REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Program beasiswa Bidikmisi memang baru digulirkan pada 2010. Adagium "orang miskin dilarang kuliah" pun diharapkan berubah menjadi "orang miskin silakan kuliah, gratis dan diberi uang saku atau biaya hidup".
Lebih dari seribu mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu yang menerima Bidikmisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berkumpul selama tiga hari di Jakarta, sejak Rabu (26/2/2014) hingga Jumat (28/2/2014). Selain silaturahim, para mahasiswa berpretasi itu dijadwalkan membuat forum komunikasi di antara mereka. Tiga diantara mahasiswa itu mengungkapkan pendapatnya menerima manfaat Bidikmisi tersebut.
Amalia Anjani, mahasiswi Sistem Informasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Jawa Timur, mengaku selalu percaya bahwa pendidikan merupakan jalan terbaik memutus rantai kemiskinan. Berbagai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan banyak ditawarkan kepada orang-orang yang memiliki tekad melanjutkan pendidikannya.
"Saya menilai program Bidikmisi ini berbeda dengan tawaran beasiswa lainnya. Bukan hanya dana pendidikan selama empat tahun yang diberikan, dana untuk kebutuhan hidup sehari-hari pun akan didapat," ujar Amalia.
Sementara itu, Fiki Ferianto, mahasiswa Administrasi Negara Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah, mengaku hanya tekad bulat yang bisa membuat dirinya mewujudkan mimpi melanjutkan pendidikan. Sebagai anak petani, dia hanya punya semangat tinggi dan usaha keras untuk mengejar impian itu.
"Ini seperti mimpi. Bisa merasakan manfaat menimba ilmu di pendidikan tinggi. Saat orientasi mahasiswa baru, saya menitikkan air mata. Saya bersyukur. Pemerintah ternyata masih melihat saya, orang yang tak punya dan berada di daerah terpencil," ucap Fiki.
Fiki mengatakan, pelajar Indonesia jangan pernah berhenti berjuang untuk meraih pendidikan. Ia percaya, usaha keras akan mengantarkan generasi muda yang penuh semangat untuk bisa meraih mimpinya.
"Kita kan hanya bisa berusaha. Selebihnya, serahkan kepada Tuhan. Ingatlah, kesuksesan bukan hanya milik mereka yang berlimpah harta dan berkuasa, tapi milik kita semua," katanya.
Senada dengan Fiki, Siti Horiah, mahasiswa Fakultas Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada (UGM), mengaku tak hentinya bersyukur menerima beasiswa Bidikmisi. Masa depannya sudah di depan mata.
"Awalnya, para tetangga saya meledek dan menghina kedua orangtua saya. Menurut mereka, saya begitu tidak tahu diri. Bagaimana mungkin anak tidak mampu seperti saya menjadi mahasiswa. Dari mana uang untuk membiayai biaya pendidikan di perguruan tinggi ini saya dapatkan," ujarnya.
Siti mengaku tidak menyangka bisa melanjutkan pendidikan tinggi. Terlebih lagi, guru bimbingan konseling di sekolahnya kemudian memperkenalkan program Bidikmisi. Berbekal Bidikmisi inilah, Siti melangkah mantap mendaftarkan diri ke UGM.
"Semua jerih payah pun terbayar. Harapan saya terjawab sudah. Tuhan membuktikan bahwa usaha keras tidak akan pernah sia-sia. Tak ada yang mustahil selama kita yakin dan berusaha meraihnya. Ini amanat besar yang tidak akan pernah saya sia-siakan," ucapnya.
Keputusan tepat
Keraguan banyak pelajar untuk bisa melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi setidaknya sudah terjawab dengan adanya program Bidikmisi. Program ini diluncurkan Kemendikbud pada 2010 dalam kerangka penyusunan Program Seratus Hari Kabinet Indonesia Bersatu ke-2. Program ini diperuntukkan bagi lulusan SMA/SMK/MA dari keluarga tidak mampu. Dengannya, lulusan tersebut dapat melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi, tanpa biaya sampai lulus, dan selama kuliah mendapatkan uang saku atau biaya hidup.
Bidikmisi telah memberikan kepastian kepada para lulusan SMA/SMK/MA dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi untuk bisa kuliah dengan gratis. Sampai 2013 lalu, total jumlah penerima Bidikmisi di sejumlah perguruan tinggi mencapai 140.180 mahasiswa, yang 9.513 diantaranya di perguruan tinggi swasta. Penerimaan ini telah dimulai sejak 2012, sudah berlaku di 98 PTN dan 590 PTS.
"Sempat terlintas keraguan dalam benak saya, apakah saya harus berganti haluan dan mengubur impian menjadi dokter. Jangankan untuk kuliah kedokteran, kuliah di jurusan nonkedoteran saja, secara biaya, sulit saya penuhi," ucap Putu Suryawan, mahasiswa Fakultas Kedokteran Udayana, Bali.
Putu menuturkan, ayah dan ibunya hanya petugas kebersihan atau cleaning service. Penghasilan mereka berdua hanya cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Itu pun harus diiringi oleh keprihatinan yang tinggi.
"Saya tak ingin menyia-nyiakan apa yang telah saya peroleh, termasuk dana Bidikmisi. Karena itu, saya terus berusaha untuk berprestasi dengan nilai IPK yang tidak pernah turun. Hingga kini saya mampu meraih IPK 3,5. Saya akan buktikan bahwa pemberian Bidikmisi adalah keputusan tepat," ujar Putu.