingin diraih, melainkan juga adalah kebersaamaan dan persatuan.
Sementara, berbagai lapisan masyarakat termasuk dari jaringan PDIP menggelar berbagai demonstrasi di depan rumah Ketua Umum PDIP dan di depan kantor DPP PDIP agar PDIP menolak Ahok dan mencalonkan Risma Triharini. Namun hingga kini PDIP tetap belum mau memutuskan sikapnya. PDIP yang tidak perlu berkoalisi karena memiliki 28 kursi telah memainkan gayanya sendiri.
Dukungan berbagai partai politik kepada Risma bertepuk sebelah tangan. Energi masyarakat terkuras untuk keputusan yang sebenarnya bisa dilakukan, namun PDIP tetap belum mau memutuskan. Tentu hanya kepentingan bagi PDIP yang melatarbelakangi sikap PDIP itu. Ternyata kepentingan partai di atas kemaslahatan umat.
Menyadari sikap PDIP yang sementara masih mengambangkan situasi, tentunya partai politik yang punya integritas tidak bisa hanya pasif dan menonton. Partai politik perlu bergerak sembari sikap PDIP menjadi catatan penting. Bisa saja sikap PDIP di Pilkada DKI 2017 akan menjadi catatan di pilkada serentak yang digelar di 105 lokasi pada 15 Februari 2017.
Tentunya gerakan partai politik membuat PDIP semakin bisa mencermati gerakan partai politik lainnya dan ini yang memang diharapkan oleh PDIP. Koalisi kekeluargaan yang terbentuk hanya bertahan singkat, tidak sampai satu bulan. PKB membuat deklarasi mendukung Sandiaga Salahuddin Uno (SSU) pada 25 Agustus 2016.
Deklarasi PKB itu diiringi dengan Tahlilan dan Shalawatan dan berlangsung di Ponpes al-Qudwah al-Muqaddasah. Selain itu, PKS yang sedari awal tidak tampak memunculkan calon “tiba tiba” mengusung Mardani Ali Sera sebagai pendamping SSU. PKS menggelar deklarasi duet SSU-Mardani Ali Sera di kantor DPP PKS pada 8 September 2016.
Deklarasi yang bisa dianggap prematur karena sebelumnya tidak didahului sosialisasi kepada masyarakat dan koordinasi dengan Koalisi Kekeluargaan. Dampaknya dan keesokan harinya, pada 9 September 2016, PKB menolak duet SSU-Mardani Ali Sera dan menggagas wacana poros alternatif untuk mengusung Yusril Ihza Mahendra. Deklarasi PKB mendukung SSU bertahan ternyata tidak sampai pun 10 hari. PAN dan Demokrat sebagaimana dikutip di berbagai media juga belum atau bahkan tidak menerima duet SSU-Mardani Ali Sera.
Kisah Koalisi Kekeluargaan yang dideklarasikan tanggal 8 Agustus 2016 telah berakhir saat usianya belum pun mencapai satu bulan. Hingga kini menjelang pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur, partai politik yang melawan Ahok belum ada yang definitif karena ego partai. Parpol mementingkan kepentingan partai di atas kemaslahatan masyarakat Jakarta.
Padahal berbagai lapisan masyarakat dari berbagai perkumpulan, ormas, organisasi, dan sebagainya dengan militan dan konsisten terus menerus bersatu menolak Ahpk. Biarpun antara elemen masyarakat tersebut heterogen dan bahkan ada pertentangan di antara mereka, namun penolakan terhadap Ahok menjadi common platform bagi segenap lapisan masyarakat itu.
Seharusnya para elit partai politik yang memang tulus peduli kepada masyarakat bisa duduk bersama bermusyawarah. Partai politik seharusnya mengedukasi umat dengan menunjukkan nilai nilai musyawarah, gotong royong, mengutamakan kemaslahatan masyarakat dibanding kepentingan partai. Akankah itu menjadi kenyataan? Waktu yang akan menjawabnya.