Jumat 03 Jul 2015 09:10 WIB

LGBT

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Gema keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat itu memancar hingga ke mana-mana. Suara dukungan tentu saja banyak muncul di negara adidaya itu.

Sambutan dengan nada gembira juga datang dari beberapa negara di benua Eropa. Mereka turun ke jalan dengan membawa warna pelangi, sebagai lambang untuk menghargai warna-warni dalam kehidupan ini.

Pada tangal 26 Juni lalu, Mahkamah Agung di AS telah mengakui pernikahan sejenis (kelamin). Ini artinya, seluruh negara bagian di sana wajib memberi pengakuan pada pasangan satu jenis kelamin yang melakukan pernikahan. Selama ini, hanya 30 negara bagian AS yang mengizinkan pernikahan sejenis atau dikenal dengan sebutan LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).

Keputusan ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia. Bagi negara yang menganut paham serupa, bukan tak mungkin langkah AS ini akan segera mereka ikuti. Faktanya, di beberapa negara Eropa sudah ada yang lebih dulu memberikan pengakuan atas pernikahan sejenis.

Saya yakin, ada kelompok kecil masyarakat Indonesia --sebagai penganut perilaku LGBT-- yang ikut merasakan kebahagiaan ini. Mereka tentu berharap, angin kegembiraan dari AS itu bisa berembus ke sini dan menjadi sebuah keputusan resmi sebagai bentuk pengakuan pernikahan sejenis dari pemerintah.

Di balik itu, hampir  mayoritas rakyat negeri ini tak sependapat dengan legalilitas pernikahan sejenis. Pernikahan sejenis dianggap sebagai bentuk penyimpangan terhadap norma susila dan agama.

Mari kita tengok sejenak pendapat beberapa agama yang ada di Indonesia atas pernikahan sejenis itu. Dalam pandangan Buddha, pernikahan sejenis merupakan halangan untuk mencapai kesucian. Bahkan homoseksual dianggap sebagai salah satu faktor penyebab penurunan moral di masyarakat. Padahal, untuk mencapai kesucian itu diperlukan landasan moral yang baik.

Menurut ideologi Kristen (Protestan), tujuan utama pernikahan adalah untuk melestarikan kehidupan atau keturunan. Ini hanya bisa dicapai bila mereka yang menikah berlainan jenis kelamin.

Agama Katholik pun memiliki paham yang sama. Dalam suatu ikatan pernikahan hanya bisa dilakukan oleh pria dan wanita atau laki-laki dan perempuan. Para pemeluk agama ini juga menganggap perilaku homoseksual itu sebagai bentuk penyimpangan.

Penolakan atas pernikahan sejenis juga dianut oleh agama Hindu. Agama ini jelas-jelas melarang pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berjenis kelamin sama.

Tak beda dengan empat agama itu, Konghucu pun memililki pemahaman yang sama. Pemeluk Konghucu memilliki prinsip, bahwa pernikahan itu terjadi antara laki-laki dan wanita.

Bagaimana dengan Islam? Hampir semua masyarakat mengetahui, bahwa Islam juga menolak dengan keras pernikahan sejenis. Larangan pernikahan sejenis secara tegas tertera dalam surat Al-A’raaf (7), ayat 80-84 di bawah ini.

"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya (yang beriman) kecuali istrinya (istri Nabi Luth); dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu."

Pasal 1 huruf a dalam Kompilasi Hukum Islam pun dengan jelas menyebutkan, bahwa perjodohan itu terjadi antara laki-laki dan wanita. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan (Nomor 1 Tahun 1974) secara tegas juga menyatakan, perkawinan itu merupakan ikatan lahir-batin antara laki-laki dan wanita sebagai suami-istri untuk membentuk keluarga bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ini diperkuat oleh UU Administrasi Kependudukan No 23 tahun 2006 pada penjelasan pasal 34 ayat (1). Inti penjelasan itu menyebutkan, bahwa perkawinan adalah ikatan antara laki-laki dan wanita dalam membentuk rumah tangga.

Mayoritas para penganut LGBT tak mengindahkan dalil agama itu. Semula mereka ngotot berpendapat agar dunia mengakui pernikahan sejenis karena itu merupakan kodrat (selain sebagai hak asasi). Umumnya mereka mengaku, perilaku sebagai LGBT adalah anugerah Tuhan dan karenanya manusia tak bisa menolak.

Adalah peneliti dari Jerman, Magnus Hirschled, yang pada tahun 1899 mengutarakan pendapat, bahwa perilaku gay merupakan keturunan. Hirscheld mengajukan temuan ‘teori gen’ sebagai dalil dalam perilaku homoseksual.

Teori mengada-ngada dari Hirscheld itu diteliti lebih lanjut oleh Dr Michael Bailey dan Dr Richard Pillard pada 1991. Belum ada simpulan soal kepastian faktor keturunan atau genetis dalam perilaku gay.  

Penelitian itu lalu diteruskan oleh Dean hamer yang juga seorang gay terhadap 40 pasangan kakak-beradik homoseksual. Dia menemukan adanya dari perilaku homoseksual yang diturunkan oleh ibu dari kromosom Xq28. Temuan ini baru bersifat hipotesis lantaran tak ada bukti yang bisa menjelaskan secara riil.

Prof George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada mendalami tesis itu dengan meneliti 52 pasangan kakak-beradik homoseksual. Sampailah dia pada simpulan, tak ditemukannya kaitan kromosom Xq28 yang mendasari perilaku homoseksual.  

Riset serupa dilakukan oleh Prof Alan Sanders dari Universitas Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1998-1999. Hasil temuan Sanders juga tidak mendukung teori yang menjelaskan adanya hubungan genetik pada perilaku homoseksual. Penelitian Rice dan Sanders itu pada akhirnya meruntuhkan temuan teori “gen gay” oleh Hirscheld.

Dengan demikian, lengkap sudah, dalil agama maupun ilmiah ternyata tak bisa menerima dan menjelaskan perilaku LGBT. Tak ada landasan sama sekali untuk mengakui hal itu.

Dalam konteks keindonesiaan, kita memang mengakui negara kita bukanlah negara agama. Akan tetapi, pandangan agama selalu menjadi pijakan dalam setiap kita melangkah, sesuai dengan bunyi sila pertama dari Pancasila. Oleh sebab itu, rujukan agama harus menjadi dasar dari keputusan pemerintah untuk menolak dan tak menngakui pernikahan sejenis di negara kita.    

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement