Selasa 13 Sep 2016 08:07 WIB

Menunggu Keberanian Pejabat Ikut Amnesti Pajak

Wartawan Republika, Nur Aini
Foto: Dok. Pribadi
Wartawan Republika, Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Nur Aini

Kebijakan amnesti pajak dirundung masalah. Sejak Undang-Undang Pengampunan Pajak disahkan DPR lewat sidang paripurna pada 28 Juni, ancaman gugatan hingga keresahan masyarakat tingkat bawah datang bergantian. Amnesti pajak juga dibayangi kekhawatiran tidak terpenuhinya target jelang berakhirnya periode pertama amnesti pajak pada 30 September 2016. Hal ini membuat kebijakan amnesti pajak diragukan sampai ke tujuan.

Amnesti pajak yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak mencakup penghapusan pajak yang seharusnya terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana atas harta yang belum dilaporkan dalam SPT. Amnesti pajak diberikan dengan ketentuan pembayaran tarif tebusan sebesar dua persen pada periode I yang berakhir pada 30 September 2016, tiga persen untuk periode kedua hingga 31 Desember 2016, dan lima persen untuk periode ketiga hingga 31 Maret 2017. Aturan periodesasi ini tidak berlaku bagi UMKM.

Namun, sebelum kebijakan ini resmi berlaku mulai  18 Juli 2016, sudah ada gugatan uji materi UU Pengampunan Pajak ke MK. Dua organisasi  yakni Yayasan Satu Keadilan (YSK) dan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)  mengajukan gugatan uji materi ke MK pada 13 Juli 2016. Organisasi itu menganggap kebijakan amnesti pajak mencederai rasa keadilan.

Ancaman gugatan UU Pengampunan Pajak juga datang setelah kebijakan tersebut berlaku. Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberi rekomendasi untuk mengajukan uji materi UU Pengampunan Pajak karena menilai kebijakan tersebut tak memenuhi prosedur demokrasi.

Kekhawatiran mengenai amnesti pajak turut datang dari kelompok masyarakat bawah. Amnesti pajak dapat dimanfaatkan wajib pajak orang pribadi, badan, usaha mikro kecil dan menengah, hingga orang pribadi atau badan yang belum menjadi wajib pajak. Sasaran amnesti pajak ini dinilai memberi rasa kekhawatiran bagi mereka yang belum melaporkan harta kekayaan, meski nilainya kecil. Kekhawatiran tingkat bawah ini menimbulkan pertanyaan terkait sosialisasi amnesti pajak.

Pemerintah telah melakukan sosialisasi amnesti pajak setelah undang-undang disahkan. Bahkan, Presiden Joko Widodo terjun langsung untuk menyosialisasikan kebijakan ini. Sosialisasi langsung menyasar para pengusaha berduit besar di sejumlah kota. Tetapi, kekhawatiran kemudian datang dari masyarakat tingkat bawah yang bisa jadi tak tersentuh sosialisasi.

Kekhawatiran masyarakat itu ingin diredam pemerintah dengan pernyataan bahwa fokus amnesti untuk wajib pajak berduit besar. Sasaran itu terutama untuk wajib pajak yang menyimpan kekayaannya di luar negeri. Dari mereka, pemerintah ingin menghimpun pendapatan sekaligus mengalirkan dana segar ke dalam negeri.

Bagi mereka yang mau membawa dananya ke dalam negeri, pemerintah hanya menerapkan tarif tebusan dua persen. Sedangkan, bagi mereka yang hanya reklamasi harga tapi tetap menempatkannya di luar negeri dikenai tarif empat persen.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement