REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto
September 2014 telah berakhir beberapa hari lalu. Tak ada sesuatu yang bisa membuat saya begitu gelisah selain pertanyaan seorang kawan setelah menyaksikan Persipura Jayapura dibantai 0-6 oleh klub Kuwait Al Qadsia dalam semifinal Piala AFC.
`'Mengapa tim-tim kita melempem ketika bertemu tim yang kelasnya selevel atau lebih baik dari kita?'' tanya kawan itu seusai pertandingan, Selasa malam, 30 September.
Kekalahan 0-6 seperti menjadi langganan bagi tim sepak bola Indonesia di bulan September. Tim nasional (timnas) U-23 Indonesia digunduli Thailand dengan skor sama seperti itu pada pertandingan terakhir Grup E Asian Games, 22 September. Ketika akhirnya bertemu Korea Utara dalam babak 16 besar, Indonesia menyerah 1-4. Target lolos ke delapan besar pun gagal dipenuhi oleh skuat asuhan Aji Santoso.
Di belahan dunia yang lain, timnas U-19 yang menjalani program pemusatan latihan di Spanyol menjelang Piala Asia juga menelan kekalahan dengan skor yang sama. Anak asuh Indra Sjafri mendapat pelajaran berharga dari tim Barcelona B yang diperkuat Luis Suarez dan Thomas Vermaelen. Evan Dimas dkk menyerah 0-6 pada 24 September. Dalam laga uji coba terakhir, Garuda Jaya juga menyerah 0-5 dari tim Real Madrid C.
Pertanyaan kawan saya itu kembali terngiang di telinga. Sudah tak adakah harapan untuk sepak bola Indonesia? Tentu, saya akan berusaha menjawab optimistis atau lebih tepatnya diplomatis bahwa harapan itu selalu ada. Meskipun sejak berkecimpung sebagai jurnalis olahraga pada 2002 silam, sama sekali saya belum merasakan kesenangan atau kebanggaan terhadap prestasi sepak bola di Tanah Air. Hanya ada sedikit senyuman saat timnas U-19 menjuarai Piala AFF di kandang sendiri pada 2013 lalu.
Seperti yang sudah saya duga, ekspektasi terhadap tim ini begitu luar biasa. Mereka sangat dielu-elukan sebagai oase baru sepak bola Indonesia. Indra diundang di mana-mana. Iklan dan berita tentang timnas U-19 pun mendapat porsi lumayan di layar kaca. Bahkan pada awal Oktober ini, sebuah film khusus bertutur tentang tim asuhan Indra, Garuda 19, mulai diputar serentak menyapa para pemirsa.
Tentu tak ada yang salah dengan kebanggaan, penghargaan, dan sorotan terhadap timnas U-19. Sah- sah saja. Namun, harap diingat hasil tur di Spanyol sebenarnya membukakan mata bahwa timnas U-19 yang kita miliki belum kelas dunia. Masih banyak yang perlu dibenahi guna memiliki tim yang mampu berbicara di pentas dunia. Tim ini masih embrio meski telah menjuarai Piala AFF. Masih ada target utama untuk memastikan apakah tim ini memang benar oase baru sepak bola kita jika mampu berbicara banyak di Piala Asia beberapa hari ke depan.
Akan tetapi, itulah sulitnya menjadi pesepak bola di Indonesia. Negeri yang begitu "gila" sepak bola ini selalu bombastis menyingkapi fenomena. Pesepak bola mulai menonjol sedikit, gembar-gembor langsung menghunjam. Masih ingat dengan timnas senior di Piala AFF 2010? Setelah masuk final, tim yang diper kuat sejumlah pemain naturalisasi itu begitu dielu-elukan. Pemberitaan mereka pun cenderung berlebihan. Beberapa tokoh politik berusaha menempel kepopuleran mereka. Beberapa pemain laris-manis menghias layar kaca. Hasilnya, di final Indonesia kalah agregat 2-4 dari Malaysia. Padahal di fase grup, Indonesia mencukur Malaysia 5-0.
Atau masih ingat dengan "Lionel Messi"-nya Indonesia, Andik Vermansyah, yang sempat dipuja-puji dan disebut media sebagai talenta terbaik beberapa tahun terakhir? Sejumlah iklan menghampirinya. Namun, hingga saat ini prestasi Andik pun seperti jalan di tempat.
Maka, judul lagu band Green Day, "Wake Me Up When September Ends", bisa menjadi pengingat bahwa September telah lewat. Mari kembali bersama-sama terbangun dari mimpi- mimpi indah tentang sepak bola Indonesia.
Ketika berkunjung ke Indonesia pada 2011 lalu, mantan kapten timnas Belanda pada Piala Dunia 2010, Giovanni van Bronckhorst, menyatakan sepak bola Indonesia akan jauh lebih baik 20 tahun ke depan. Menurut dia, Indonesia yang merupakan negeri leluhurnya memiliki modal jumlah penduduk yang besar untuk membangun persepakbolaan dengan lebih baik.
Namun, saya tak hendak seoptimistis Van Bronckhorst. Tanpa cetak biru pembinaan pemain muda dan pengelolaan kompetisi yang profesional, kita akan kesulitan untuk menjawab pertanyaan, kapan lagi timnas Indonesia, terutama tim senior, bisa menjadi juara di level Asia Tenggara serta berbicara banyak di level Asia dan Dunia.
Pada akhirnya, setelah lebih dari 12 tahun mengamati sepak bola Indonesia, saya sadar bahwa level sepak bola Indonesia sepertinya belum ke mana-mana. Ketika negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam sudah bisa lebih melaju, kita masih menganggap mereka adalah musuh bebuyutan kita. Padahal, kita mulai jarang menang dari mereka. Pertanyaannya, apakah mereka masih menganggap kita musuh bebuyutannya? Jangan-jangan sudah tidak lagi.