REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono
Tinggal sepekan lagi pemilihan umum anggota legislatif, 9 April 2014, akan dilaksanakan. Selain menghinggapi para calon anggota legislatif (caleg) yang jumlahnya sekitar 20 ribu, rasa waswas pun melanda para petinggi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Beban berat ada di pundak para komisioner KPU menghadapi perhelatan pemilu kali ini. Masalah yang menjadi pertaruhan KPU kali ini adalah soal tingkat partisipasi warga dalam pemilu.
Sejak tiga kali pemilu terakhir, tingkat partisipasi politik warga terus memperlihatkan penurunan. Angka penurunannya pun relatif besar karena selalu lebih atau berada di atas kisaran 10 persen. Tabel di bawah ini mungkin bisa memberi gambaran lebih jelas.
Melihat kecenderungan tingkat partisipasi yang terus merosot, tentu saja hal ini menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi penyelenggara pemilu. Andai saja tren penurunan terus terjadi dengan besaran yang setara, maka tingkat partisipasi warga dalam Pemilu 2014 ini bisa berada di seputar angka 60 persen.
Anjloknya angka partisipasi warga dalam pemilu tentu tak dikehendaki oleh pelaksana dan peserta pemilu. Hal ini karena kian tingginya tingkat partisipasi warga akan memperlihatkan semakin besarnya legitimasi yang diberikan masyarakat pada pemerintahan baru yang terbentuk dari hasil pemilu.
Ada banyak hal yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi warga dalam pemilu. Pertama, kinerja calon terpilih tak memuaskan. Banyak masyarakat yang kecewa dengan kebijakan pemimpin yang terpilih, baik di pemerintahan pusat maupun daerah. Kenaikan tarif dan harga aneka komoditi terus saja terjadi. Produk impor juga tetap marak menyerbu pasar. Kasus korupsi juga terus terjadi dan makin meluas. Saat rapat kerja di Komisi IX DPR pun pernah hanya dihadiri tiga anggota dewan.
Kedua, kemandirian pemilih. Landasan konstitusional kita telah menetapkan, bahwa memilih dalam pemilu adalah hak (voluntary) dan bukan kewajiban (Bab IV dalam UU Noor 10/2008 tentang Pemilu Legislatif). Lantaran itu, jika warga merasa tak peduli akan hadirnya pemimpin baru atau suasana baru dari hasil pemilu, maka mereka tak merasa perlu untuk menggunakan hak pilihnya. Di beberapa negara, menyalurkan suara dalam pemilu merupakan kewajiban (compulsory) sehingga angka partisipasi relatif tinggi. Ini terjadi di Belgia, Yunani, Mesir, Australia, Argentina, Selandia Baru, Singapura, Turki, dan lain-lain.
Ketiga, warga apatis terhadap politik. Banyak anggota masyarakat yang merasa takut, risih, dan bahkan muak melihat tingkah para politisi. Mereka pun merasa alergi jika harus berhubungan dengan partai atau terlibat dalam proses politik. Politik dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari.
Keempat, tumbuhnya ‘kesadaran politik’ baru. Kesadaran ini muncul dalam arti negatif. Sebagian masyarakat menyadari sepenuhnya, bahwa janji-janji yang terlontar dari mulut para tokoh politik sering kali hanya enak dan manis didengar namun sejatinya jauh dari kenyataan. Setelah terpilih, para calon lebih banyak mementingkan urusan partai atau dirinya sendiri. Masyarakat hanya dibutuhkan kala sang calon perlu dukungan politik. Begitu terpilih, mereka abai dan bahkan menyapa konstituennya pun tidak.
Kelima, segala hal yang terkait dengan proses pelaksanaan pemilu. Ini mencakup prosedur pendaftaran pemilih, simpang-siurnya jumlah pemilih, jarak rumah dengan tempat pemungutan suara di daerah terpencil, usia pemilih, dan lain-lain. Artinya, masalah yang besifat sangat teknis ini bisa berpengaruh terhadap tingkat partisipasi warga.
Di luar masalah korupsi, ukuran keberhasilan pemilu di Indonesia sesungguhnya sangatlah sederhana. Pemilu akan berhasil jika berjalan dengan luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil), serta tingginya tingkat partisipasi warga. Langsung berarti pemilik hak menyalurkan suaranya tanpa perantara. Umum bermakna semua warga yang memiliki hak harus bisa mengikuti jalannya pemilu. Bebas mengandung arti, masyarakat menyalurkan aspirasinya tanpa paksaan, iming-iming, atau tekanan. Rahasia artinya tak ada pihak lain yang tahu saat warga melaksanakan hak pilihnya. Jujur berarti pelaksanaan pemilu berjalan sesuai aturan yang berlaku. Sedangkan adil memunyai pengertian, pemberian perlakuan yang sama di antara para pemilih, kecuali bagi penyandang disabilitas.
Jika luber jurdil itu telah berjalan dengan baik maka kita tinggal melihat, setinggi mana tingkat partisipasi warga. Di beberapa negara maju, tingkat partisipasi pemilu terakhir mereka juga tak terlalu tinggi. Lihat saja di Inggris yang hanya 66%, lalu Jepang (59,3%), India (58,2%), Kanada (61%), Prancis (59,98%), dan Amerika Serikat (57,50%).
Jikalau partisipasi warga dalam pemilu nanti hanya mencapai 60% (meski target KPU sebesar 75 %), bagi saya itu tak terlalu menjadi masalah. Persoalan menjadi amat serius andai tingkat partisipasi warga dalam pemilu berada di bawah angka 50%. Dengan catatan, itu tak termasuk suara yang tak sah atau hilang karena ketentuan ambang batas parlemen (partai yang suaranya berada di bawah ketentuan minimal perolehan kursi di DPR maka itu dianggap hilang).
Setiap pemilu --legislatif maupun eksekutif (kepala daerah dan presiden)-- akan selalu mencari pemenang. Adapun pemenang pemilu adalah mereka yang mendapat suara terbanyak. Karena itu, prinsip suara terbanyak menjadi pegangan utama dalam penyelenggaraan dan keberlangsungan pemilu.
Bila jumlah warga yang tak ikut mencoblos dalam pemilu melebihi angka 50%, berarti suara terbanyak di negeri ini tak suka atau tak menginginkan adanya pemilu. Ini artinya, pemilu sudah tak lagi kita butuhkan. Harapan saya, semoga ini tak pernah terjadi.