Selasa 26 Feb 2013 06:26 WIB

Mengunyah atau Dikunyah 'Sosmed'

Situs-situs jejaring sosial (ilustrasi)
Situs-situs jejaring sosial (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi mereka yang tidak lahir di era generasi digital, menggeser cara pandang menjadi warga digital bukan perkara sepele. Tidak mengherankan bila hingga kini beberapa orang masih berjarak bahkan menolak untuk bersentuhan dengan media sosial--orang akrab menyebutnya 'sosmed'.

Mungkin pemikiran yang kelewat sederhana--mencoba untuk tidak menyebut naif--bila menganggap situs-situs jejaring sosial sekadar tempat bertemu di dunia maya, di mana orang-orang bisa berbincang, bertukar foto, mengubah status atau bahkan mengumpat orang lain dan mengecam dunia. Semua tadi hanyalah simbol acak tak beraturan. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu yakni kumpulan informasi massif.

Berbagai data merentang di sana, mulai dari tren gaya hidup terkini, kecenderungan pemikiran,  kemunculan sebuah budaya baru, bahan mentah analisa pasar, opini tak terdengar, sebuah budaya, kegeraman hingga kemarahan.

Bila cuma kumpulan celoteh-celoteh kosong, Facebook tidak akan memunculkan gerakan dukungan terhadap Prita Mulyasari yang fenomenal hingga membuat RS Omni tertampar. Penanda pertama betapa gamblang tombol 'suka' di Facebook mamp membangun opini publik dan kekuatan sipil, sebuah akselerasi berharga dalam proses demokrasi di Indonesia.

Peristiwa itu juga langsung menjadi peringatan keras untuk perusahaan besar dengan amunisi pengacara sebanyak apa pun agar lebih berhati-hati memperlakukan 'orang biasa'.

Bagi yang belum mendengar, saat ini pun tersedia sebuah ruang maya bernama Change.org, yang mengusung konsep petisi. Bila pengguna mengombinasikan layanan tersebut dengan kekuatan brutal berupa jumlah pengikut besar plus alat yang memungkinan untuk mempresentasikan prosentase dukungan dan bukti kepada publik, maka dia bisa memiliki alat politik kuat.

Sementara di urusan bisnis, bukan rahasia umum lagi bahwa pemilik akun media sosial tertentu juga memiliki teman para 'pedagang dunia maya'. Untuk urusan ini, satu kisah pasangan dari Inggris terlahir jauh dari era generasi digital ini bisa menjadi inspirasi.

Ketika  Anthony Lloyd dan istrinya Peta membeli Hotel Fallowfields di Oxfordshire pada  1993, tak ada satu pun dari keduanya yang memiliki pengalaman bisnis dalam industri bidang apa pun. Memasok katering untuk pasar korporat besar, Lyod terjebak dalam cara pemasaran tradisional, seperti  buku panduan turis dan jaringan bisnis yang mengharuskan tatap muka.

Pada tahun 2008, ketika resesi menguat dan bisnis melambat, keduanya berpikir untuk mengubah strategi dan beralih menggunakan media sosial. Lewat Twitter mereka berhasil memangkas biaya dan tetap terus menghidupkan bisnis. Hanya dalam 18 bulan setelah mempelajari Twitter, ia memiliki seribu lebih followers (pengikut), angka pemesanan naik dan pendapatan tergenjot menjadi £150,000 (Rp2,3 miliaran) per tahun

Strateginya sederhana. Ia secara rutin terus berkicau mengenai daftar menu terbaru, kabar hotel, paket promosi, postingan blog, hingga meminta koki tamu untuk ikut membuat postingan.

Semua ilustrasi di atas menunjukkan bahwa dalam era ketika informasi melimpah, maka kemewahan terletak pada arti dan konteks. Memanfaatkan jejaring sosial adalah persoalan memberi makna di dalamnya, bila dipahami betul dan dibarengi dengan kemampuan untuk mengendalikannya, seharusnya tak perlu membuat orang enggan apalagi takut.

Memang, ada potensi laten lain yang tersembunyi di balik media sosial, akses untuk melakukan kecurangan, perselingkuhan digital, kecanduan hingga sikap antisosial. Dulu, misal, untuk menahan diri tidak mendekati perselingkuhan di tempat kerja, karyawan yang telah menikah bisa menjauh beberapa kotak kubik atau bahkan pindah kerja bila perlu untuk menciptakan zona aman. Kini, lewat sosial media, tidak bisa benar-benar ada zona aman.

Meski, perlu diingat, bahwa sebagian besar niat buruk  dimulai dari pikiran. Selingkuh, pornografi  hingga manipulasi adalah dosa purba yang juga berevolusi dan memodernkan diri sesuai zaman.

Sementara media sosial, seperti juga pensil, hanyalah sebuah alat. Pensil bisa memukau ketika berada di tangan seniman, tapi juga dapat menjadi alat pembunuh efektif di tangan psikopat. Bagaimana menggunakannya, itu pilihan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement