REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriono/ Wartawan Republika
Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data terbaru. Data untuk September 2015 yang dikeluarkan pada awal Januari ini menyebutkan, jumlah penduduk miskin berkurang.
Penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Batas garis kemiskinan adalah jumlah dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan nonmakanan (GKNM).
Pemerintah pada 2014 menetapkan, penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pendapatan perkapita Rp 312.328 (atau lebih rendah) per bulan. Adapun penduduk miskin dari sisi asupan/makanan adalah mereka yang kebutuhan gizinya di bawah 2.100 kalori perkapita per hari.
Dari data BPS, penduduk miskin Indonesia saat September lalu mencapai 28,51 juta orang (11,13 persen). Ini berarti ada pengurangan jumlah penduduk miskin sebesar 0,08 juta orang (sekitar 80 rubu jiwa) dibandingkan dengan kondisi saat pengumuman hasil sensus pada Maret 2015 yang jumlahnya sebesar 28,59 juta orang (11,22 persen).
Bukan soal penurunan jumlah penduduk miskin yang menarik untuk disoroti. Ini karena jumlah penurunan itu tak seberapa besarnya. Apalagi itu juga sama sekali tak menunjukkan kualitas pemerataan antara penduduk kaya dan miskin.
Satu hal yang mengagetkan adalah cukup besarnya pengaruh konsumsi rokok terhadap tingkat kemiskinan masyarakat. Tentu saja faktor belanja paling besar yang berpengaruh terhadap kondisi kemiskinan masyarakat adalah pangan/beras.
Kontribusi beras terhadap garis kemiskinan warga di perkotaan dan perdesaan masing-masing sebesar 22,10 persen dan 28,74 persen. Artinya, hampir 30 persen pendapatan masyarakat bawah hanya untuk konsumsi nasi, tak termasuk asupan makanan lainnya.
Selain itu, urutan kedua tingkat belanja masyarakat miskin adalah mengonsumsi rokok. Di perkotaan, persentasenya belanja rokok masyarakat miskin sebesar 8,08 persen. Sedangkan di perdesaan konsumsi rokok yang dilakukan masyarakat miskin mencapai 7,68 persen.
Belanja rokok masyarakat miskin itu (di perkotaan dan perdesaan) menempati urutan kedua setelah beras.
Tingginya konsumsi rokok membuat kian banyak penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Andai kata penduduk miskin ini tidak merokok, sangat mungkin orang itu bisa memenuhi kebutuhan di atas 2.100 kalori per hari. Jika sudah melewati angka itu, maka kelompok masyarakat ini bisa dianggap keluar dari garis kemiskinan.
Pada awal 1990, dalam sebuah riset ditemukan angka tingkat belanja rokok masyarakat kita mencapai Rp100 triliun. Ini jauh melebihi angka belanja untuk obat-obatan yang hanya sekitar Rp20 triliun. Ketimpangan itu kian melebar jika belanja komoditas rokok dibandingkan dengan buku. Perbandingannya hampir mencapai 1:25.
Saat ini rata-rata belanja rokok setiap orang di Indonesia mencapai kisaran Rp500 ribu per bulan atau Rp6 juta per tahunnya. Angka ini sudah melewati pendapatan perkapita penduduk miskin di negeri kita. Itu sebabnya banyak yang meminta agar cukai rokok dinaikkan lagi dua atau tiga kali lipat. Ini dimaksudkan agar harga rokok semakin tak terjangkau bagi kalangan bawah.
Dalam pelbagai kesempatan pun sudah disampaikan bahaya atau kerugian yang timbul akibat konsumsi rokok. Data-data di banyak lembaga kesehatan menyebutkan, ada 4,1 juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya yang diakibatkan oleh pengaruh atau dampak konsumsi rokok. Ini merupakan angka yang cukup tinggi.
Selain itu, ada lebih dari 25 jenis penyakit yang berkaitan erat dengan kebiasaan merokok seseorang. Sebagian besar berhubunngan dengan organ paru-paru, antara lain berupa penyakit paru obstruksi kronik, kanker paru, dan aneka penyakit karsinogenik lainnya. Biaya pemeriksaan dan pengobatan jenis-jenis penyakit ini juga memerlukan biaya tak sedikit.
Kebiasaan merokok yang dilakukan kelompok masyarakat miskin telah membuat mereka terkungkung dalam siklus kemiskinan struktural. Kemiskinan ini tercipta karena sistem hidup yang mereka pilih dan jalani sehingga membelit gaya hidup mereka.
Aneka temuan di banyak daerah juga menambah panjang penderitaan mereka. Bantuan tunai langsung (BLT) yang diberikan pemerintah pada keluarga miskin, tak jarang digunakan untuk membeli rokok dan bukan kebutuhan pokok lainnya.
Peringatan-peringatan itu tampaknya tak diindahkan para perokok. Sebagian dari mereka beranggapan, soal sehat-sakit atau hidup-mati sudah ada yang mengatur. Manusia sekadar menjalani saja.
Pandangan itu tak sepenuhnya benar. Menjaga kesehatan merupakan bentuk utama bersyukur atas karunia hidup yang diberikan penguasa alam. Pengabaian atas hal ini sekaligus menjadi bukti tidak bisanya menjaga rasa syukur atas nikmat sehat yang diberikan.
Rokok yang jelas-jelas memberikan ancaman mengerikan bagi pemakainya tetap saja dikonsumsi masyarakat. Fatwa yang pernah dikeluarkan sebagian kecil ulama juga tak memiliki pengaruh memadai. Ini karena sebagian besar ulama justru pengguna rokok berkategori kelas berat.
Saya pernah diberi tahu seorang teman yang juga ahli kesehatan. Di mata para ahli kesehatan atau mereka yang 'menggunakan akal', maka rokok sudah masuk wilayah haram. Ini menandakan, orang yang tak menganggap rokok sebagai barang haram adalah mereka yang tak mengutamakan akal dalam menilai kesehatan dirinya.
Seorang teman juga sempat mengutarakan keheranannya soal rokok. Ia tak melihat ada manfaat yang didapat saat seseorang mengisap rokok. Meski rokok itu tidak membuat orang kaya, sehat, kuat, gemuk, dan pintar tetapi toh tetap saja dikonsumsi sebagian besar masyarakat.
Peringatan di iklan-iklan dengan tulisan: merokok itu membunuhmu juga tak mendapat sambutan memadai. Kini temuan, merokok juga memiskinkanmu agaknya akan mengalami nasib sama. Ada baiknya kawasan larangan merkokok juga semakin lama kian diperluas agar wilayah yang menjadi lahan para perokok terus menyusut.