REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)
Seringkali kita terperangkap dalam mainan terminologi-terminologi yang sempit, bahkan dengan kata-kata yang juga kita tidak pahami secara jelas. Permainan terminologi dan kata seringkali mengantar kita kepada sikap yang destruktif. Loyalitas dan cinta atau sebaliknya kebencian dan permusuhan dikendalikan oleh terminologi dan kata-kata itu.
Pancasila, NKRI, Nusantara, bahkan Indonesia dan juga Amerika itu adalah terminologi dan kata-kata. Bahkan Demokrasi, HAM, keragaman, pribumi, imigran, semua itu adalah kata yang kerap kali menjadi perangkap yang membawa kepada pandangan bahkan aksi yang destruktif.
Oleh karenanya, diperlukan kejelian dan kehati-hatian dalam membaca, mamahami dan mengambil sebuah terminologi dan kata. Wajar saja jika wahyu pertama yang turun adalah “baca”. Mambaca Kalam bukan sekedar membaca huruf. Sehingga akan terlahir pemahaman terhadap bacaan (la’allakum ta’qiluun).
Dalam beberapa waktu terakhir, seringkali saya dengarkan istilah-istilah yang dikaitkan dengan Islam. Ada Islam ini dan Islam itu. Ambillah sebagai misal, dua organisasi Islam terbesar di Tanah Air; NU dan Muhammadiyah, masing-masing memilih istilah dalam mendefenisikan perjuangan untuk Islam dan umat masing-masing. NU dengan Islam Nusantaranya. Dan Muhammadiyah dengan Islam berkemajuannya.
Tentu saya yakin ratusan organisasi Islam di Tanah Air, besar maupun kecil, dalam perjuangannya masing-masing punya visinya. Jamaah tablig, misalnya, menekankan pergerakannya dengan gerakan dakwah fi sabilillah, mengajak umat melanjutkan misi dakwah Rasulullah SAW. Saudara-saudara kita di pergerakan Salafi dengan visinya membersihkan sesuai Alquran dan As-Sunnah (tentu sesuai penafsiran mereka). Teman-teman thoriqah menekankan aspek ruhiyah dari ajaran ini. Tapi intinya adalah semua bergerak ke arah yang sama selama iman kepada Allah (Alquran) dan RasulNya (As-Sunnah).
Yang seringkali menjadi masalah memang adalah ketika sebuah terminologi dan kata itu dikaitkan dengan tendensi dan kepentingan politik. Akhirnya, terminologi itu bersifat politis dan kadang pula memang digandengi oleh kepentingan politik.
Dari sekian banyak istilah yang selama ini berkembang atau diangkat, barangkali istilah Islam Nusantara menjadi sebuah istilah yang paling populer, sekaligus paling kontroversial. Istilah ini, selain dicurigai sebagai pengistilahan yang bernuasa politis, juga dianggap tidak pantas karena seolah mengada-ada agama baru.
Sebagai seorang warga Indonesia Muslim yang telah hidup di luar negeri sejak berumur 18 tahun, dan melihat kehidupan umat Islam d berbagai negara, saya semakin paham apa dan bagaimana Islam itu ketika dikaitkan dengan karakter manusia. Bahwa Islam secara teologis (iman) dan ritual (ubudiyah) itu sama (universal). Tapi ketika bersentuhan dengan akhlaq dan prilaku, walau prinsip dasar dan konsepnya sama, akan banyak ditentukan oleh karakter sosial dan budaya masing-masing manusia dan alam sekitarnya.
Di sinilah sesungguhnya bisa dipahami dengan pandangan sederhana dan jelas apa itu sesungguhnya pengistilahan Islam Nusantara. Bukan sebuah agama baru. Karena saya sangat yakin teman-teman NU yang loyal ke perjuangan alim ulama, yang mengakar ke tradisi-tradisi ulama, khususnya Al-mukarrom KH Hasyim Asy’ary, tidak akan menerima hadirnya Islam baru yang diada-ada. Mereka sangat paham dan yakin, bahkan menjadi persyaratan keislaman semuanya jika Islam itu dasarnya sama, Alquran dan As-Sunnah.
Sesungguhnya istilah Islam berkemajuan juga bisa menjadi sebuah polemik jika dikaitkan dengan kecenderungan politik tertentu. Mungkin pertanyaan pertama yang timbul adalah kalau ada Islam berkemajuan, memangnya ada Islam yang terbelakang? Islam itu semua arahnya membawa kepada kemajuan dan kesuksesan (Al-falaah) demi terwujudnya peradaban (tamaddun) dalam sebuah tatanan negeri yang damai, adil dan makmur (baldah thoyyibah wa Rabbun Ghafur).
Di sinilah saya ingin mengingatkan diri saya agar kita jangan terparangkap dalam permainan istilah dan kata. Istilah dan kata-kata seharusnya dipahami secara benar, dan ditujukan juga kepada tujuan benar, tanpa tendensi kepentingan-kepentingan, baik politik maupun ekonomi (fulus).
Istilah atau kata harusnya diambil sebagai kekuatan dan motivasi untuk berbuat yang lebih baik ke arah yang lebih baik pula. Pancasila harusnya bukan sekedar slogan “Saya Pancasila”. Tapi komitmen mengamalkan konten pancasila dalam memurnikan akidah tauhid berdasarkan Alquran dan As-Sunnah, membangun kemanusiaan dengan peradabannya, menguatkan persatuan, menguatkan institusi demokrasi dalam permusyawaratan, serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga di negara ini. Itulah Pancasila yang dikehendaki. Bukan sekedar seremoni dari masa ke masa.
Saya yakin jika ini disadari akan banyak celah-celah di antara berbagai segmen masyarakat kita yang boleh jadi membawa kepada permusuhan dan perpecahan dapat diselesaikan. Dan percayalah jika kesalah pahaman, kecurigaan, permusuhan dan perpecahan dapat dihindarkan di antara tubuh umat ini, bangsa dan negara ini dengan sendirinya akan menjadi bangsa hebat dan besar di tengah bangsa-bangsa hebat dan besar dunia.
Itulah impianku sebagai anak bangsa yang saat ini hidup di jantung dunia. Di sebuah kota yang seringkali menentukan warna dunia. Kota New York, ibu kotanya dunia. Amin!
* Presiden Nusantara Foundation