Rabu 29 Jul 2015 05:50 WIB

12 Tahun Berlalu, Pelayanan Pelni Masih Amburadul

 Arus mudik kapal laut. (ilustrasi)
Foto: Antara/Untung Setiawan
Arus mudik kapal laut. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Nur Aminah

Mudik Lebaran tahun ini, pilihan saya jatuh pada moda transportasi laut yaitu menumpang kapal Pelni. Rasanya ingin bernostalgia kembali dengan kapal-kapal Pelni yang puluhan tahun lalu cukup saya akrabi. Saya ingat, terakhir kali menggunakan kapal Pelni saat putri sulung saya berusia satu tahun. Kini, usianya menginjak 13 tahun.

Saya berharap, masa 12 tahun berlalu, pastilah ada banyak perubahan di atas armada Pelni. Karena itu, saya tak menolak keinginan putri saya saat meminta agar mudik kami kali ini menggunakan kapal laut.

Saya memberinya sedikit gambaran, bahwa naik kapal laut dari Jakarta menuju Makassar itu butuh waktu 2x24 jam. Bagi saya, waktu yang terbuang sangat banyak jika dibandingkan naik pesawat yang hanya sekitar dua jam.

Dari segi biaya, harga tiket kapal Pelni dengan pesawat, jatuhnya juga hampir sama, apalagi jika mengambil tiket kelas. Untuk kelas 1, harga tiket sudah di atas Rp 1 juta. Kelas 2, sekitar Rp 800-an dan kelas 3 sekitar Rp 700-an.

Tadinya, saya memutuskan mencari tiket kelas 2 atau 3. Namun ternyata ada perubahan baru di tubuh Pelni. Tiket kelas, kini dihilangkan dan semuanya sama rata menjadi kelas ekonomi. Harga tiket untuk rute Jakarta-Makassar Rp 480 ribuan.

Pelni kini hanya menyisakan dua kapalnya yang menggunakan kelas, yakni KM Tidar untuk pelayaran ke Indonesia Timur, dan KM Kelud yang melayani rute pelayaran ke wilayah Sumatra.

Karena jadwal kapal yang sesuai mengharuskan saya menumpang KM Sinabung, artinya, saya harus melupakan tiket kelas. Saya harus melupakan satu kamar yang hanya empat atau enam orang saja, kamar mandi yang lebih bersih, dan panggilan ke restoran saat waktu makan tiba. Karena hanya itulah yang membedakan antara penumpang ekonomi dan kelas saat berada di atas kapal.

Namun penjelasan dari Humas Pelni, bahwa kondisi kapal Pelni dulu dan sekarang sudah berbeda, sedikit melegakan saya saat akan memesan tiket ekonomi. Menurutnya, kini penumpang sudah menempati sheet sesuai dengan yang tertera di tiket. Nah, bayangan saya, perubahannya pasti sudah seperti naik kereta api saat ini.

Namun saya kaget saat hari H keberangkatan. Kapalnya datang telat, karena di jadwal kapal harusnya berangkat pukul 19.00 WIB, namun kapal baru merapat ke pelabuhan Tanjung Priok pada jam itu. Penumpang pun baru naik ke kapal pukul 20.00 WIB. Dan hari itu, KM Sinabung berangkat sangat molor yakni pukul 03.00 WIB. Perjalanan Jakarta-Makassar yang biasanya ditempuh dua hari pun bertambah menjadi tiga hari.

Kagetnya lagi, suasana rebutan naik ke kapal tetap saja terjadi. Padahal, kalau memang sheet yang disediakan sudah jelas, buat apa saling berebut?

Karena dibantu porter pelabuhan untuk mengangkat barang-barang saya, akhirnya, saya ikut dalam aliran lautan manusia yang meringsek naik ke kapal. Tiba di atas kapal, saya kembali kaget melihat kondisi pelataran, tangga, hingga lorong-lorong di dek lima dan enam sudah dipenuhi manusia.

Waduh, bayangan saya jauh panggang dari api. Di luar bayangan semua. Saya kembali terkenang dengan pelayaran perdana saat masih seusia putri sulung saya. Lalu pelayaran 12 tahun silam juga masih sama. Tiket bertuliskan shett 6008 A ternyata ilusi saja.

Saya berusaha mencari tahu informasi di mana sheet saya berada. Namun jawaban yang saya dapat, ternyata tepat H-7 Lebaran hari itu, Pelni membuat kebijakan penambahan penumpang nonsheet sebanyak 30 persen. Oh lala… berarti ini biangnya!

Lantas tiket yang saya pesan di awal Ramadhan itu, menjadi tak berguna karena penumpang nonsheet yang naik duluan mulai dari Pelabuhan Batam sudah menempati tempat-tempat yang ada. Ribuan penumpang dengan sheet yang jelas pun harus bersaing dengan penumpang nonsheet. Hukum rimba pun seolah berlaku, siapa cepat dia yang dapat.

Buyar sudah bayangan saya tentang kenyaman mudik dengan kapal Pelni meski di kelas ekonomi. Saya pun menyaksikan masih banyak penumpang yang duduk di bagian-bagian yang tak aman untuk penumpang. Mungkin saking penuhnya, mereka nekat menggelar tikar di daerah bahaya, seperti di bawah tempat sekoci. Kapal oleng sedikit, risikonya mereka bisa menggelinding langsung ke tengah laut. Pegawasan dari petugas pengamanan di kapal pun tak terlihat.

Saya hanya menemukan sedikit kenyamanan yang dulu tak ada. Kamar mandi kini relatif sudah lebih bersih dengan air yang cukup lancar. Di atas kapal pun, kini ada mini market yang menyediakan berbagai keperluan, meski memang dengan harga dua kali lipat.

Mushala dan mini teater, kondisinya tak banyak berubah. Matras untuk tidur yang disediakan pun sudah banyak yang berlubang-lubang. Bedanya, dulu matras tersebut dipersewakan. Kini, semuanya sudah digratiskan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement