Oleh: M Akbar Wijaya
Redaktur Republika
Bukan perkara mudah bagi saya dan kawan-kawan menemukan kediaman mantan Penasihat KPK Abdullah Hehamahua. Kami harus menghentikan laju kendaraan beberapa kali untuk menanyakan alamat yang dia dikirimkan melalui pesan singkat. Pepatah “malu bertanya sesat di jalan” sungguh menjadi pegangan kami di pagi itu.
Rumah Abdullah memang tidak lazim. Setidaknya untuk ukuran mayoritas pejabat negara di republik ini. Lokasinya di pinggiran ibu kota Jakarta. Tepatnya di Kampung Rawadenok, Depok. Kita harus melalui banyak belokan dan gang penuh cabang untuk sampai tujuan.
Bentuk bangunannya pun sederhana, sama seperti kebanyakan rumah yang ada di perkampungan Jakarta. Tapi ia tampak bahagia. Dia justru punya banyak kelakar mengenai rumah sederhana yang dia tinggali sejak 2005 ini.
“Kalau wartawan yang militansinya cuma C saja tidak (akan) dapat berita (wawancara). Hahaha,” canda Abdullah akhir awal Oktober lalu.
Cerita tentang tamu yang kesasar sudah menjadi hal lumrah bagi Abdullah. Bahkan dia sendiri pernah mengalaminya. Suatu malam, sekira tiga hari setelah menempati rumahnya sekarang, ia pernah kebingungan mencari jalan pulang. Dia gagal menemukan rumah yang dibeli dari hasil tabungan istri dan cicilan selama setahun ini. Akhirnya Abdullah memberanikan diri bertanya.
“Pak rumah nomor ini di mana ya?” kata Pak Abdullah.
“Rumahnya siapa ya?”
“Rumah saya pak,” jawab Abdullah.
Jawaban polos Abdullah sontak menuai tawa dari orang yang ditanya. Barangkali baru kali ini dia menemukan orang kebingungan mencari alamat rumah tinggalnya sendiri. “Jadi jangan kan tamu. Saya sendiri saja waktu kali pertama sempat nyasar. Hahaha,” kata mantan Ketua Umum PB HMI 1979-1981 ini.
Luas bangunan rumah Abdullah sekitar 100 meter persegi. Tapi keseluruhan luas tanahnya mencapai 300 meter persegi. Dia menanami tanah kosongnya dengan aneka buah-buahan seperti rambutan, mangga, sawo, dan durian.
Abdullah bilang dia membeli rumah dan tanahnya secara bertahap dan mencicil. Pertama-tama rumah seharga Rp 45 juta itu dibayar dengan uang muka Rp 20 juta. Uang ini berasal dari hasil tabungan diam-diam sang istri selama tinggal mengontrak di bilangan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. “Kemudian berangsur-angsur saya nyicil sampai beberapa tahun lunas,” kenang Pak Abdullah.
Selanjutnya, tambahan tanah seluas 200 meter juga dibeli Pak Abdullah dengan mencicil. Ketika itu dia mengaku khawatir jika tanah yang ada di belakang rumahnya dibangun rumah baru oleh pemiliknya. Sebab tanah itu merupakan satu-satunya jalan untuk memasukan mobil.
“Jadi kalau orang lihat, penasihat KPK kok tanahnya luas banget? Padahal itu kan nyicil sampai tiga tahun,” kata Wakil Ketua Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (PKPN) 2001-2004 ini.
Status sebagai pejabat negara tidak lantas membuat Pak Abdullah hidup petantang-petenteng di tengah masyarakat. Berbagai acara dia datangi tanpa sopir pribadi. Bapak empat anak ini juga tidak segan berbaur dengan warga kampung untuk mengikuti kerja bakti.
Bahkan warga kampung baru mengetahui bahwa Abdullah Penasihat KPK setelah kasus Cicak Vs Buaya (KPK Vs Polri) meledak di media Juli 2009. Ketika itu jabatannya sebagai Ketua Komite Etik KPK membuat dia sering tampil di televisi.
“Saya beberapa tahun tinggal di sini orang tidak tahu bahwa saya orang KPK. Sengaja karena memang kode etiknya begitu,” ujar Abdullah.
Soal kode etik jabatan memang dipegang teguh lelaki kelahiran Ambon 66 tahun silam ini. Dia tidak mau menggunakan fasilitas mobil negara untuk urusan pribadi. Dia juga tidak pernah mau makan, minum, apalagi menerima bayaran atau bingkisan dari setiap acara yang dihadirinya. Menurut Abdullah, negara sudah menanggung segala biaya pekerjaannya.
Pada 2013 Abdullah memutuskan berhenti menjadi Penasihat KPK. Padahal para pimpinan KPK masih menghendaki dirinya bergabung di komisi anti-rasuah itu. Abdullah mengaku ingin berkonsentrasi menyelesaikan disertasinya. Dia juga yakin sistem, desain organisasi, dan kode etik di KPK telah terbangun dan bisa berjalan sendiri. “Ganti orang tidak masalah. Saya mau refreshing,” kata Abdullah santai.
Melihat cara dan prinsip hidup Abdullah, saya jadi membayangkan berapa triliun uang negara yang bisa dihemat jika seluruh pejabat mencontohnya. Saya juga mendadak rindu dengan sosok pejabat yang berani menolak menikmati apa yang bukan haknya.
Sungguh ada harapan di dalam diri saya ketika bertemu dan bersilahturahim ke rumahnya. Sebuah harapan dari saya bahwa tak semua elite di negeri ini gemar hidup berfoya-foya ketika sudah bersandar pada kekuasaan.
Kesederhaan hidup Abdullah seakan telah memberikan semacam oase di tengah negeri yang mengalami kerontang etika dan hedonisme hidup sebagian besar pejabat. Terimakasih teladanmu, Pak Abdullah!