Jumat 02 Dec 2016 06:32 WIB

Demo 212 dan Usia Kebhinekaan Kita

Red: M Akbar
Syukri Wahid
Foto: istimewa
Syukri Wahid

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: drg Syukri Wahid (Ketua Komisi I DPRD Kota Balikpapan)

Bhinneka atau keragaman merupakan potret dasar keindonesiaan kita. Beragam Agama, suku dan budaya. Para pendahulu kita rela menanggalkan ego mayoritasnya apakah itu sebagai agama, suku dan budaya untuk menghuni sebuah tanah bersama bernama Indonesia.

Dahulu, para founding fathers kita rela menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta sebagai rahim lahirnya konstitusi negara kita. Mereka sadar Indonesia bukan hanya Muslim, namun ada Kristen, Katolik, Hindu, Budha.

Merajut keindonesiaan bukanlah perkara mudah. Tak ada negara yang memiliki bahasa induk negara sekaligus punya bahasa daerah yang begitu banyak. Ditambah lagi dengan penduduknya yang tinggal terpisah dari ribuan pulau namun tetap bisa disatukan.

Negaranya bisa juga meliburkan beberapa hari untuk Hari Raya seluruh agamanya. Bahkan sang mentari butuh tiga kali terbit menjangkau menyinari Indonesia.

Jadi, negeri ini terlalu mahal jika harus bubar karena darah dan air mata pendahulu kita telah merajut benang nusantara menjadi Indonesia. Negeri ini tidak boleh kalah atau mau dikalahkan dengan mereka yang mau merelai benang-benang Tunggal Ika kita.

Tidak boleh mayoritas menindas, namun tidak boleh juga minoritas belagu. Tidak ada yang boleh ternistakan agamanya, sukunya dan budayanya di pertiwi Nusantara ini.

Jangan kau teriakkan arti  kebhinekaan setelah kau ludahi dan campakkan dengan lisanmu. Jangan kau ajarkan tentang toleransi, setelah engkau nodai.

Jika Islam itu adalah agama mayoritas, bisakah kita mengatakan berarti dahulu umat Islam rela 'menanggalkan' konsep hidupnya sebagai negara agama dan mau hidup dengan aturan baru bersama tanpa menanggalkan identitas beragamanya bernama Pancasila? Apakah bisa atas nama mayoritas saat itu mendirikan negara agama?

Bisakah juga kita mengatakan saudara-saudara kita yang Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan keyakinan lainnya merasa dari dahulu sudah nyaman dan mau hidup bersama-sama dan suara mereka didengar dan diakomodir saat awal pembahasan dasar kita bernegara?

Mari dewasa dalam memandang utuh keindonesiaan kita. Timor Timur saat itu sebagai propinsi termuda pamit dari pertiwi Indonesia lewat referendum. Negara memberi otonomi khusus pada Papua. Negara sadar Aceh terlalu lama merasakan DOM dan akhirnya diberikan otonomi khusus, begitulah negara tidak ingin ada yang boleh mengancam NKRI.

Jika para pendiri negara ini terdahulu begitu kuatir dengan segala ancaman disintegrasi, maka negara tak perlu sibuk mematikan asapnya di sana sini, padahal sumber apinya tidak dimatikan.

Jangan terlalu berburuk sangka dengan Umat Islam. Mereka itu akan selalu hadir dalam sejarah bangsa dan negara ini, jika suatu rezim sudah tak bisa lagi berdiri tegak.

Aksi 212 jangan engkau lihat sebagai tirani mayoritas. Jangan pula engkau lihat sebagai tindakan makar. Karena dalam sejarah makar di pertiwi justru berawal dari gerakan minoritas dan bukan hanya faktor agama.

Timtim lepas apakah faktor agama penyebabnya? Rakyat Papua diberikan tawaran otomi khusus apakah karena agama? Semua karena keadilan. Seberapa panjang umur keadilan di negeri ini maka seperti itulah umur kebhinekaan kita.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement