REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heppy Trenggono *)
Menarik apa yang disampaikan Gubernur Anies baswedan pada Ahad (7 Januari 2018) lal. Gubernur yang hadir sebagai undangan untuk memberikan sambutan dalam acara Deklarasi Gerakan Kebangkitan Indonesia tersebut menggambarkan kondisi kemiskinan di Jakarta yang sangat mengagetkan. Jakarta menyimpan 3 juta orang yang pengasilannya kurang dari Rp 1juta per bulan. Di Jakarta juga terdapat 220 kampung padat miskin, yang terdepan di Indonesia. Intinya, jika anda ingin melihat orang miskin yang paling miskin di Indonesia, Anda hanya bisa temukan di Jakarta.
Kenyataan ini diperparah dengan tingkat pendidikan yang tidak memadai. Separuh anak–anak di Jakarta Utara tidak tamat SMA, di Jakarta Barat 4 dari 10 anak tidak tamat SMA. Ini menggambarkan betapa suramnya masa depan mereka. Kita maklum bahwa hanya untuk menjadi office boy pun ijazah minimal SMA diperlukan.
Apa yang disampaikan Gubernur cukup mengagetkan, mengingat jumlah APBD Jakarta yang sangat besar, lebih dari Rp 70 triltun per tahun. Apa yang telah diselesaikan dengan APBD tersebut?. Selama ini, Jakarta selalu digambarkan persoalan terbesarnya adalah kemacetan. Ternyata, di balik kemacetan lalu lintas Jakarta, terdapat jumlah besar masyarakat yang terperangkap di gang–gang sempit dan kebingungan kemana harus mencari nafkah. Mereka bahkan tidak sempat menjadi bagian dari kemacetan itu.
Di luar hal itu, saya bersyukur Gubernur Anies telah menyampaikan perspektif yang utuh tentang tantangan yang harus dihadapi Pemerintah DKI. Tidak hanya mengatasi banjir dan kemacetan, tetapi juga memerangi kemiskinan yang ada di Jakarta. Persoalan kemiskinan ini merupakan hal mendasar yang harus mendapatkan porsi perhatian besar dalam agenda pembangunan.
Kita memahami bahwa kemiskinan adalah akar dari berbagai persoalan. Bagi pelakunya, kemiskinan seperti hukuman atas dosa yang tidak pernah mereka lakukan. Jika dibiarkan akan meledak sewaktu waktu ketika keadaan sangat sulit dan mereka menuntut keadilan.
Jakarta harus mampu melayani penduduknya secara adil. Bukan hanya membangun mal dan ruas jalan, tetapi persoalan pendidikan dan ekonomi rakyatnya juga harus dibangun. Bukankah tujuan membangun negara ini adalah untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur untuk seluruh rakyat Indonesia?
Mengatasi kemiskinan di Jakarta, setidaknya ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab.
1. Bagaimana menghidupkan ekonomi kerakyatan di Jakarta
Di tengah korporasi besar yang ada, Jakarta harus tetap memberikan ruang bagi kehidupan ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi yang melibatkan rakyat kecil sebagai pelakunya. Pedagang di pasar tradisional, warung makan, warung kelontong, pedagang ikan, pedagang kaki lima, tukang ojek, adalah bentuk–bentuk ekonomi kerakyatan yang ada di Jakarta. Bentuk–bentuk ekonomi kerakyatan ini sangat rentan terhadap praktek kapitalisme, mudah runtuh, dan sering menjadi sasaran penggusuran.
Kita lihat bagaimana menjamurnya mini market telah menggilas warung–warung kecil dan pasar tradisional. Bahkan, tukang ojek kampung-pun hari ini harus bertekuk lutut kepada pemodal besar yang menerapkan tarif ber-subsidi bagi pengguna ojek mereka. Sehingga, tidak sedikit tukang ojek kampung yang kehilangan mata pencaharian.
Pemerintah harus mampu merumuskan regulasi yang membuat Jakarta tetap menarik bagi investor, tetapi sekaligus melindungi kehidupan ekonomi rakyat. Bagaimana Jakarta bisa membangun ekosistem yang tidak hanya membuat korporasi bertumbuh, UMKM bertumbuh, tetapi ekonomi kerakyatan juga hidup dan bertumbuh.
2. Bagaimana mendorong tumbuhnya kewirausahaan
Maju atau mundurnya ekonomi sebuah bangsa ditentukan oleh sektor swastanya, jika swasta maju, majulah ekonomi bangsa itu.
Kita memiliki tantangan besar dalam hal jumlah wirausaha di Indonesia, menurut BPS tahun 2016 jumlah wirausaha Indonesia sebesar 3.1 persen dari jumlah penduduk, meliputi umkm dan pengusaha mikro, ini terendah di ASEAN, Singapura terdapat 7 persen wirausahawan dari total penduduknya, apalagi dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang 11%, Amerika 12 persen, dan Cina 10 persen.
Jakarta saat ini bukanlah sebuah kota yang bersahabat untuk UMKM. Sekedar izin domisili saja sangat sulit. Kebijakan zonasi yang hanya memperbolehkan wilayah–wilayah tertentu saja yang bisa dijadikan untuk tempat usaha, membuat UMKM bukan hanya berhenti bertumbuh di Jakarta, tetapi berguguran pada beberapa tahun terakhir ini.
Pemerintah Jakarta perlu mengubah paradigma berpikirnya, bukan membatasi ini dan itu tetapi bagaimana justru agar masyarakat mudah membuat usaha. Bagaimana agar siapapun mereka bisa memulai usaha dengan apa yang mereka miliki. Bagaimana memberikan akses permodalan, bagaimana menyentuh mereka dengan pelatihan–pelatihan kewirausahaan, juga bagaimana memberikan lingkungan usaha yang sehat bagi mereka.
Lebih lanjut, untuk mendorong tumbuhnya wirausaha tidak hanya sekedar bagaimana masyarakat bisa membuat produk atau jasa, tetapi bagaimana agar produk dan jasa mereka dibeli. Di sinilah letak persoalan mendasar pembangunan ekonomi di Indonesia. Bukan anak–anak kita yang tidak bisa membuat produk, tetapi kita sendiri yang tidak mau membeli produk mereka.
Bayangkan, anak kita mampu membuat pesawat canggih CN235, tetapi maskapai pemerintah Merpati justru membeli pesawat dari Cina. Dengan mentalitas seperti ini, jangankan pesawat, produk air minum saja akhirnya dikuasai asing.
Itulah, maka pembangunan ekonomi tidak bisa sekedar membangun Industri, lebih penting lagi membangun pasar. Kenapa? Karena industri tidak bisa mendikte pasar, sebagaimana produk tidak bisa mendikte pelanggan. Pelanggan yang menentukan maunya produk seperti apa, bukan produk yang menentukan pelanggan harus memilih produk yang mana. Memang yang terjadi adalah pasar yang mendikte industri, pelanggan yang mendikte produk. Indonesia adalah pasar yang besar, tapi sayangnya pasar yang besar ini hanya menjadi pasar bagi produk asing.
Nah bagaimana Jakarta mampu mentransformasi pasar yang besar ini agar menjadi pasar dari produk dan jasa masyarakatnya sendiri. Kalau ini bisa terjadi, maka produk dan jasa akan bermunculan, wirausaha akan bertumbuh dengan sendirinya.
Diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah, bagaimana mengalokasi anggaran belanjanya untuk produk dan jasa lokal, bagaimana mengedukasi masyarakat agar membela produk bangsanya sendiri. Ini adalah pekerjaan membangun karakter masyarakat, membangun perilaku, membangun mentalitas pembelaan, sehingga membela produk bangsa sendiri menjadi semacam ideologi bagi masyarakat. Membangun ekonomi tidak bisa dilakukan tanpa membangun ideologi, membangun ekonomi bukan sekedar persoalan angka–angka.
3. Bagaimana membangun sinergitas pembangunan antara Jakarta dengan daerah
Lapangan kerja harus diciptakan, tetapi apakah rakyat Jakarta harus selalu bekerja di Jakarta? kalau dari daerah mencari kerja di Jakarta, mengapa hal sebaliknya tidak bisa terjadi? Kenyataannya rasio kemiskinan Jakarta lebih tinggi dari rasio kemiskinan nasional, hanya di Jakarta pula orang miskin yang paling miskin bisa dijumpai.
Dengan APBD yang begitu besar, Jakarta bisa menjalin sinergitas pembangunan dengan daerah. Bayangkan sisa anggaran tahun 2016 saja mencapai Rp 7,9 triliun, ini setara dengan APBD 5 kabupaten di Jawa Tengah. Apa yang bisa terjadi jika dana sebesar itu mengalirkan manfaat ke daerah–daerah lain di luar Jakarta.
Bupati Kulonprogo dr Hasto Wardoyo pernah mengusulkan sebuah konsep sinergitas pembangunan yang bisa dilakukan antara Jakarta dengan daerah, sehingga pembangunan bisa dilakukan dengan memecahkan persoalan baik persoalan di Jakarta maupun di daerah. Saya rasa banyak gagasan–gagasan seperti ini dan terobosan yang layak untuk di eksplorasi lebih lanjut dan diimplementasi ke depan untuk memecahkan berbagai persoalan.
Kembali tentang kemiskinan, Nelson Mandela pernah mengatakan “Selama kemiskinan, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial masih ada di sekitar kita, maka sesungguhnya tidak ada di antara kita yang benar-benar bisa beristirahat dengan tenang”.
*) Rumah Kebangkitan Indonesia/Pemimpin Gerakan Beli Indonesia