Kamis 09 Mar 2017 00:30 WIB

Kebingungan Tujuan Hidup Sang Sastrawan Besar

Red: Agus Yulianto
Harri Ash Shiddiqie
Foto: dokpri
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)

Sastrawan itu tergolek di stasiun kecil, Astapovo. Radang paru-paru membuat ia lemah. Bukan hanya fisik, frustrasi membuat ia semakin lemah. Apakah ia miskin? Tidak, ia kaya, ia berniat memberikan uang dan warisan kepada para petani miskin. Istrinya marah, menolaknya.

Dia peka terhadap kemiskinan, juga kesengsaraan penuh tangis dan darah karena perang. Ia sensitif dan menolak keras kepalsuan moral para bangsawan.  Itu diungkapkan melalui tokoh  utama dalam novel besarnya “Perang dan Damai.” 

Dia Leo Tolstoy. Pernah menjadi tentara,  bertempur melawan orang-orang muslim di Dagestan dan Chechnya, dari sana Tolstoy berinteraksi dengan penduduk muslim. Ia mengenal islam, ia mempelajari islam. Bahkan ia menulis novel “Haji Murad”.  Novel yang sebagian imajinasi dan sebagian atas dasar tokoh aktual yang sampai hari ini masih dikenang orang-orang Chechnya. 

Tolstoy juga menulis tentang islam. Di salah satu catatannya ia berkomentar : "Ajaran Quran akan tersebar di seluruh dunia, ia sesuai dengan akal, logika dan kebijaksanaan."

***

Di sekitar umur 50 tahun Tolstoy mengalami krisis spiritual yang dalam. ia tidak menemukan jawaban pertanyaan kuno yang menggelisahkan manusia, “Apa makna kehidupan”.  Tolstoy mengalami depresi dan melankolis di tengah kekayaan tanah yang luas, istri yang setia yang melahirkan 13 anak-anaknya, meski dibanjiri pujian atas karya  novel yang baru diterbitkan  “Anna Karenina”

Tolstoy merasa hidupnya adalah lelucon suram di tengah kesadaran adanya kematian. “Setelah Kematian, saya dilupakan. Lalu mengapa manusia berpayah-payah berbuat sesuatu? Mengejutkan, ilmu manusia tak pernah maju dan selalu gagal melihat sisi hidup dan kematiannya. Ada yang mabuk dengan kehidupan, sebagai pemabuk ia tidak mungkin melihat bahwa ini semua : Penipuan.”

Pertanyaan Tolstoy sederhana, seperti kekanak-kanakan, "Apa yang akan datang dari seluruh yang telah saya lakukan? Mengapa saya hidup, mengapa berharap sesuatu, atau melakukan sesuatu." Tolstoy diam dalam pertanyaan tak terjawab : “Apakah arti hidup ini?”

Tolstoy berusaha menggali jawaban pada ilmu pengetahuan. Nihil, ilmu mengelak dari pertanyaan pada ruang yang tak terbatas. Tatkala menyodorkan pada filsafat, ia kecewa : Di sana malah disodori pertanyaan yang sama, bentuknya saja lebih kompleks.

***

Penggemar kisah-kisah mualaf tidak jarang menemukan kisah seorang pekerja atau mahasiswa yang setiap malam datang ke klub. Di sana memuaskan hati dengan tertawa, berdansa, alkohol, menjelang tengah malam pergi berdua-dua. Esok paginya bangun dengan pertanyaan yang menggelisahkan :  Hari ini, di sini, hanya begini. Terus begini, untuk apa?

Tidak heran bila akhirnya ada yang merumuskan bahwa tujuan hidup adalah seperti yang diungkap Darwin : tujuan biologis, kelangsungan hidup. Sebagian yang lain menyatakan bahwa hidup adalah sekedar proses. Ke mana dan untuk apa, itu pun proses.

Lebih banyak orang berkata bahwa tujuan hidup adalah kebahagiaan, tetapi rumusan kebahagiaan  tidak mudah ditentukan lalu dipegang. Kebahagiaan sang kapitalis dengan tegas menyatakan : Uang, bersama kemasyhuran dan kekuasaan. Tapi ada juga orang yang berkata bahwa tujuan hidup adalah manfaat, sehingga meski ia mencari uang dengan gegap gempita, ia harus membaginya. Itu dilakukan Andrew Carnegie, raja baja Amerika.  “Ada masa mencari uang dan ada masa mengeluarkannya”.

Leo Tolstoy tidak mencari uang, kemasyhuran, atau kekuasaan. Ia mencari-cari jawaban tentang tujuan hidup. Sayang, dia tidak menemukannya.  Bahkan keinginan mewariskan kekayaan kepada para petani miskin di sekitarnya, ditolak istrinya. Tolstoy kecewa, di umur 82 tahun, malam-malam ia pergi dari rumah tanpa pamit. Berniat menetap di sebidang kecil tanah milik adiknya. Beberapa hari kemudian ia muncul di stasiun kecil, tapi keadaan sudah parah. Ia meninggal, 20 November 1910.

***

Di awal tahun 90-an, di usia 21 tahun, Kristiane Backer dinobatkan sebagai presenter puncak MTV London. Pernah didaulat menjadi presenter untuk acara Coca-Cola Report dan Europe Top 20. Diundang ke mana-mana, difoto banyak papparazi. Sekali-sekali Kristiane pergi ke Boston bersama Rolling Stone dan mengikuti tur-tur besar para artis terkenal dunia.

Komentarnya, “Menyenangkan, aku sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat menarik di Eropa. Hampir semua uang yang aku terima habis untuk membeli baju dan pernak-pernik yang bagus dan trendi.”

Tahun 1992 ia bersentuhan dengan Islam, ia mempelajarinya. Ia merasakan ada sesuatu yang lain. “Di Barat, tindakan yang kami lakukan berdasar alasan yang dangkal. Pakaian misalnya, terserah keinginan kita. Berbeda dengan Islam, apa yang dipakai, bagaimana memakainya, untuk apa dipakai, semuanya dikaitkan dengan tujuan mengabdi kepada Sang Pencipta.”

Tujuan hidup dalam Islam sangat jelas, sebagian orang meneguhi ayat 56 surat Ad Dzariyat, bahwa jin dan manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Sebagian yang lain mungkin lebih cocok dengan Al Baqarah 202, bahagia dunia dan akhirat. Masih banyak ayat lain yang mengemukakan prinsip atau tujuan hidup. Tujuan yang lebih teknis operasional sampai pada tindakan, selain tersebar di Alquran juga bisa di petik dari hadis.  Mulai dari urusan pakaian, tidur, berpolitik, mengetuk pintu saat bertamu sampai memotong kuku.

***

Suatu saat ada seorang mahasiswa mengikuti koordinasi aktivitas agama, ketika ia disodori sebuah beban tanggung jawab ia menjawab, “Tepat. Semester ini saya belum memiliki program dakwah.”

Bukan main. Rencana dan tujuan hidupnya jelas.

Juga seorang mahasiswa yang lain, ia mendengar saat khutbah Jumat “Marilah bersyukur atas nikmat iman dan Islam”. Dia bertanya-tanya dalam hati, dimanakah nikmatnya. Bila ditanyakan kepada ustaz, atau dicari di internet, jawabannya di sekitar : Dengan iman dan Islam, maka hidup jadi tenang. Jawaban sedemikian kurang memuaskan. Nikmatnya di mana?

Setelah bertahun-tahun gelisah dengan pertanyaan itu, ia tahu bahwa kenikmatan bukan hanya di lidah karena ayam goreng, juga bukan hanya musik yang indah.

Ya, salah satu nikmat iman dan Islam adalah : Tujuan hidup yang jelas.

Seperti yang dikatakan Kristiane Backer, tujuan hidup manusia Barat itu dangkal, melayang, kosong. Itulah yang membuat gelisah, bingung, tersiksa mencari-cari dalam gelap : Itu melingkupi orang-orang munafik, kafir, atheis, agnostik maupun skeptis.

Beruntunglah kita yang meneguhi iman dan Islam. Nikmatnya bukan hanya tujuan hidup yang jelas tapi juga nikmat lain yang tak terhitung, Allah mengungkapkannya berkali-kali di surat Ar Rahman. “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Manusia tidak bisa mengingkarinya, karena memang mereka merasakannya, menikmatinya, tapi tetap banyak yang mendustakannya.

Ya Allah jadikan kami hamba-hamba yang selalu bersyukur kepadaMu. Amin.

*)Penulis adalah dosen, tinggal di Jember.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement