Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Sejarah peradaban manusia kembali tercoreng. Kali ini Myanmar yang membuat coretan tinta hitam di tengah kemajuan dan modernisasi kehidupan manusia.
Myanmar seolah menjadi negara yang kembali pada kehidupan primitif. Mereka seperti tak mengenal adab dan harmoni dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan tanpa kompromi, junta militer Myanmar tak mengakui keberadaan warganya di sana. Desain pengingkaran atas etnis Rohingya bermula dengan adanya Undang-Undang Kewarganegaraan di Myanmar (dulu Burma) tahun 1982. UU itu tak mencantumkan Rohingya sebagai salah satu etnis di Myanmar.
Pemerintah menjarah seluruh dokumen hukum dan kependudukan etnis Rohingya. Warga Rohingya yang tinggal di Rakhine ini dianggap sebagai imigran Bengali (Bangladesh dan India) yang ilegal.
Padahal, etnis Rohingya yang warganya memeluk Islam sudah ada di Myanmar sejak abad ke-8 Masehi. Etnis ini lalu beranak pinak dan kawin-mawin dengan ras Arab, Persia, Bengali, dan Mughal. Jadilah mereka sebagai etnis Rohingya seperti yang ada selama ini.
Kala pemerintah kolonial Inggris di Myanmar mengadakan sensus pada tahun 1826, 1872, 1911, dan 1941, keberadaan etnis Rohingya diakui. Bahkan Inggris menganggap etnis Rohingya yang tinggal di Arakan (kini Rakhine) sebagai salah satu ras asli Myanmar.
Sensus kependudukan yang dilakukan Myanmar pada 2014 dan diumumkan 2015 lalu, jelas-jelas tak melibatkan etnis Rohingya. Ancaman para aktivis Budha yang menjanjikan bakal terjadi kerusuhan jika etnis Rohingya disertakan dalam sensus penduduk, rupanya dipenuhi pemerintahan junta militer. Jadilah etnis Rohingya tak terdata dan dihapuskan kewarganegaraannya di Myanmar.
Upaya melenyapkan keberadaan etnis Rohingya mencapai puncaknya tatkala terjadi kerusuhan di Rakhine pada 2012. Berawal dari terbunuhnya 10 warga Muslim non-Rohingya oleh kaum Buddha di sana, kerusuhan lalu meluas.
Pembumihangusan atas permukiman warga Rohingya pun terjadi. Ratusan etnis Rohingya tewas akibat bentrokan tak seimbang itu.
Dari sekitar 1,1 juta populasi etnis Rohingya, tak kurang 140.000 di antaranya kocar-kacir dan menjadi pengungsi hingga kini di pelbagai penampungan di Myanmar. Puluhan ribu warga lainnya memilih untuk melintasi wilayah negaranya dan untuk sementara tinggal di beberapa negeri tetangga.
Di Aceh ada ribuan etnis Rohingya yang menetap. Mereka ditampung di Langsa, Aceh Utara, dan Langkat (Sumut). Meski rakyat Aceh telah bahu-membahu dan menyingsingkan lengan baju untuk membantu etnis Rohingya, peran pemerintah tetap amat dibutuhkan.
Saya tak habis pikir dengan kebencian mendalam hingga ke dasar hati yang dimiliki oleh pemeluk agama Budha di Myanmar. Bahkan seorang biksu (pemuka agama Budha) Myanmar, Ashin Wirathu, secara terus terang menunjukkan sikap anti-Islam. Begitu tinggi kesumatnya untuk mengusir etnis Rohingya dari negaranya.
Biksu biadab ini tidak senang dengan kitab suci Alquran. Ia pun telah membaca isi Alquran. ”Terus terang, saya tidak menemukan sesuatu yang saya suka,” ujarnya pada Los Angeles Times.
Ashin Wirathu berkeyakinan, bahwa komunitas Islam di negaranya punya sebuah master plan untuk mengubah Myanmar, negeri mayoritas pemeluk Buddha, menjadi penganut Islam. Sebuah tudingan yang sama sekali tak berdasar.
Bagaimana mungkin 1,1 juta etnis Rohingya akan mampu menghadapi warga Myanmar yang seluruhnya mencapai 51,4 juta? Apalagi sama sekali tak ada pasokan senjata untuk etnis Rohingya dari wilayah mana pun.
Biarawan 46 tahun mengklaim Muslim Myanmar sedang merencanakan 'jihad' melawan mayoritas Buddha. Ia memperingatkan sebagian besar pengikutnya untuk tidak bercampur dengan mereka.
Bak seorang provokator, Ashin mengajarkan ilmu kebencian pada pengikutnya. ”Kamu bisa saja penuh cinta dan kebaikan, tapi kamu tidak akan bisa tidur tenang di sebelah anjing gila (Muslim),” papar Ashin.
Seruan tokoh spiritual Tibet, Dalai Lama, yang juga pemeluk Budha sama sekali tak diindahkan. Gerakan anti-Islam di Myanmar dianggap Dalai Lama telah melenceng dari ajaran Budha yang mengharuskan hidup damai dan berdampingan dengan pemeluk agama lain.
Tak hanya Ashin, pemenang Nobel Perdamaian 1991, Aung San Suu Kyi pun tak berdaya. Ia mengangkat tangan alias menyerah atas upaya penyelesaian kasus etnis Rohingya. Usulan dia untuk lebih dulu melakukan amandemen konstitusi Myanmar sebelum menangani kasus Rohingya sama sekali tak menunjukkan kelasnya sebagai penerima Nobel Perdamaian. Perdamaian ala Suu Kyi barangkali hanya berlaku untuk komunitas umat Buddha dan tak berlaku universal.
Saatnya pemerintah Indonesia bertindak. Sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, Indonesia harus mengambil peran sentral dalam tragedi kemanusiaan ini. Pemerintah perlu mendesak ASEAN untuk ikut ‘mengancam’ Myanmar agar bersikap sebagaimana layaknya manusia beradab dalam mengatasi persoalan etnis Rohingya.
Pemerintah Indonesia juga perlu mendesak Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk mengambil prakarsa dalam pengembalian etnis Rohingya ke tanah kelahirannya. Tak bisa kondisi ini dibiarkan terus-menerus. Desakan ASEAN dan OKI tentu akan memberi pengaruh pada sikap Myanmar.
Aneh juga rasanya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tak menampakkan tajinya dalam kasus kemanusiaan ini. Jelas-jelas pemerintah Myanmar ingin mengusir dan membasmi etnis Rohingya dalam sejarah kenegaraannya, mengapa pula PBB hanya menunggu penanganan yang dilakukan negara tetangga Myanmar?
Apa karena ini menyangkut komunitas Muslim sehingga PBB abai terhadap tugas utamanya untuk menjamin perdamaian dunia? PBB harus mampu memaksa Myanmar untuk bersikap adil terhadap warga negaranya.
PBB harus menuntut tanggung jawab pemimpin junta militer Myanmar, Than Shwe. Beri batas waktu Myanmar untuk segera menyelesaikan masalah ini. Jika Myanmar tetap tak peduli dan bersikap kepala batu, pengucilan negeri ini dari pergaulan dunia layak menjadi pertimbangan.