Kamis 25 Sep 2014 14:23 WIB

Haji dan Persinggungan Perilaku Korupsi

Jamaah haji di Padang Arafah, Arab Saudi.
Foto: Republika/Yogi Ardhi/ca
Jamaah haji di Padang Arafah, Arab Saudi.

Oleh: Chairul Akhmad

Bulan Dzulhijjah identik dengan ibadah haji. Di bulan inilah kaum Muslimin yang ‘mampu’ melaksanakan rukun Islam yang kelima di Tanah Suci.

Banyak yang tergiur melaksanakan ibadah yang cukup menguras tenaga dan harta ini, entah karena dalih keberagamaan atau status sosial. Ibadah haji dengan segala keistimewaannya memang selalu mengundang minat Mukmin, kaya maupun papa.

Ada kebanggaan khusus yang dirasakan calon haji, setidaknya mereka mendapat “panggilan Allah”.  Namun, tak semua orang dapat mengunjungi Ka’bah, apalagi sampai mencium Hajar Aswad.

Dalam hadis—sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim— bahkan disebutkan, salah satu nikmat terbesar yang didapat pelaku haji adalah surga. Syaratnya, harus mabrur. Sayang, tak semua calon haji memperoleh status ‘mabrur’. Begitu banyak ketentuan yang harus ia penuhi.

Mabrur diadopsi dari kata al-birru, yang berarti baik (kebaikan). Ketika digandeng dengan kata haji, maka ia menjadi sifat yang mengandung kebajikan. Dengan kata lain, haji mabrur adalah haji yang mengantarkan pelakunya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ada perubahan dalam sikap dan perilaku, kata dan perbuatan, lelaku maupun tindakan.

Haji mabrur adalah haji yang diterima Allah, yang mengantarkan pelakunya layak meraih surga. Karenanya, Yahya bin Syaraf an-Nawawi menegaskan, makna "al-mabrur" adalah (ibadah haji) yang tidak dicemari perbuatan dosa.

Ibnu Abdi al-Barr dalam At-Tamhid menyatakan, haji mabrur adalah haji yang tidak mengandung riya, sum’ah (ingin didengar/dilihat orang), rafats (kata-kata kotor), dan kefasikan. Terpenting, yang bersangkutan berhaji dengan harta halal.

Ada juga yang berpendapat, haji mabrur ialah haji yang disertai dengan memberi makan orang miskin serta santun dalam bertutur kata. Pendapat ini mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad. “Tiada pahala haji yang mabrur kecuali surga,” sabda Rasulullah SAW. Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah haji mabrur itu?” Beliau menjawab, “Perkataan yang baik dan memberi makan.”

Hal lain yang turut melecut semangat Muslim untuk berhaji adalah ‘oleh-oleh’dari Tanah Suci. Selain mendapatkan ampunan Allah, sebagaimana dikatakan sebagian ulama, mereka juga beroleh status baru: haji dan hajjah. Embel-embel tersebut, walau bukan jaminan bentuk kedekatan seseorang dengan Tuhan, tetap penting dalam hubungan antarsesama. Minimal dalam acara kenduri atau selamatan, posisi Pak Haji dan Bu Hajjah akan berbeda dibanding nonhaji dan nonhajjah.

Sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, jamaah haji Indonesia pun termasuk yang terbesar di dunia. Tiap tahun, tak kurang dari 200 ribu orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Tahun ini saja, setelah pemotongan kuota karena perluasan Masjidil Haram, jamaah haji Indonesia masih tetap yang terbanyak. Bulan haji kali ini Indonesia mengirim 168.800 orang peziarah ke Arab Saudi. Jumlah yang cukup membanggakan, sekaligus miris.

Bangga karena Indonesia masih nomor satu dalam urutan ‘pengekspor’ calon haji. Miris, karena sejak sekian lama sebagai pemegang rekor jamaah terbanyak, belum ada perubahan signifikan yang terjadi di negeri ini. Indonesia masih disebut-sebut sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

Berdasarkan Corruption Perception Index (CPI) yang dirilis Transparency International (TI) pada 2013 lalu misalnya, skor Indonesia sebesar 32. Negara ini menempati urutan 114 dari 177 negara yang diukur. Di kawasan Asia Pasifik, Indonesia masih jauh di bawah Singapura (86), Hongkong (75), Taiwan (61), Korea Selatan (55), dan Cina (40).

Di ASEAN, skor Indonesia jauh di bawah Brunei (60) dan Malaysia (50). Indonesia sedikit di bawah Filipina (36) dan Thailand (35). Artinya, perilaku korup masih membudaya di Tanah Air. Penduduk Muslim terbesar, jamaah haji terbanyak, namun masih terbelit urusan korupsi. Lantas, di manakah kemabruran itu mewujud?

Memang, tak ada hubungan ekstrinsik antara haji dan korupsi. Namun, jika mengaca pada spirit religiositas dan spiritualitas, maka keduanya menemukan titik persinggungan. Jika level religiositas dan spiritualitas seseorang naik, maka posisinya semakin dekat dengan Tuhan. Jika seseorang dekat dengan Tuhan, maka perilakunya semakin baik. Nilai-nilai ketuhanan yang serba positif akan melekat dalam dirinya. Ia pun bakal menjauhi perilaku korup—juga  perbuatan negatif lainnya—di segala lini kehidupan.

Seyogianya, ibadah haji yang merupakan pemuncak ibadah dalam Rukun Islam benar-benar dapat membawa dampak nyata dalam kehidupan seorang Muslim. Tak hanya sekadar beroleh gelar haji atau hajjah.

Sebagaimana seseorang pernah berkata kepada Ibnu Umar RA, “Sungguh banyak orang yang melaksanakan haji.” Ia menimpali, “Sungguh sedikit orang yang melaksanakan ibadah haji.” Kemudian ketika datang seorang yang lusuh dengan menunggang unta yang kurus, Ibnu Umar berujar, “Mungkin inilah orang yang melaksanakan ibadah haji.”

Semoga 168.800 calon haji Indonesia yang kini tengah bersimpuh di Tanah Suci dapat ‘melaksanakan ibadah haji’dan mendapatkan kemabruran. Kalau tidak semua, ya separuh, seperempat, atau tigaperempatnya. Sehingga kedatangan mereka kembali ke Tanah Air dapat membawa perubahan baik bagi pribadi, masyarakat atau negaranya. Amin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement