Selasa , 02 Sep 2014, 12:53 WIB
Lathifah, Penyandang Tunarungu yang Jadi Model Cantik dan Berprestasi
Latifah, Mahasiswi jurusan Seni Rupa di Universitas Brawijaya,

REPUBLIKA.CO.ID, Keterbatasan pendengaran karena menyandang tunarungu tak membuat Siti Nur Lathifah patah semangat mengejar mimpi. Dengan penuh kerja keras, ia melewati masa-masa kritis akibat minder dengan pendengarannya itu, sampai akhirnya meraih beasiswa Bidikmisi. Berkat prestasinya, ia bisa bertemu langsung menteri dan presiden.

Siti Nur Lathifah adalah satu dari sekian banyak kisah menarik dan inspiratif yang diceritakan dalam buku Kebangkitan Kaum Duafa pada acara silaturahim Bidikmisi di Jakarta, Kamis (27/2/2014) lalu. Buku itu diserahkan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sepintas, penampilan gadis setinggi 166 cm yang berkerudung itu tak berbeda dengan perempuan lainnya. Wajahnya terlihat tak kurang satu apa pun. Perbedaan baru terlihat ketika dia berbicara. Tidak hanya bibirnya yang bergerak, kedua tangannya pun ikut serta menerjemahkan tiap detail kata-katanya.

Mahasiswi Jurusan Seni Rupa di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, itu memang mengalami keterbatasan dalam pendengaran. Tetapi, keterbatasan fisik tersebut tak lantas membuat mahasiswi angkatan 2011 ini berhenti berprestasi.

Perempuan asal Semarang yang lahir dari pasangan Mulyono dan Munawaroh ini sangat menggemari dunia model. Dari dunia inilah ia banyak mendulang prestasi.

Ia sebenarnya lahir seperti bayi normal pada umumnya. Pendengarannya mengalami gangguan ketika berumur tujuh tahun. Dia mengalami kecelakaan ketika bermain sepeda.

"Akibatnya, saya tidak bisa mendengar," ujar Lathifah, panggilan akrab mahasiswi ini.

Saat kecil, Lathifah sering ditinggal orangtuanya untuk mencari nafkah. Bapaknya bekerja sebagai tukang bangunan, sementara ibunya menjadi buruh toko sablon. Praktis, ia bermain tanpa pengawasan.

Sejak kecelakaan dan akibatnya itu, Lathifah selalu berupaya menerima keterbatasan dirinya. Hanya saja, dia mengungkapkan, pernah pada suatu masa dirinya sangat merasa minder. Puncaknya terjadi ketika dia menginjak kelas X.

"Saya sangat minder, tidak percaya diri, karena sering diejek teman-teman yang normal," tutur Lathifah.

Lantaran sering mendapat ejekan, Lathifah mengaku sempat marah dan kecewa kepada Tuhan. Tetapi, banyak orang di sekelilingnya yang menguatkan dan memotivasinya. Kepala sekolahnya pun sering mengajaknya mengikuti berbagai seminar motivasi.

Sampai akhirnya, sejak kelas XI, Lathifah lambat laun sadar dan bisa menerima keadaan. Dia tak lagi fokus pada keterbatasan dirinya, tetapi mulai menyibukkan diri dengan hobi, yaitu fesyen dan tata rias.

Lathifah mulai banyak mengikuti dan memenangi lomba-lomba. Satu demi satu prestasi diraihnya. Secara bertahap, kepercayaan dirinya bahkan kian menguat.

"Saya semakin mensyukuri anugerah Tuhan yang dititipkan kepada diri saya. Meskipun saya memiliki keterbatasan, tapi saya bisa berprestasi," tuturnya.

Kuliah normal

Lulus dari SMA, Lathifah merasa harus menghadapi perjuangan berat lainnya. Ia harus bisa meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi.

"Saya anak terakhir dari empat bersaudara. Ketiga kakak laki-laki saya sudah menikah dan tidak ada yang kuliah," ungkapnya.

Lathifah mengaku maklum akan hal itu. Penghasilan orangtuanya tak mencukupi untuk menyekolahkan keempat anaknya di perguruan tinggi. Karena itulah, sejak awal, Lathifah menabung hadiah yang diperolehnya setelah memenangi sejumlah lomba fesyen.

"Dari uang tabungan itulah saya bisa mendaftar kuliah, dan alhamdulillah, saya mendapat bantuan Bidikmisi. Itu sangat membantu dan meringankan beban orangtua saya," ucapnya.

Lathifah lalu memilih Jurusan Seni Rupa di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Tak salah pilih, karena memang itulah jurusan yang diinginkannya.

Ia juga mengaku bersykur karena kakaknya tinggal di kota itu. Lathifah pun lolos mengikuti setiap seleksi dan diterima di kampus impiannya itu.

"Sebenarnya orangtua melarang saya untuk pergi jauh dari Semarang," tuturnya.

Jalan hidup Lathifah pun berubah. Ia terus memenangi beragam lomba fesyen yang diikuti orang-orang "normal". Ia mengaku, hanya dirinya peserta yang menderita tunarungu. Ia akui, semua itu mengokohkan kepercayaan dirinya.

Namun, Lathifah berkisah, pencapaian terbesarnya saat ini adalah bisa kuliah bersama mahasiswa yang normal. Sejak SD, Lathifah selalu ditolak ketika ingin masuk sekolah umum. Akibatnya, ia selalu masuk sekolah berkebutuhan khusus.

"Sekarang, saya bisa kuliah di dengan orang-orang normal. Saya senang sekali," ucapnya.

Lathifah mengaku beruntung kuliah di kampus tersebut. Pasalnya, ada sejumlah sukarelawan kerap membantu Lathifah bersosialisasi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Sukarelawan itu datang dari Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD).

"Tapi, selama ini, seperti di kelas, saya dibantu oleh teman-teman di sekeliling saya," ucapnya.

Misalnya, ketua kelasnya banyak membantu Lathifah dengan cara berbicara oral secara perlahan-lahan agar Lathifah bisa membaca gerak bibirnya. Sebaliknya, teman-teman Lathifah belajar bahasa isyarat.

"Jadi, kami sama-sama belajar dan sama-sama mengerti," tuturnya.

Berangkat dari saling pengertian itulah, Lathifah mengaku tidak banyak menemui kesulitan saat menuntut ilmu. Para dosennya kebanyakan sudah tahu keadaan dirinya sehingga mereka bisa menyesuaikan diri dengan dirinya. Ada dosen yang baik dan mau menerangkan dengan berbicara pelan-pelan sehingga Lathifah bisa mengerti. Ketika ada hal atau kata yang tidak dimengertinya, Lathifah langsung bertanya, baik kepada teman maupun langsung kepada dosen.

"Saya sering berdiskusi dengan dosen terkait hal-hal yang tidak saya mengerti di perkuliahan. Alhamdulillah, dosen-dosen banyak membantu," tuturnya.

Hobi dan ilmu

Pencapaian Lathifah dengan segala keterbatasannya itu menarik program salah satu televisi swasta. Lathifah didapuk menjadi narasumber di program Kick Andy. Ia mengaku tak menyangka dijadikan narasumber dan duduk di kursi depan (Kick Andy edisi 13 Desember 2013).

Pada acara bertema "Keterbatasan Bukan Halangan" itu hadir lima narasumber lain yang semuanya memiliki keterbatasan fisik. Mereka antara lain Gede Ade Putra Herawan (tunarungu wicara), Noni Kartika (SDLB/C, tunagrahita), dan Dwi Erwanti (penyandang cacat kaki). Lathifah mengakui, sejak tayangan itulah banyak orang yang mengenal dirinya dan mengaku termotivasi.

"Saya senang jika kehadiran saya dapat menginspirasi orang lain," ucapnya.

Kini, Lathifah mulai merancang masa depan. Setelah lulus kuliah, dia ingin menggabungkan hobi dan ilmu yang didapatnya di bangku kuliah. Ia ingin menjadi desainer dan memiliki butik muslimah.

Lathifah berterima kasih kepada pemerintah yang sudah membuat program Bidikmisi. Beasiswa ini membantu dirinya mewujudkan cita-citanya. Dia berharap banyak rekannya, khususnya yang punya keterbatasan ekonomi, tidak menyerah.

"Kalau orang yang tidak bisa mendengar saja bisa, mengapa mereka tidak bisa. Kalau orang yang tidak bisa melihat saja bisa, tentunya mereka juga lebih bisa," katanya.  

Ihwal cara mengatasi keterbatasan, Lathifah mengaku hal itu memang sulit, tetapi bukan sesuatu yang mustahil dilakukan.

Reporter :
Redaktur : Taufik Rachman