REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy
Twitter: @sammy_republika
Sulit untuk membantah anggapan bahwa di pemerintahan Jokowi saat ini tarik menarik kepentingan kerap terjadi. Dari pemilihan menteri saja, aroma itu sudah terasa.
Semua tak terlepas dilibatkannya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menscreening menteri. Walhasil, banyak nama yang diajukan partai politik praktis tercoret. Saat itu ada yang mengatakan, melibatkan KPK adalah cara cerdas Jokowi untuk menolak masuknya calon menteri titipan parpol.
Di sisi lain, menjelang detik pengumuman menteri, muncul cerita lain yang menarik untuk dicermati. Nama Maruarar Sirait yang sudah dipanggil ke Istana dan dibagikan 'kostum' kemeja putih menteri, malah dicoret di detik terakhir. Secara logika, mustahil bila pencoretan itu dilakukan murni inisiatif Istana.
Terlalu kejam rasanya jika Istana membagikan baju calon menteri, tapi selang jam, orang yang dibagikan itu malah dicoret. Bisa jadi ada Istana lain di luar Jalan Merdeka yang memengaruhi keputusan itu.
Banyak yang menilai Istana sesungguhnya berada di Jalan Teuku Umar. Memang, sejak awal pencalonannya sebagai presiden banyak yang menilai Jokowi tak bisa lepas dari bayang-bayang ketua umum parpol pengusungnya, terutama PDI Perjuangan.
Semua ini tak terlepas pidato saat penetapan Jokowi menjadi capres PDIP, pada Mei 2014. Berikut petikan pidato sang ketua umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, "Pak Jokowi sampeyan tak jadikan capres, tapi Anda adalah petugas partai yang harus menjalankan tugas partai."
Usai pidato itu, lawan politik Jokowi, seperti Fahri Hamzah, langsung melabeli Jokowi sebagai presiden boneka yang dikendalikan pihak lain. Namun benarkah Jokowi sepolos itu dan mudah dikendalikan pihak tertentu?
Bukti bahwa Jokowi secara terbuka melibatkan KPK saat penetapan menteri juga bisa menjawab segalanya. Padahal, dia sejatinya bisa meminta rekomendasi tertutup ke KPK.
Jokowi malah memilih mengumumkan secara terbuka ke publik bahwa delapan calon menterinya distabilo KPK. Dengan membuka luas informasi itu ke publik, Jokowi praktis menutup ruang bagi pihak yang kecewa untuk melakukan perlawanan. Siapa yang melawan, berarti dia korupsi. Sederhananya itu.
Walhasil, Jokowi jadi punya kartu truf untuk menolak tekanan pihak manapun. Jika sekenario itu benar, maka Jokowi secara cerdas mampu melakukan perlawanan secara halus.
Lantas bagaimana dengan pemilihan Jaksa Agung atau Kapolri? Mengapa pula Jokowi menjilat ludahnya dengan tidak melibatkan KPK?
Jawabannya bisa dua. Pertama Jokowi memang menerapkan standar ganda. Yang kedua, kekuatan yang hendak mengontrol pemerintahan sudah belajar dari kasus pemilihan menteri. Itu berarti ada tekanan ke Istana Merdeka untuk tak lagi melibatkan KPK.
Walhasil, prosedur pemilihan Jaksa Agung dan Kapolri jadi terutup. Yang terbaca jelas ke publik, pemilihan Jaksa Agung diawali kedatangan Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh ke Istana. Kali ini yang didatangi Paloh bukan Istana Teuku Umar, melainkan Istana Merdeka.
Sehari setelah kunjungan Paloh, politikus Nadsem, HM Prasetyo, dipilih jadi Jaksa Agung Republik Indonesia. Praktis, penunjukan Jaksa Agung ini mengundang kritik keras pada Jokowi.
Tapi tak seperti biasanya, Jokowi memilih enggan banyak bicara. Pun halnya saat pemilihan Kapolri. Tanpa banyak gembar-gembor, nama Budi Gunawan (BG) diajukan Istana ke DPR. Di tengah kesunyian itu, surat pencalonan Budi yang bersifat rahasia tersebar luas. Pertanyaannya, siapa yang membocorkan surat rahasia itu?
Jawabannya cuma mengerucut ke dua pihak. Pertama dari DPR selaku tujuan surat itu dikirim. Kedua adalah justru dibocorkan sendiri dari Istana yang membuat surat.
Yang jelas, konsekuensi dari tersebarnya surat itu adalah publik, termasuk KPK, langsung mengetahui nama calon Kapolri. Di sisi lain, salah satu aktivis media sosial yang dikenal sebagai relawan Jokowi langsung bernyanyi bahwa Jokowi dipaksa mengajukan Kapolri oleh Istana di Teuku Umar.
Di tengah kontroversi itu, kejutan baru muncul. KPK langsung menetapkan tersangka pada sang calon Kapolri. Penetapan hanya dilakukan sehari sebelum proses uji kelaikan dan kepatutan calon Kapolri di DPR.
Bersamaan dengan penetapan tersangka itu, KPK mengakui bahwa dari delapan calon menteri yang sempat diakui Jokowi distabilo, ada nama BG. Pertanyaan KPK itu sontak itu mengundang pertanyaan baru. Apakah masuk akal Jokowi memilih sendiri calon kapolri yang pernah dia tolak menjadi menteri?
Rangkaian ini pada akhirnya mengerucut pada satu jalan yang muaranya bisa membuat Jokowi membatalkan pengajuan BG sebagai kapolri. Kalau benar pernyataan relawan Jokowi soal adanya paksaan, maka Istana Merdeka kini punya kesempatan menegakkan kembali marwahnya. Sebab Istana Negara cuma satu dan itu ada di Jalan Medan Merdeka, bukan Teuku Umar.