Jumat 14 Feb 2025 19:29 WIB

Tantangan dan Peluang Perbankan Syariah Indonesia di Tengah Ketidakpastian Global

Perbankan syariah harus mampu beradaptasi dengan perubahan tren ekonomi.

Pemenang Talenta Wirausaha BSI 2023 menata produknya yang dipamerkan saat acara Kick Off Talenta Wirausaha BSI 2024 di Jakarta, Selasa (10/12/2024).
Foto: Republika/Prayogi
Pemenang Talenta Wirausaha BSI 2023 menata produknya yang dipamerkan saat acara Kick Off Talenta Wirausaha BSI 2024 di Jakarta, Selasa (10/12/2024).

Oleh : Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah, Dosen FEB UMJ

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketidakpastian ekonomi global terus membayangi perekonomian dunia, memberikan dampak yang signifikan terhadap sektor keuangan, termasuk perbankan syariah di Indonesia. Faktor utama yang memengaruhi kondisi ini adalah perlambatan ekonomi di negara-negara besar, kebijakan proteksionis Amerika Serikat, serta gejolak geopolitik yang berkontribusi terhadap fluktuasi harga komoditas dan pelemahan daya beli masyarakat.

Data dari The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi China diproyeksikan hanya mencapai 4,6 persen pada 2025, turun dari 5,2 persen pada 2023. Perlambatan ini disebabkan oleh lemahnya konsumsi domestik, krisis properti, dan meningkatnya hambatan perdagangan akibat tarif impor AS terhadap barang-barang China.

Kebijakan proteksionis AS, yang semakin diperketat di bawah pemerintahan Trump, diperkirakan akan semakin meningkatkan tarif impor terhadap produk China, yang pada akhirnya melemahkan permintaan global dan memperburuk ketidakpastian di pasar keuangan dunia.

Selain perlambatan ekonomi China, proteksionisme yang semakin kuat di AS juga berpengaruh terhadap arus perdagangan global. IMF dalam laporan Januari 2025 mencatat bahwa tarif impor AS terhadap produk dari Kanada dan Meksiko telah dinaikkan sebesar 25 persen, sementara tarif untuk produk China naik 10 persen. Dampak dari kebijakan ini adalah meningkatnya inflasi di AS, yang pada Januari 2025 tercatat sebesar 7,22 persen, serta tekanan pada nilai tukar negara berkembang akibat keluarnya modal asing dari pasar negara berkembang. Indonesia, sebagai salah satu negara yang sangat bergantung pada ekspor ke China dan AS, ikut terdampak oleh kebijakan ini. Ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah dan produk industri ke China membuat perlambatan ekonomi di negara tersebut berdampak langsung pada sektor manufaktur dan perdagangan Indonesia.

Kondisi ekonomi global yang tidak menentu turut berdampak pada perekonomian Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2024 hanya mencapai 4,95 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Sektor industri pengolahan yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,72 persen, sementara sektor perdagangan tumbuh 5,89 persen, konstruksi 4,82 persen, dan pertambangan hanya 3,46 persen. Sementara itu, sektor pertanian mencatat pertumbuhan paling lambat, yakni 1,69 persen. Pelemahan ekonomi ini diperburuk oleh peningkatan impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor. Data BPS menunjukkan bahwa pada triwulan III 2024, impor tumbuh sebesar 11,47 persen, sementara ekspor hanya meningkat 9,09 persen, yang menunjukkan adanya tekanan terhadap neraca perdagangan Indonesia.

Selain itu, penurunan daya beli masyarakat menjadi tantangan serius bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Inflasi pada Januari 2025 tercatat sebesar 0,76 persen (yoy), yang menunjukkan adanya tekanan harga yang relatif rendah, tetapi juga mencerminkan lemahnya permintaan domestik. Data BPS juga menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia mengalami penurunan dari 21,45 persen pada 2019 menjadi 17,13 persen pada 2024, yang berarti sekitar 9,48 juta orang mengalami penurunan status ekonomi. Kondisi ini menyebabkan pola konsumsi masyarakat menjadi semakin defensif, dengan fokus utama pada kebutuhan dasar seperti makanan (27,4 persen dari total pengeluaran rumah tangga), rumah tangga (23,0 persen), dan kesehatan (8,6 persen), sementara pengeluaran untuk hiburan, fashion, dan perjalanan mengalami penurunan.

Dalam sektor keuangan, pelemahan daya beli dan ketidakpastian ekonomi telah menyebabkan peningkatan risiko kredit bermasalah. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa rasio Non-Performing Loan (NPL) bruto meningkat menjadi 2,19 persen pada 2024, yang mencerminkan peningkatan kredit bermasalah akibat ketidakmampuan debitur dalam membayar cicilan. Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) mengalami perlambatan, menunjukkan bahwa masyarakat lebih memilih menggunakan dananya untuk kebutuhan konsumsi dibandingkan menyimpannya di bank. Tekanan ekonomi ini juga berimbas pada perbankan syariah, yang harus menghadapi tantangan dalam menjaga likuiditas dan mengelola risiko pembiayaan.

Di tengah tantangan yang dihadapi, perbankan syariah masih memiliki peluang besar untuk berkembang dengan strategi yang tepat. Salah satu peluang utama adalah mendorong pembiayaan untuk sektor-sektor yang masih memiliki potensi pertumbuhan tinggi, seperti UMKM berbasis digital, industri halal, serta sektor kesehatan dan pendidikan. Digitalisasi perbankan syariah juga menjadi solusi penting dalam meningkatkan efisiensi operasional dan menjangkau lebih banyak nasabah. Dengan semakin berkembangnya fintech syariah, bank syariah dapat memperluas akses pembiayaan bagi masyarakat yang belum terjangkau layanan perbankan formal.

Selain itu, perbankan syariah dapat memainkan peran penting dalam mendukung investasi produktif di Indonesia. Data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menunjukkan bahwa porsi investasi terhadap PDB Indonesia pada 2023 mencapai 30,5 persen, lebih tinggi dibandingkan Malaysia (22,5 persen) dan Thailand (30,0 persen), tetapi masih lebih rendah dibandingkan Vietnam (33,0 persen) dan India (33,0 persen). Namun, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia tercatat sebesar 6,5, lebih tinggi dibandingkan India (4,5) dan Malaysia (4,7), yang menunjukkan bahwa efisiensi investasi di Indonesia masih rendah. Perbankan syariah dapat berkontribusi dalam meningkatkan efisiensi investasi ini dengan menawarkan pembiayaan berbasis bagi hasil yang lebih fleksibel, seperti skema musyarakah (kemitraan) dan mudharabah (bagi hasil), yang lebih cocok untuk sektor inovatif dan berisiko tinggi seperti startup teknologi dan industri berbasis digital.

Dalam menghadapi tantangan global dan domestik, perbankan syariah perlu melakukan beberapa langkah strategis untuk tetap bertahan dan berkembang. Pertama, perbankan syariah harus lebih agresif dalam mendukung digitalisasi sektor keuangan, baik melalui pengembangan layanan mobile banking berbasis syariah, pemanfaatan AI dan big data untuk analisis risiko, serta integrasi dengan fintech syariah untuk memperluas akses pembiayaan bagi UMKM dan individu. Kedua, perbankan syariah perlu menawarkan produk keuangan yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat ini, seperti tabungan syariah dengan imbal hasil kompetitif, pembiayaan mikro untuk sektor-sektor yang masih bertumbuh, serta program restrukturisasi pembiayaan bagi nasabah yang terdampak pelemahan ekonomi. Ketiga, perbankan syariah harus lebih aktif dalam mendukung investasi berbasis syariah, seperti sukuk berbasis proyek untuk infrastruktur industri halal, dana wakaf produktif untuk sektor sosial, serta pembiayaan syariah untuk ekspansi pasar ekspor.

Dengan strategi yang inovatif dan berbasis keberlanjutan, perbankan syariah dapat memainkan peran utama dalam menjaga stabilitas keuangan nasional, meningkatkan daya saing industri halal, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan domestik, perbankan syariah harus mampu beradaptasi dengan perubahan tren ekonomi dan kebutuhan masyarakat, agar dapat terus berkembang sebagai pilar utama sistem keuangan Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement