REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Karta Raharja Ucu, wartawan Republika, @kartaraharjaucu
Di akhir Maret 2014, rakyat Indonesia, khususnya orang Sunda, dikejutkan dengan kabar meninggalnya dalang sunda kondang, Asep Sunarya Sunandar. Bagi orang Sunda, Abah Asep adalah seorang maestro seni Jawa Barat khususnya wayang golek.
Satu dari sekian banyak karya yang ditinggalkan Abah Asep adalah karakter Cepot yang sudah mendunia. Bagi orang Sunda, Cepot adalah ikon budaya sekaligus 'penasehat' kehidupan. Abah Asep menciptakan karakter Cepot sebagai pria baong (nakal), humoris, suka banyol ngabodor (bercanda) dengan siapapun. Namun di balik sifat bangornya tersebut, Cepot yang memiliki nama lain Astrajingga itu acap kali memberikan nasehat, petuah sekaligus kritik.
Saya teringat ketika pertama kali diajak ayah saya menonton Abah Asep mentas di salah satu sudut Kota Cirebon, kampung halaman saya. Saat itu, Abah Asep membawakan karakter Cepot dengan sempurna. Tukang kritik, sering ngebanyol, namun sifat ceplas-ceplosnya itu menggambarkan kecerdasan Cepot yang selalu membawa senjata bedog atau golok.
Dari sekian banyak lakon yang dimainkan Abah Asep, lakon yang paling terkenal adalah 'Semar Gugat'. Semar adalah ayah Cepot. Lakon itu berisi kritik terhadap pemerintah yang membiarkan rakyatnya menderita. Semar menggugat para pemimpin bangsa yang mementingkan kekuasaan tanpa memikirkan rakyat. Pemimpin bangsa yang tidak menjalankan amanah rakyat juga tidak lepas dari gugatan Semar.
Lakon itu menurut saya sangat relevan menjelang Pemilu 2014 yang bakal digelar 9 April mendatang. Tak sedikit pejabat negara yang tergiur menduduki jabatan lebih tinggi lagi, meski ia harus melanggar sumpahnya ketika dilantik pada jabatan sebelumnya. Salah satunya adalah Joko Widodo atau lebih dikenal sebagai Jokowi.
Pria kelahiran Solo, 52 tahun silam itu kini berstatus sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan. Pascaresmi diusung menjadi capres, tugas Jokowi bertambah berat. Ia diprediksi bakal melepas jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta guna fokus memenangkan kursi RI 1. Apa Jokowi melanggar sumpah? Tentu saja iya. Sebab, saat disumpah di atas Alquran, Jokowi berjanji akan memimpin Ibu Kota hingga tuntas. Tapi kenyataannya lain. Belum juga separuh jalan, ia sudah maju sebagai capres dengan setumpuk persoalan di Jakarta yang belum terselesaikan.
Dalam Kitab Riyahushshalihin karya Imam Al-Nawawi pada Bab 3 soal perintah menempati janji disebutkan, ada empat perbuatan, siapa yang melakukannya, maka dia adalah orang munafik. Barang siapa yang melakukan salah satu dari perbuatan-perbuatan itu, berarti telah melakukan salah satu dari perbuatan munafik, sehingga ia meninggalkannya. Yaitu, jika berkata dia dusta, jika berjanji dia melanggar, jika dipercaya dia berkhianat, jika berdebat dia melampaui batas (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dari hadis tersebut Jokowi melakukan bukan hanya satu, tapi dua perbuatan yang bisa membuatnya disebut sebagai orang munafik. Jokowi berjanji akan tetap memimpin Jakarta tapi ia melanggar. Pencapresannya juga mengkhianati warga yang mempercayakan suaranya pada Pilkada DKI lalu.
Masih di kitab yang sama, Imam Al-Nawawi menjelaskan, "Dituturkan dari Abu Ya'la Ma'qil bin Yasar ra, 'Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, Tiada seorang hamba yang diberi kepercayaan Allah untuk memimpin rakyat, kemudian ketika dia meninggal dunia dalam keadaan masih menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya'." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Bahkan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Abraham Lunggana sempat menyindir Jokowi. "Bentar-bentar siap pengen jadi gubernur, terus pengen jadi menteri, lama-lama nanti pengen jadi Tuhan, hehe," kata politikus yang akrab disapa Haji Lulung itu.
Tak sedikit pihak yang menilai blusukan yang dilakukan Jokowi adalah ajang pencitraan. Saya bahkan sempat menggulum senyum saat membaca komentar seorang pembaca di salah satu media online yang menyejajarkan Jokowi dengan Umar Bin Khatab ra. Sahabat Rasulullah saw itu dikenal sebagai khalifah yang merakyat, selalu turun ke pelosok desa, melihat dan mendengar langsung keluhan dan derita rakyat, yang membutuhkan bantuan pemerintah secara tepat dan cepat.
Jokowi dan Umar bak langit dan bumi. Tak bisa hanya bermodal blusukan, masuk keluar kampung, atau nyemplung ke gorong-gorong lantas menyejajarkan Jokowi dengan Umar yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah saw.
Saya ingin mengajak sidang pembaca berfikir memakai logika, apakah baik seorang pemimpin yang sudah berjanji di atas Alquran dengan mengucapkan kata 'Demi Allah', dengan entengnya menanggalkan sumpah tersebut untuk mengejar jabatan yang lebih tinggi. Apalagi, Jokowi juga pernah melanggar sumpah serupa saat menjabat sebagai Wali Kota Solo. Ia meletakkan jabatan Wali Kota Solo setelah terpilih menjadi Gubernur DKI.
Di titik ini Jokowi tidak bisa disejajarkan dengan Umar, bahkan dengan Cepot sekalipun. Namun, Jokowi juga manusia yang tentu sering khilaf. Semoga saja Jokowi sadar jika manuvernya sudah melanggar janjinya kepada rakyat, Allah dan juga diri sendiri. Sebagai seorang Muslim, kita diingatkan untuk menegur dan tidak membela seseorang yang dinilai melenceng dari jalur kebenaran, meskipun orang itu adalah atasan, kakak, atau bahkan seorang pemimpin seperti Jokowi sekalipun.