Selasa 10 Jun 2014 06:00 WIB

Sepenggal Kisah Bertemu Capres Menjelang Koalisi

Arif Supriyono
Foto: Dokpri
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono

Proses bergabungnya partai politik untuk mendukung salah satu calon presiden menyimpan kisah tersendiri. Tentu saja ada pertimbangan utama, mengapa sebuah partai memutuskan untuk bergabung dengan salah satu calon presiden. Sebaliknya, pasti ada alasan kuat mengapa sebuah partai memilih untuk tidak bergabung (berkoalisi) dengan partai atau capres tertentu.

   

Dalam pandangan masyarakat luas selama ini, koalisi yang terjadi senantiasa identik dengan bagi-bagi kursi di pemerintahan atau yang dikenal dengan istilah politik dagang sapi. Pandangan ini tak sepenuhnya salah, lantaran hal itu masih terjadi hingga saat ini.

Seorang petinggi partai --anggap saja partai X-- bercerita bagaimana proses pembagian kekuasaan atau politik dagang sapi itu terjadi. Dalam sebuah kesempatan, sang petinggi partai X sepakat untuk bertemu dengan salah satu capres.

Bungkus yang menjadi kemasan pertemuan itu adalah pemaparan visi serta misi dalam membangun bangsa dan negara ini. Terjadilah diskusi hangat yang menyangkut masa depan bangsa dan mau dibawa ke mana negara ini ke depan. Secara umum, tak ada perbedaan mendasar menyangkut cita-cita dan harapan terhadap negara ini kelak.

Sang petinggi partai X itu pun merasa berada dalam satu kendaraan yang sama dengan si capres yang akan melaju untuk membawa rakyat menuju keadilan dan kesejahteraan bersama. Sampai di sini tak ada masalah serius yang bisa menjadi kendala untuk berkoalisi. Tampaknya segalanya akan berjalan lancar dan mulus-mulus saja.

Sampailah kemudian sang capres membeberkan rencana untuk menyusun pemerintahan lima tahun mendatang. Dengan nada serius dan seolah begitu menghargai lawan diskusinya, capres itu lalu menawarkan posisi penting pada petinggi partai X dalam kabinet mendatang, di samping posisi lain di kabinet untuk kolega sang petinggi partai.

Tak ada penolakan maupun persetujuan dari petinggi partai itu. Tanpa prasangka maupun curiga, petinggi partai X mendengarkan saja penjelasan sang capres yang disampaikan dengan penuh semangat dan berapi-api hingga diskusi berakhir.

Jalinan komunikasi sudah barang tentu dilakukan oleh petinggi partai X dengan parpol lain, sebut saja partai A. Mereka pun saling bertukar pandangan dan informasi tentang rencana koalisi dan bagaimana membawa negara ini ke depan. Suatu hal yang membuat petinggi partai X tadi tercengang adalah penawaran dari sang capres tadi terhadap pimpinan partai A. Ternyata sang petinggi partai A juga mendapat tawaran dengan posisi yang sama dalam kabinet.

Di kemudian hari, petinggi partai X juga bertemu dengan partai B. Hal sama juga disampaikan oleh pimpinan partai B. Kelompok mereka mendapat tawaran dari sang capres untuk menduduki posisi terhormat dalam kabinet. Petinggi partai A pun melongo mendengar pemaparan pimpinan partai B tersebut.

Singkat kata, paling tidak ada empat petinggi partai yang mendapat tawaran sama dan sebangun dari sang capres. Kondisi ini tentu terasa aneh. Andai benar sang capres itu terpilih menjadi presiden, bagaimana bisa ia memberikan posisi yang sama untuk empat orang  dari partai yang berbeda? Hampir mustahil semua akan mendapat posisi yang sama-sama sebagai menteri strategis dan terhormat di kabinet.

Kalau masing-masing pimpinan partai mau mengalah, tentu tak akan menjadi masalah. Bagaimana seandainya mereka semua ngotot dan tak mau ada yang megalah? Sudah pasti ini bukan awal yang baik untuk membangun koalisi yang kokoh.

Jangan-jangan ini hanya strategi bagi sang capres, bahwa yang penting mendapat dukungan lebih dulu sebanyak-banyaknya dari partai lain agar bisa memegang tampuk kekuasaan. Perkara bagaimana kekuasaan itu nanti dibagi, bukan merupakan hal prinsip, toh kendali pemerintahan sudah dalam genggaman. Artinya di sini, ada ketidakjujuran dan ketidakterbukaan dalam upaya membangun pemerintahan bersama.

Beda lagi cerita yang disampaikan oleh salah satu petinggi parpol lain (bukan partai X) terhadap seorang capres beserta timnya. Mereka sama sekali tak bisa menjawab tegas tatkala ditanya bentuk koalisi yang akan dibangun nanti. Bukan calon presiden yang akan menentukan hal ini namun petinggi partailah yang akan memukul gongnya. Mereka masih menunggu arahan sang ‘penguasa sesungguhnya’. 

Penjelasan yang hampir sama juga dikemukakan saat diskusi berbelok ke arah pembentukan pemerintahan. Mereka tak bisa memberikan jawaban pasti kecuali satu hal: itu nanti akan ditentukan oleh pimpinan tertinggi partai. Ini bermakna, sang capres nanti --jikalau  berkuasa-- tetap sulit melepaskan diri dari bayang-bayang pimpinan tertinggi partai.

Itulah cerita seputar pembentukan koalisi atau penjajakan untuk mendukung capres pada saat itu. Siapa pun capres yang terpilih nanti --Joko Widodo atau Prabowo Subianto—wajib bagi kita untuk ikut mengontrol agar rute yang hendak dituju dan dilalui kelak sudah berada pada jalur yang benar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement