REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)
Fisika membuat mahasiswa berpikir tentang peristiwa alam yang dapat di-indera, dilihat, diraba, dan semacamnya. Besi memuai karena panas, rumus dan fenomenanya bisa diukur, diamati. Itu ilmu. Tapi, mahasiswa dan dosen fisika yang Muslim jumlahnya tidak terhitung, mereka juga beriman pada yang gaib, yang tidak mungkin diukur, apalagi diuji di laboratorium.
Oh, gaib di tulisan ini bukan berkait dengan ilmu meramal jodoh atau ilmu misteri alam gaib, tetapi merujuk pada Alquran, tentang adanya Allah, malaikat, hari akhir, surga, neraka ... yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat... (QS.2:3).
***
Sekelompok mahasiswa diminta mencicipi gudeg Yogya. Mahasiswa dari Bali tersenyum: “Ini Kolak nangka, ya”. Mahasiswa Ternate mengangguk-angguk, “Warnanya cokelat, kenapa manisan ini tidak berasa coklat?”
Urusan “rasa” bukan urusan fisika.
Manusia memiliki dua kemampuan, berpikir dan berperasaan, berproses saling bergelut berkelindan membentuk akal. Seseorang bisa kejam membunuh saudaranya berdasar pikiran logis agar dirinya menjadi satu-satunya putra mahkota. Bisa juga menyerahkan semua uang dan perhiasan karena kasihan dan rasa sayang.
Dalam khasanah ilmu, salah satu anak kandung logika adalah matematika. Di sisi lain, salah satu perasaan adalah : cinta. Kejujuran matematika tidak bisa dimanipulasi cinta, sebaliknya kejujuran cinta tidak bisa dipaksa matematika.
***
Fisika dan ilmu secara keseluruhan hanyalah membantu menjelaskan secara rasio dan empiris tentang dunia ini. Tetapi, tidak membuat penilaian tentang salah-benar, indah-jelek, baik dan buruk. Sehebat apapun ilmu, ia tak bisa menerangkan indahnya simfoni Bethoven. Bahkan, untuk seporsi gudeg Yogya, apa dan bagaimana lezatnya? Ilmu tak bisa menguraikannya.
Iman bukan wilayah fisika. Iman itu urusan hati, bukan urusan otak-pikir. Iman itu di dada, di sana ada hati yang mungkin terbuka, terkunci atau membatu. Tak usah heran bila seorang ilmuwan fisika yang genius, bisa beriman berislam, tetapi bisa juga menolak. Juga seseorang di pedalaman yang tidak pernah sekolah, bisa beriman, bisa pula kafir.
Proses di hati manusia tak banyak diketahui ilmu. Akibatnya, tak ada ilmu yang bisa membuat orang jatuh cinta, membenci atau kecewa. Meski manusia bisa menyapa planet Mas, banyak misteri dirinya sendiri yang tak diketahui. Ia tidak bisa mendesain mimpi, tak tahu apa yang terjadi esok, apalagi tentang mati. Shekespeare dalam Hamlet menyatakannya dengan bagus, “Begitu banyak rahasia di antara langit dan bumi, Horatio.”
Tetap harus hati-hati.
Meski iman adalah urusan hati, pikiran bisa mendekatkan atau menebalkannya ketika merenungkan penciptaan alam. Sebaliknya, juga bisa melunturkan bahkan melenyapkan iman.
Tidak sedikit orang yang sombong, mengagungkan hasil pikirannya. Merasa logis, orang lalu ramai-ramai menyetujuinya, mengembangkan bahkan memperjuangkannya menjadi ideologi yang mengatur kehidupan negeri, bahkan mengharap seisi dunia.
Sebut satu saja, komunisme. Di masa jayanya, ia menguasai hampir separuh dunia. Pengikutnya bukan orang kecil dan bodoh, tapi juga ahli fisika yang mampu membuat bom atom. Ia tumbuh di antara buruh di Rusia, lalu meliuk di tangan Mao berbasis pertanian di Cina. Tapi, lalu roboh bersama tembok Berlin. Setelah 70 tahun, eksperimen ideologi itu gagal.
Kesombongan tetap berlanjut. Padahal, manusia tak mampu membuat nyamuk, binatang kecil tapi mampu membedakan : Mana kulit manusia dan mana kulit boneka. Pikiran logis beberapa orang calon maupun pengikut atheisme, agnotisisme, skeptisisme tertantang dan tergoda mencari jawab hal-hal yang gaib.
Pencarian itu tidak akan pernah selesai, karena pikiran logis hanya akan tunduk dengan hal-hal yang teramati lewat percobaan atau terukur lewat persamaan matematika. Padahal, dalam keseharian mereka, orang-orang itu juga jatuh cinta, terkadang marah, benci dan juga kecewa. Memungkiri perasaan itu, berarti memungkiri hal gaib yang ada pada dirinya. Pernyataan Descartes sangat tepat untuk mengarahkan mereka "Aku berpikir, maka aku ada" (cogito ergo sum).
***
Pikiran logis atau kacau, perasaan damai atau gelisah, kaya atau miskin, banyak tertawa atau menangis, semua itu bisa membuat iman di dada bertambah atau berkurang. Allah menguji manusia dengan kebaikan dan keburukan. Lulus bila manusia selalu mengasah hati dengan ketundukan yang dalam, menyadari terbatasnya kemampuan di tepi luasnya misteri kehidupan.
Berbahagialah orang yang beriman dan berislam, masuk dalam kedamaian sujud, bersungkur, selalu bersyukur. Tidak tersiksa karena pencarian dan bertanya-tanya tentang hal yang gaib. Yang dicari dan diraihnya adalah sempurnanya iman dengan sebenar-benar takwa. Itu di tengah keyakinan bahwa di titik manapun dia berada, Allah selalu memberi yang terbaik dan terindah, dunia dan akhirat.
Ya. Allah, selalu tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus, terbaik dan terindah itu. Amin.
*) Dosen di Jember