Sabtu 16 Dec 2017 03:30 WIB

Keputusan Trump Ungkap Kedok Asli AS

Red: Agus Yulianto
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.
Foto: AP/Alex Brandon
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Libertina Widyamurti Ambari *)

Donald Trump berulah lagi. Kali ini bukan hanya publik Amerika Serikat saja yang dia singgung, melainkan sebagian besar masyarakat di seluruh dunia, terutama umat Islam. Dalam sebuah pidato yang disampaikan di Gedung Putih pada tanggal 6 Desember 2017, Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

"Sementara presiden-presiden sebelumnya hanya membuat janji kampanye besar mengenai hal ini. Mereka gagal melakukannya. Hari ini, saya mewujudkannya," ujar Trump.

Demi menunjukkan keseriusannya, Trump telah mengarahkan Departemen Luar Negeri untuk mulai mengatur pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem yang menurut para pejabat berwenang akan memakan waktu setidaknya tiga tahun.

Dengan sikapnya tersebut, Trump telah jelas-jelas menantang dunia untuk melawan pemerintahannya karena tidak lama setelah pernyataan itu disiarkan, muncul kecaman dan reaksi keras, dari sekutu AS dan dunia Islam, terutama rakyat dan pemerintah Palestina.

Kedok

Konflik di tanah Palestina sesungguhnya telah dimulai sejak berabad-abad silam. Jika tarikh tersebut diawali dari berakhirnya Perang Dunia I pada tahun 1918, tampak jelas bahwa pada masa tersebut wajah Timur Tengah telah berubah. Sejak saat itu Inggris mengambil alih kendali atas wilayah Palestina dari Kesultanan Utsmaniyah hingga 1948 di bawah struktur "British-mandate Palestine" yang berarti Inggris memiliki wewenang untuk mengatur Palestina sebagai wilayah yang ditaklukkan.

Di bawah kekuasaan Inggris, wilayah Palestina yang saat itu didiami oleh bangsa Yahudi Israel dan Arab Palestina (terutama Muslim, juga Kristen dan Druze) dan meliputi daerah Haifa, Yerusalem, Betlehem, Ramallah, Tel Aviv, dan Gaza mulai dikerat-kerat yang sedikit demi sedikit menghimpit penduduk Palestina untuk berdaulat di tanah airnya sendiri.

Pemecahbelahan wilayah Palestina tersebut dimulai pada tahun 1921 ketika Inggris menyerahkan wilayah mandat Palestina di bagian timur Sungai Yordania kepada Emir Abdullah untuk membentuk Kerajaan Hashemite Trans Yordania yang kini merupakan negara Yordania.

Kekerasan pertama dari periode mandat itu meletus di sepanjang perbatasan Jaffa dan Tel Aviv pada May Day (1 Mei) yang mengakibatkan puluhan orang Yahudi dan Arab tewas. Selanjutnya, kekerasan di Palestina terus terjadi hingga November 1947 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) merekomendasikan pemisahan wilayah mandat Palestina menjadi dua negara, masing-masing untuk bangsa Yahudi dan Arab. Hal ini menyebabkan munculnya penolakan keras dari negara-negara Arab.

Konflik Palestina akhirnya "resmi" pecah pada bulan Mei 1948 ketika para pemimpin gerakan Zionis memproklamasikan negara Israel di atas tanah berdaulat Palestina, dan mengakhiri penguasaan pasukan Inggris di wilayah tersebut. Selanjutnya, Palestina terus bergolak akibat tindakan penjajahan Israel yang terus-menerus melanggar resolusi PBB.

Seperti halnya konflik politik yang tidak kunjung usai di suatu wilayah, AS datang bak "dewa penolong". Pada tanggal 11 s.d. 25 Juli 2000, Presiden AS Bill Clinton menjadi tuan rumah pertemuan antara Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat di tempat peristirahatan presiden, Camp David, sekitar 100 kilometer dari Washington D.C. Tak ada kesepakatan dihasilkan dalam pertemuan itu, sementara Israel terus menjajah Palestina.

Kesungguhan AS dalam menyelesaikan konflik Palestina dan Israel sungguh patut dipertanyakan karena pada Sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Desember 2016 yang menghasilkan Resolusi 2334 mengenai Permukiman Israel di atas Wilayah Palestina, termasuk Yerusalem Timur, AS sebagai pemegang hak veto bersama Cina, Perancis, Rusia, dan Inggris memilih abstain.

Resolusi tersebut menyatakan bahwa aktivitas pembangunan permukiman Israel merupakan "pelanggaran mencolok" terhadap hukum internasional dan tidak memiliki legalitas hukum. Resolusi itu menuntut agar Israel menghentikan pembangunan dan memenuhi Konvensi Jenewa Ke-4.

Ketakberpihakan AS atas Palestina juga terbukti dari penetapan UU mengenai Kedutaan Besar Yerusalem yang disetujui pada Konggres Ke-104 pada tanggal 23 Oktober 1995. Undang-undang itu menyatakan pemindahan Kedubes AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem dilakukan tidak lebih dari 31 Mei 1999. Undang-undang itu juga menyatakan tentang pengupayaan untuk menahan 50 persen dana Departemen Luar Negeri khusus untuk "Akuisisi dan Pemeliharaan Bangunan di Luar Negeri" yang dialokasikan pada tahun anggaran 1999 sampai Kedutaan Besar Amerika Serikat di Yerusalem dibuka secara resmi.

Undang-undang itu bahkan menyebutkan Yerusalem harus tetap menjadi kota yang utuh dan diakui sebagai ibu kota Israel.

Dengan demikian, AS jelas tidak pernah punya agenda perdamaian di Timur Tengah. Para pemimpin AS sebelum Trump sebenarnya sudah mengantongi "mandat" untuk mendukung pendirian negara Israel di atas tanah dan air Palestina. Namun, tampaknya mereka 'menunggu' orang yang sesuai untuk terang-terangan melaksanakan keputusan konggres tersebut, dan Donald Trump adalah sosok yang dinantikan itu.

Menanggapi keputusan Trump, pemerintah Cina menyatakan bahwa kebijakan Amerika Serikat berpotensi memperuncing konflik kawasan di Timur Tengah. "Semua pihak harus berbuat lebih banyak demi perdamaian di kawasan ini, mereka harus lebih berhati-hati, dan menghindari langkah-langkah yang bisa memicu kerusuhan baru di kawasan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang.

Meski tidak terlalu aktif dalam persoalan regional Timur Tengah, Cina sudah sejak lama menyatakan sikap bahwa Palestina harus bisa mendirikan negara merdeka.

Sementara itu, pada hari yang sama Trump keputusannya itu, Rusia mengaku khawatir konflik antara Israel dan Palestina akan makin parah akibat rencana pemindahan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Di Iran, Pemimpin Agung Ayatollah Ali Khamenei menanggapi berita ini dengan menyatakan bahwa rencana Amerika Serikat merupakan tanda ketidakmampuan dan kegagalan politik luar negeri negara tersebut.

"Bahwa mereka (Amerika Serikat, red) menyatakan ingin menjadikan Quds sebagai ibu kota Palestina yang diduduki, itu adalah karena ketidakmampuan dan kegagalan mereka," kata Khamenei.

Sementara itu, Dewan Gereja Afrika Selatan menyebut keputusan Trump sebagai langkah geopolitik monumental yang bakal memicu pertentangan tiada akhir. Dewan juga menyebut keputusan Trump itu mengartikan peran AS sebagai pendamai dunia mesti direvisi.

"Kami percaya Yerusalem harus diatasi sebagai bagian dari resolusi untuk solusi dua negara," kata Malusi Mpumulwana dari Dewan Gereja Afrika Selatan dalam laman Eyewitness News.

Kecaman

Trump berhasil mengumpulkan lebih banyak lagi musuh bagi dirinya dan pemerintah AS. Kedutaan AS di Turki, Yordania, Jerman, dan Inggris mengeluarkan peringatan keamanan yang mendesak orang Amerika untuk berhati-hati.

Di lain pihak, keputusan Trump itu juga mendatangkan banjir kecaman dari masyarakat internasional, termasuk dari seluruh anggota Dewan Keamanan PBB, kecuali Amerika Serikat tentunya, yang mencela pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Delapan negara anggota Dewan Keamanan PBB meminta pertemuan darurat di markas PBB di New York pada tanggal 8 Desember 2017 setelah warga Palestina di Jalur Gaza, Yerusalem dan Tepi Barat menggelar protes sepanjang hari atas keputusan Trump itu.

Sementara itu, para pemimpin Muslim di bawah naungan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) telah bertemu pada Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa pada tanggal 13 Desember 2017 di Istanbul, Turki dan menghasilkan satu suara bulat untuk mengecam pengakuan Presiden AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan meminta dunia untuk mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Presiden Turki Tayyip Erdogan yang menjadi tuan rumah pertemuan para pemimpin lebih dari 50 negara berpenduduk Muslim itu mengatakan bahwa langkah Amerika Serikat tersebut menunjukkan Washington sudah kehilangan perannya sebagai perantara dalam upaya mengakhiri konflik Israel dan Palestina.

"Mulai dari sekarang, tidak bisa lagi bagi Amerika Serikat, yang sudah menyimpang, untuk menjadi perantara antara Israel dan Palestina, masa itu sudah berakhir," tegas Erdogan pada akhir konferensi tingkat tinggi itu.

 

*) Pewarta Antara

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement